Author's pov
***
"Gay?" Aiden mengerutkan dahi ketika sekretarisnya membicarakan seorang klien.
"Jangan suka mengada-ada." Aiden mengingatkan agar Renata tidak asal-asalan berbicara.
"Serius, Pak! Saya liat dengan mata saya sendiri."
Aiden tidak mempedulikan Renata yang sedari tadi sibuk mengurusi klien yang katanya gay. Renata sempat melihat di dekat toilet bahwa klien itu sedang berduaan dengan seorang lelaki. Membahas hal-hal vulgar pula.
"Jadi, Bapak nggak percaya?"
"Hanya karena kamu melihat mereka berdua sedang membicarakan sesuatu yang tidak kamu ketahui, kamu menyimpulkan kalau mereka gay. Itu sok tahu namanya." Ujar Aiden masih sibuk dengan ponselnya.
Sekarang sedang jam istirahat dan sejam lagi rapat kedua akan dimulai. Aiden bingung memandangi ponselnya. Mengapa tidak ada satupun notifikasi dari Acha. Entah itu whatsapp, line, instagram, kakaotalk, sampai email pun tidak ada jejak Acha meninggalkan spam.
"Nggak biasanya." Gumam Aiden lirih.
"Hah? Gimana, Pak?"
"Enggak. Kamu bisa tolong ambilkan powerbank?"
"Iya, Pak. Tunggu sebentar."
Renata memberikan powerbank yang baru saja diambil. "Bapak kenapa? Keliatan bingung."
Aiden menoleh ke arah Renata. Perempuan itu sedari tadi sibuk membantunya sampai rapat yang Aiden pimpin berjalan dengan lancar.
"Enggak, saya cuma penasaran aja."
"Penasaran sama apa?"
"Acha nggak spam seperti biasa."
Renata baru-baru ini menyadari bahwa atasannya itu menaruh rasa pada gadis yang sering dipanggilnya keponakan itu. Renata tahu jika Aiden menganggapnya lebih dari seorang keponakan. Tatapan mata Aiden seolah mengatakan dia ingin memiliki gadis itu sepenuhnya.
"Bisa jadi lowbat, Pak. Sudah coba Bapak hubungi?"
"Belum. Ini baru mau."
Renata mengangguk saat Aiden berdiri lalu mencoba menghubungi Acha. Namun tiba-tiba tindakan Aiden terhenti ketika seorang wanita menghampirinya.
"Pak Aiden."
Ponsel yang semula berada di telinga kini Aiden turunkan kemudian memutuskan panggilan begitu saja. Dia mengurungkan niat menelepon Acha.
"Oh! Bu Sherinna Park."
Mereka saling menyapa. "Rapat pertama tadi sangat luar biasa! Saya menyukainya." Sherinna berbicara bahasa Indonesia masih bercampur dengan logat Korea.
"Ah, terima kasih."
Sherinna tersenyum. "Pak Aiden, besok bisa makan siang dengan saya?"
Aiden menoleh pada Renata, memanggilnya agar mendekat.
"Besok jadwal saya apa saja?"
"Sebentar." Renata terlihat mengambil sebuah note book dari tasnya. Dia membuka lembar demi lembar.
"Besok Bapak harus beli hadiah untuk Acha, rapat penutupan, lalu sore harinya kembali ke Jakarta."
"Siang kosong?"
"Untuk siang, sementara ini masih kosong, Pak."
"Ya sudah."
Renata mengangguk dan tersenyum pada Sherinna.
"Bisa. Mari bertemu besok di restoran seberang hotel saat jam makan siang." Aiden memutuskan mengambil restoran itu karena menurutnya tempat dan makanan di sana kualitasnya sudah teruji.
"Ah, baik. Sampai jumpa besok." Sherinna pergi meninggalkan Aiden dan Renata.
"Bapak tahu nggak, Bapak sudah digosipkan ada hubungan sama dia?"
"Saya nggak peduli gosip."
***
Acha's pov
"HAH!?" Percayalah mata gue mau keluar dari tempatnya.
"Lo serius?"
"Enggak. Gue bercanda." Gio menjawab dengan lempeng.
"Bego." Acha memukul bahu Gio dengan keras.
"Lagian, lo percaya banget."
"Ya siapa yang nggak kaget kalo cowok kaya lo tiba-tiba ngaku gay. Jaman sekarang emang suka aneh-aneh." Gue menggelengkan kepala beberapa kali.
"Gue kadang menggunakan alasan itu sama cewek-cewek yang Bunda pilihin supaya gue nggak jadi nikah. Ya.. sebagian berhasil, sih." Gio main-main sama kukunya.
"Kenapa lo bohong? Kenapa lo bilang kalau lo itu gay? Apa lo nggak malu?"
"Justru itu. Gue malah seneng kalo mereka jadi benci sama gue. Gue yakin lo tahu alasannya."
"Lo masih susah ya buat nikah muda?" Gue mencoba menebak.
"Bukan susah lagi, susah banget. Gue masih 19, belum genep 20 tahun udah disuruh nikah aja. Nanti waktu gue yang harusnya buat nongki-nongki sama temen harus tergantikan buat cari nafkah. Beli susu anak gue, beli bahan makanan, blablabla. Ya gue mana mau lah."
Gue yakin Gio sudah melewati banyak masa sulit. Di saat dia nggak pengen banget nikah, gue yang masih seumur jagung ini buru-buru pengen nikah. Tujuan gue nikah itu biar Om Aiden nggak dimiliki atau direbut sama wanita lain.
"Nggak usah kasian sama gue gitu, deh. Gue nggak semenyedihkan itu. Lagipula, gue juga udah punya gebetan. Tipe gue 100%!"
Gue terkekeh kecil. Kalau dipikir-pikir, Gio ini orangnya asik juga.
Obrolan kami terhenti. Gue melihat ke atas, bintang-bintang keliatan indah banget sekarang. Gue jadi keingat Om Aiden. Biasanya kami berdua selalu liat bintang sambil minum coklat hangat, lalu lomba nemuin bintang jatuh.
Tiba-tiba ponsel gue bunyi. Gue melihat layar ponsel. Tertera nama Om Aiden di sana. Tadinya gue begitu semangat dan seneng ketika Om Aiden nelpon gue. Tapi, gue jadi kesel ketika ingat berita dia tadi sore.
Jadi, gue memutuskan mereject panggilannya.
Sukurin!
"Kenapa nggak diangkat? Om itu pacar lo kan?"
___________________
Purworejo, 9 Juli 2019
Gio kalo ngomong suka bener ya wkwkwkwkwk.
Bentar lagi tamat dong hehe.
__
Note(s)
Silent readernya kenapa banyak ya? Apa kalian bener-bener enggak sanggup buat nekan bintang? Bahkan, tanpa kalian komen banyak-banyak pun asal kalian mau ngevote, itu udah lebih dari cukup untuk penulis. Vote itu kaya penyemangat kalau tulisan ini tuh bener-bener dinanti, sekaligus tanda bahwa tulisan ini banyak yang suka. Jadi, bisa dong mulai sekarang nekan bintang dengan rajin? Pembaca Om Ganteng kan pinter-pinter♡♡♡
Don't forget to vote, guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng [END]✓
Krótkie OpowiadaniaFirst, follow me:) Nama gue Acha. Lengkapnya Marsha Amalillea. Gue siswi kelas tiga salah satu SMA di ibukota. Di dunia ini ada tiga hal yang nggak bisa dipisahkan dari gue. Pertama Om Aiden, kedua Om Aiden, dan ketiga Om Aiden. #1 in Feel [31 Desem...