Ada yang nunggu tidak?
***
Pintu terbuka, kami berdua memasuki rumah dengan keadaan masih seperti tadi. Om Aiden yang setia menggendong gue di depannya, dan gue yang dengan senang hati memeluk leher juga mengaitkan kedua kaki di pinggangnya.
Om Aiden membuka jaket, lalu menempatkan tubuh gue di sofa ruang keluarga. Dia kemudian berjalan ke pantry, menuangkan segelas air putih dan dibawa ke hadapan gue.
Mau nggak mau gue meminumnya. Dalam sekali teguk, air putih itu sudah raib dari tempatnya. Gue meletakkan gelas di meja. Menghela napas lalu menyenderkan tubuh. Om Aiden menyusul duduk di sebelah gue.
Belum ada obrolan apapun di antara kami. Gue yang memejamkan mata tanpa tahu apa yang Om Aiden lakukan. Sedetik kemudian, mata gue terbuka. "Ya ampun!" Gue reflek terkejut karena wajah Om Aiden dekat banget sama wajah gue.
"Mau apa?" Tanya gue final.
Dia menarik kepalanya menjauh lalu menggeleng. "Nggak. Mastiin kalau kamu baik-baik aja."
Kirain mau cium.
"Mau dicium?"
Astaga. Apa dia punya indra keenam sampai-sampai bisa baca pikiran gue?
Gue memundurkan kepala, menggeleng kuat. Padahal gue mau, tapi gue gengsi karena beberapa hari udah marahan sama dia. Gue menghela napas lagi. Karena hari ini bener-bener capek untuk gue. Serius. Badan gue berasa remuk.
Gue berniat berdiri buat mandi, tapi waktu mau ngangkat badan, gue meringis kesakitan. "Auh.." gue terduduk lagi.
"Kamu kenapa!?" Om Aiden langsung panik.
"Shh.. nggak tahu. Kaki aku sakit." Gue mengelus kaki kiri bagian betis. Entah kenapa tiba-tiba nyeri.
Om Aiden turun dan berlutut di hadapan gue. Dengan hati-hati, dia menurunkan kaos kaki dan meneliti apa yang terjadi sama betis kiri gue.
"Cha, kenapa biru?"
Gue mengintip. "Ya mana aku tahu."
"Kok bisa?"
"Aku nggak tahu, Om. Mungkin karena jatuh pas didorong, terus kepentok apa gitu."
Om Aiden berdecak kesal. Kenapa coba?
"Diem! Jangan kemana-mana." Dia bangkit lalu menuju dapur.
Gue melihat dia mengambil mangkuk agak besar sama handuk kecil di lemari dapur. Setelah itu dia buka kulkas dan nuang air dingin ke sana.
Nggak lama, dia kembali berlutut di hadapan gue. Dia dengan telaten dan hati-hati membuka kaos kaki panjang gue lalu mengompres memar gue dengan handuk yang baru dia peras.
Gue meringis menahan sakit.
"Nggak usah mandi. Udah malem, nanti kamu malah sakit. Besok nggak usah sekolah. Om bikinin surat izin sakit. Nanti minum vitamin sama paracetamol."
Dahi gue mengerut. Tangan gue bergerak memeriksa dahi. Perasaan gue nggak panas, kenapa disuruh minum paracetamol? Heran berbi.
"Aku nggak panas, tuh."
Om Aiden menyimpan mangkuk berisi air dingin dan handuk di meja. Lalu mendongak menatap gue yang berada di atasnya. Dia masih berjongkok.
"Buat pencegahan. Om takut kamu sakit. Apalagi kalau demam." Dia mengelus pipi gue dengan tangan kanannya.
"Sekarang, ayo tidur. Ganti baju dulu." Dia berdiri lalu merentangkan tangannya. Gue menyambut baik kemudian gue sudah berada di gendongannya saat ini.
Om Aiden berjalan pelan ke kamar. Huh... setelah sekian lama gue marahan dan pisah ranjang sama Om Aiden, ini saatnya.
"Tapi Om, kalau aku besok nggak sekolah, aku sendirian dong di rumah?" Tanya gue begitu Om Aiden selesai menempatkan gue di ranjang.
Belum ada jawaban. Dia membuka lemari. Mengambil satu set piyama coklat mikiknya. Duduk di sebelah gue.
"Om izin kerja. Jangan khawatir."
___________
Purworejo, 1 Januari 2019
Selamat tahun baru sayang-sayangku♡♡♡
Apa kegiatan malam tahun baru kalian tadi malam? Pasti seru!
Targetnya diubah lagi deh, biasa.. aku kan labil. Untuk menuju bab selanjutnya, bab ini harus bisa sampai 60 votes dan 35 komen. Kalau komen "next" atau "lanjut" aku hitung satu kali. Oke!? Harus bisa!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Om Ganteng [END]✓
Short StoryFirst, follow me:) Nama gue Acha. Lengkapnya Marsha Amalillea. Gue siswi kelas tiga salah satu SMA di ibukota. Di dunia ini ada tiga hal yang nggak bisa dipisahkan dari gue. Pertama Om Aiden, kedua Om Aiden, dan ketiga Om Aiden. #1 in Feel [31 Desem...