part 32

1.6K 77 15
                                    


Happy reading❤

  " lo tadi kemana aja sih? Katanya mau dateng, tapi ngga nyampe-nyampe. Ditelfonin juga ngga diangkat," pertanyaan beruntun mulai didapati Lisya saat ponselnya sudah menampakkan seseorang yang sedang tiduran dalam posisi tengkurap.

  " gue tuh tadi udah sampek, tapi balik lagi," jawab Lisya malas.

  " ih, kenapa? Lo ngga tau kalo kita pada nungguin lo sampe sore."

  " huuaa.... Dilaaa.... Lo ngga tau apa yang gue alami tadi," rengek Lisya pada sahabatnya itu.

  " eeh... Kenapa sih kok malah mewek gitu?"  tanya Dila saat melihat orang yang berada disebrang layar ponselnya itu tampak ingin menangis.

  " Dil, lo bisa kesini ngga? Gue mau cerita, penting." pinta Lisya di sela tangisnya.

  " yaudah gue ke rumah lo sekarang. Udah ah lo jangan nangis lagi, bosen tau ngga liatnya," ucap Dila disertai kekehan di akhir kalimatnya.

  Lisya pun hanya terlihat mengangguk kecil, sambil menyeka pipinya yang sudah basah itu.

  Setelah memutuskan sambungan video call nya, Lisya kembali menyimpan ponselnya di atas nakas lantas merebahkan tubuhnya sambil memandangi langit-langit kamar yang  tampak hampa itu, persis seperti suasana hatinya.

  Sekarang yang perlu ia lakukan hanyalah menunggu Dila sampai dirumahnya, lalu melakukan konsultasi secara langsung mengenai keputusan apa yang akan ia ambil nantinya.

****

  "Apa? Lo bilang kaya gitu sama Lisya?!" Devan sontak terkejut saat Revan memberitahukan keputusannya tadi siang mengenai pilihan yang ia berikan kepada Lisya.

  "iya," jawab Revan ringan, seakan hal itu bukanlah masalah besar.

  " Bego! Lo pikir dengan kaya gitu, masalah bisa selesai gitu aja? Malah tambah ribet tau ngga."

  " kenapa? Bukannya itu cukup adil, supaya kita bisa tau siapa yang bener-bener Lisya inginkan? Dengan begitu ngga akan ada salah paham lagi kan?" jelas Revan.

  Devan tampak terdiam memikirkan kata-kata yang baru saja Revan tuturkan. Mungkin ada benarnya juga, dengan begitu maka ia bisa tau perasaan Lisya yang sebenarnya, dari pada terus menerka-nerka sesuatu yang belum pasti benar adanya.

  " jadi minggu depan kita kerumah Lisya?" tanya Devan lagi yang tampaknya sudah setuju akan keputusan Revan.

  " iya," angguk Revan.

  "oke."

****

  " oke-oke... Lo ceritanya yang jelas dong, pelan-pelan biar gue tuh paham."

  "ah Elo mah.... Gue kan tadi udah cerita," protes Lisya.

  " ya elo ngomongnya kecepetan," elak Dila yang sedari tadi masih asik memakan keripik pisang di hadapannya.

  " tau ah... Pokoknya ini semua gara-gara lo," tuding Lisya.

  "eh... Kok gara-gara gue?"

  "ya iya, kan elo yang maksa gue buat ikut piknik tadi siang, eh... Malah ketemu sama Revan. Tau gitu gue ngga bakalan mau ikut," Lisya melipat kedua tangannya di depan dada.

  "iya-iya... Yaudah balik ke topik awal, jadi intinya lo disuruh milih antara Devan apa Revan, gitu?" Dila menyingkirkan kripik pisang yang tadi dimakannya ke arah samping, lantas mengambil bantal disebelahnya dan menaruhnya di depan dada sebagai tumpuan.

Pilihan Hati [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang