TUJUH: Jendela
Cahaya menguning itu menyinari jalanan minus aspal. Beberapa kucing liar tampak mulai berebut makanan di tempat sampah di sudut ujung dekat sungai. Sementara dari sebuah warung nasi tampak terlihat orang sibuk menikmati teh pahit hangat dan nasi uduk.
"Wow, barang baru... kemana, Neng?" sapa beberapa pria bertubuh kumal namun begitu percaya diri terlihat mengerling nakal.
Sha tak menggubris sapaan bodoh itu. Dia sudah merasa cukup nyaman untuk kembali ke bawah jembatan saat pagi. Ketika otak para warga disitu masih diperkirakan agak normal.
"Kemana saja? Nenek khawatir?" tanya Nek Sur, saat melihat Sha masuk tenda.
"Melayani Om botak gemuk di mobilnya. Kami kelelahan, ketiduran sampai pagi. Ini, Nek..." Sha menyerahkan 2 bungkus nasi plus lauk pauk.
"Banyak kau dapat uang, Sha?"
"Panggil aku Murni, Nek"
"Murni?"
Sha menghela nafas. Tadi dia tak sengaja melihat koran pagi. Berita kematian Bos Sabun masih panas ditulis saja. Bahkan nama dan fotonya tertera di koran, sebagai Sarah alias Shakuntala alias Sha, mahasiswi universitas swasta di Jakarta. Sha merasa penting untuk berganti nama, bila perlu berganti rupa.
"Cuma dibayarnya sejuta, Nek"
"Satu orang sejuta? Kelas atas itu..."
Sha meringis. Dulu, sejuta bukanlah harga untuknya. Dia lonte kelas atas yang sesungguhnya. Tetapi untuk pemuas seks kelas jalanan, uang sebesar itu adalah golongan berderajat tertinggi.
"Lusuh begitu saja kau dapat sejuta. Apalagi bila dandan menor" kata Nek Sur, sambil menikmati nasi ayam goreng dan tumis paria yang dibawa Sha tadi.
Melihat Nek Sur lahap makan, Sha jadi ikut menikmati makanan yang dia beli itu. Keduanya lalu makan sambil bercakap-cakap.
"Nek, aku mau mandi" kata Sha, usai makan.
"Baik, Sha...eh, Mur! Itu bawa perabotan mandi. Bisa sendiri kan ke sungai?"
Sha mengangguk. Nek Sur tersenyum sambil sibuk memilihkan baju kaos miliknya yang bisa dipakai Sha.
"Ini mau?"
Kembali Sha mengangguk, saat Nek Sur menyerahkan kaos besar bergambar logo sebuah partai tersebut.
Sha sudah tak tahan lagi ingin mandi. Dia merasa rindu dengan air sungai yang kotor itu. Saat melintas di jalan kecil menuju sungai, terdengar banyak siulan nakal yang mengiringi langkahnya. Mata-mata lapar tampak gemas melihat goyangan lembut pinggul Sha, serta gundukan gunung kembar yang tampak begitu sesak mengkal di balik beha ukuran 38.
Tak ada waktu meladeni candaan itu. Sha merasa tidak satu level. Dia lebih memilih berlari ke pinggir sungai yang sepi, menggosok tubuhnya dengan sabun dibalik semak, terutama di area bagian kemaluan. Bercinta semalaman dengan pria botak gendut itu, membuat vaginanya jadi gatal. Cairan sperma pria itu penuh menggumpal di rambut kemaluannya. Sha tersenyum lega, saat membasuh kemaluannya dengan air kecoklatan itu hingga busa sabun lenyap.
"Butuh bantuan, Neng?" sebuah suara nampak terdengar terengah-engah.
Sha menoleh, jantungnya seakan ingin lepas saat melihat begitu banyak pria yang datang menuju ke arahnya. Mereka tampak menyeringai liar, dengan nafas memburu seperti kuda.
"Mau apa kalian?" bentak Sha.
Namun bentakan wanita secantik itu, hanya meningkatkan gairah. Sha tak bisa melawan lagi. Mereka semua begitu ganas menyerbu. Menjilati tubuh dan menyedot serta meremas payudaranya. Tubuhnya seperti boneka telanjang yang dilempar dari satu pelukan ke pelukan lain. Lalu dihempaskan di rerumputan sungai, dihajar bergantian hingga tubuhnya bergoyang-goyang.
Tawa liar memenuhi semak-semak itu, Sha hanya berusaha tetap diam untuk pasrah. Matanya dia arahkan ke langit, tetapi yang dia lihat adalah seorang pemuda yang tampak gugup berdiri di sebuah batu besar, karena tak sengaja melihat adegan gang bang di pinggir sungai. Pemuda itu berumur belasan tahun, dia lalu terlihat berlari dengan bingung. Meninggalkan rasa penasaran pada seorang Sha yang sedang berkeringat basah.
Mengapa pemuda itu tidak ikut menikmati tubuhnya? Mengapa dia tidak seperti para lelaki di bawah jembatan ini? Sha memejamkan matanya. Antara bingung dan berusaha menikmati genjotan hebat pria-pria bertubuh kekar dan kumal di atas tubuhnya.
Sha tidak munafik. Terkadang dia masih merindukan Fernan. Saat pemuda itu menggenjot tubuhnya di hutan belantara, di antara semak dan pohon besar, dia merasakan sensasi yang berbeda. Membuat bau keringat kuli kasar dan preman pasar hari itu seakan mendadak membetot gairahnya. Semakin rakus mereka mengulum payudaranya, atau menghajar kemaluannya, semakin Sha dibuat mabuk kepayang akan kenangan bersama Fernan Si Cinta Pertama.
Sha tidak tahu lagi, berapa belas pria yang dia layani hari itu. Dia tak peduli. Desahannya begitu merintih, tubuhnya bergetar saat menjempit kelamin pria-pria itu dalam lubang vaginanya yang selalu kesat sempit. Entah berapa jam Sha dibuat gila. Dia hanya sadar ketika tubuhnya mulai dingin dan gatal oleh rumput. Sha hanya dibiarkan terkapar telanjang sendiri, tapi tersenyum, setelah menikmati orgasme berkali-kali. Lalu dia bangkit ke sungai, untuk kembali mandi.
"Kau dipake mereka ramai-ramai di sungai?" Nek Sur berlari mendekati Sha yang tampak terlihat lelah setelah sekian jam digenjot beramai-ramai di sungai.
"Nenek tahu dari siapa?"
"Musraf"
"Musraf?"
"Dia anak baik. Tinggal di sini juga, bareng Abangnya. Keduanya orang baik. Cuma mereka yang rajin sholat di sini. Dulu mereka sempat mendirikan musholah dari tripleks bekas dan spanduk. Musraf bahkan sering adzan dulu, suaranya merdu. Imamnya itu Abangnya. Tetapi musholah itu malah dihancurkan warga..."
"Oh ya? Orang sebaik itu, mengapa nyasar ke sini?"
"Abangnya baru keluar penjara karena memukul pria yang tak bertanggung jawab atas kehamilan adiknya, Kakak Musraf. Adiknya itu katanya meninggal karena melahirkan. Tadinya pas Abangnya di penjara, Musraf sempat nyantri. Abangnya keluar penjara, mereka gabung lagi. Tinggal disini, sambil jualan kain sarung punya orang keliling kampung...."
"Kasihan, ya"
"Itu tenda mereka! Seberang kita"
Sha menyibak robekan tenda. Dia melihat seorang pemuda tampak mengikat tumpukan kain sarung dengan sebuah taplak meja. Musraf terlihat masih sangat polos dan muda.
Lalu Sha menunduk, mendadak dia merindukan rumahnya, apartemennya, atau hotel-hotel mewah. Biasanya tiap pagi, dia akan membuka jendela kamar besar dengan tirai lembut wangi. Sedikit mengurai kebahagiaan usai semalaman lelah melayani bos-bos tua.
Tidak seperti ini. Berada di tenda bekas spanduk campur kayu dan tripleks bekas. Gubuk bukan, tenda bukan. Pengap dan bau.
"Kau kesal dipake banyak orang hari ini?" Nek Sur menoleh pada Sha.
Sha cuma meringis. Kesal awalnya. Tapi ternyata nikmat juga. Entah sejak kapan dia tak orgasme sebanyak itu. Sejak Fernan mati disiksa penjaga Mami Uboi mungkin. Hari ini, dahaga itu seakan terpuaskan.
"Kau jangan sering-sering ke sini. Habis kau jadi bahan bancakan gratis. Rusak badanmu nanti. Kau terlalu cantik untuk melayani nafsu mereka..."
Sha berusaha menahan senyumnya. Bukan hanya karena dia justru menyukai gairah di sungai tadi. Tetapi ketika melihat Musraf yang begitu gugup saat saling berpandangan tak sengaja dengan Sha. Pemuda itu bergegas lari ke dalam tendanya, meninggalkan dagangan sarungnya. Entah mengapa, Sha mendadak berdesir melihat wajah anak muda yang ternyata sangat tampan itu.
(BERSAMBUNG)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEX: Menemukan 'Tuhan' di Ranjang (diterbitkan GoNovel/Sago/Short Novel/Fameink)
RomanceSejak usia 9 tahun, Shakuntala yang bernama asli Sarah, hanya memahami hidupnya adalah untuk melayani para pria. Dari objek Penderita, bermetamorfosa menjadi Penakluk. Dunianya adalah ranjang-ranjang setan. Berharap tobat dengan mencintai seorang Ha...