TIGA BELAS: Cinta Segitiga
"Tidak laku juga?"
Musraf menoleh pada Munaf yang sedang duduk minum kopi di rumah kontrakan baru mereka. Rumah yang juga bakal dimasuki Rugayah nanti, setelah Munaf cukup uang untuk membawanya ke pelaminan.
"Begitulah, Bang..." sahut Musraf, sambil duduk di atas karpet, lalu menyenderkan tubuhnya di dinding beton putih.
"Sudah seminggu ini kau berdagang sarung. Masa tidak satupun yang laku?"
"Ya sarung kan bukan beras, Bang. Orang tidak bakal beli beras tiap hari"
"Pandai kau bicara. Kau berkeliling banyak kampung, masa tak ada satupun yang akan membeli? Satu atau dua hari masih masuk akal. Ini seminggu? Aku saja berdagang sarung laris sekali. Bulan muda kan ini..."
Munaf memandangi adiknya dengan penuh selidik. Seminggu ini Musraf berdagang, tak sebijipun sarung laku. Dia pergi pagi benar, lanjut pulang sore dalam keadaan lesu. Namun terlihat banyak senyum dan begitu riang. Tidak sedikitpun ada rasa sedih akibat dagangannya tidak laku.
"Rezeki orang beda-beda kan bang..." kata Musraf, sambil membuka jaketnya dengan kesal.
"Rezeki itu dicari. Jangan cuma mengandalkan nasib. Kau itu manusia, bukan ayam!"
Musraf cemberut, dia lalu bangkit dan menuju kamar mandi. Sore itu dia merasa sangat gerah. Kucuran air PAM yang jernih, membuatnya sedikit lega. Memang, ini bukan air sungai kotor yang bau. Tapi cukup membuat Musraf kerap mengkhayalkan tempat percintaan pertamanya dengan Sha dulu. Sesuatu yang membuat kelaminnya kadang ganas berdiri.
Dia bersyukur telah kembali bertemu Sha. Selain rindu, kebutuhan biologisnya ganas terpenuhi. Tempat mereka hanyalah gedung tua kosong di belakang Gang Senggol. Konon itu bekas gedung rentenir yang bertopeng jadi koperasi sukses. Banyak warga yang berhutang, namun ujungnya tak sanggup membayar bunga.
Mereka yang terlilit hutang banyak yang stres hingga bunuh diri. Akibat meresahkan warga, gedung itu sempat dirusak dan coba dihancurkan. Pemilik dan karyawannya kabur entah kemana, tak berani kembali. Kini gedung itu cuma dihuni para anak punk dan gelandangan. Di salah satu sudutnya, malah seakan dikuasai Musraf dan Sha seminggu ini.
Tiap akan bercinta, Musraf menggelar sarung untuk kekasihnya. Lalu Sha mengeluarkan makanan dan minuman, membuat mereka bertingkah seperti sedang piknik. Sebelum bercinta dengan liar, tentu saja.
Musraf tak memiliki pemasukan karena tidak diperbolehkan berdagang oleh Sha. Sehingga tentang makan dan minum mereka, Sha yang menanggung. Meski sering mual dan muntah, Sha tetap menjajakan tubuh di pinggir jalan jika malam tiba. Paling kini hanya bisa melayani satu atau dua pria, lanjut pulang ketika tepat pukul 10 malam. Tak mau hingga larut, karena besok paginya dia akan berkencan dengan Musraf lagi. Butuh tenaga. Terkadang dia hanya membawa uang satu juta saja. Sebagian dia serahkan Nek Sur, sebagian dia habiskan bercinta dengan Musraf.
"Jadi kapan Musraf akan menikahimu, Murni? Mumpung kehamilanmu belum begitu besar"
Sha tersenyum saat melirik Nek Sur yang sibuk melipat pakaian.
"Musraf butuh waktu membujuk abangnya, Nek"
"Sudah seminggu ini kalian bercinta terus. Dari pagi sampai sore. Apa tidak terpikir untuk memperjuangkan anak dalam perutmu itu?"
Sha cuma mengelus perutnya. Belum buncit, baru 4 minggu. Bidan klinik mengatakan, dia harus menjaga kandungannya dengan baik. Karena Sha masih tidak suka makan, selalu mual. Hanya saat bersama Musraf dia mau makan. Apalagi ketika kekasihnya itu rajin menyuapinya. Juga ikut menikmati rujak pedas bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEX: Menemukan 'Tuhan' di Ranjang (diterbitkan GoNovel/Sago/Short Novel/Fameink)
RomanceSejak usia 9 tahun, Shakuntala yang bernama asli Sarah, hanya memahami hidupnya adalah untuk melayani para pria. Dari objek Penderita, bermetamorfosa menjadi Penakluk. Dunianya adalah ranjang-ranjang setan. Berharap tobat dengan mencintai seorang Ha...