1: Sarah

34.5K 452 32
                                    

Wanita kurus itu mengenakan daster lusuh motif kembang-kembang. Betisnya yang seperti gagang sapu, nampak diseret tergesa melewati jalan terjal berbatu. Nafasnya terdengar memburu, persis peluru yang dilepaskan dengan penuh nafsu.

Tak jauh di belakangnya, seorang gadis kecil usia sekitar sembilan tahun nampak berlari-lari kecil. Berusaha mengejar dengan nafas tersengal-sengal. Sesekali dia terjatuh, namun cepat untuk bangkit lagi. Tangannya yang mungil beberapa kali mencoba lelah menggapai,"Mama! Mama!"

Dia berteriak, sekuat tenaga. Bahkan seakan seluruh penjuru mendengarnya. Tetapi wanita di depannya, malah makin mempercepat langkahnya. Seperti orang dikejar setan, wanita itu seakan tak memikirkan apapun kecuali berlari. Dalam pikirannya, hanya ada uang, uang dan uang lagi. Uang yang bertumpuk, atau malah terbang menari-nari.

Sudah lelah dia menghadapi pergulatan hidup yang fluktuatif. Pernah susah, tapi juga pernah kaya, atau malah makin susah seperti saat ini. Beras di rumah, sudah habis. Mereka bahkan sudah terpaksa makan bubur campur garam, demi berhemat. Tapi beras itu, tak bisa ditahan untuk tandas. Tak ada satu butirpun tersisa.

Mau pinjam, dengan siapa dan di mana? Tak bakal ada manusia baik hati di lingkungan bangsat, di mana pelacur bisa lebih terhormat asal mampu membuat perekonomiannya terangkat. Dirinya, mungkin tak bakal laku lagi untuk menjual diri. Tetapi anaknya, bisa jadi. Dia sudah berpengalaman soal itu, dulu.

"Punya simpanan bagus, kok belum dicairkan?" Tanya Juminten, tetangganya sebelahnya tadi pagi, seraya mengelus dagu Sarah, anaknya. "Cantik lho, si Sarah ini. Keturunanmu, bibitnya unggul. Hebat kau Utari, andai anakku serupawan anakmu ini..."

Utari menutup bakul beras yang kosong dengan caping, lalu duduk di lantai gubuknya yang hanya berupa tanah kering itu. Debu-debu mulai bertambah di kaki dan dasternya. Sarah, berlari dalam pelukan sang Mama, lalu duduk manis di pangkuannya dengan manja. Mana dia paham kalimat Bibi Juminten yang janda itu, mana dia tahu jika wanita itu sedang jadi iblis yang berusaha memengaruhi pikiran Mamanya.

"Anak Bi Juminten, si Sari kan juga cantik?" Tanya Sarah lugu, membuat Juminten tergelak.

"Halah, kalau dia cantik, pasti sudah laku itu lubangnya! Sudah kaya aku dibuatnya, Sarah. Si Sari itu memang anak tak tahu diuntung, bahkan keperawanannya malah dia berikan ke sembarang orang. Bukannya dijual dulu. Kan biar jelek, kalau perawan ada harga. Nah ini muka begitu, sudah bolong pula, manalah germo mau ambil."

Sarah menatap mamanya,"Ma, Bi Jum ngomong apa?"

Utari menghela nafas,"Kamu main dulu di luar.
Mama mau ngomong sama Bi Jum."

Sarah menurut, lalu bangkit dan berlari ke luar gubuk, bermain bersama bocah kampung lainnya. Utari memperhatikan anaknya dengan sedih, seakan kecantikannya seperti magnet yang bisa menarik besi manapun. Termasuk pisau belati.

"Aduh, susahnya memberi saran pada si Utari ini. Bebal!" Gerutu Jum, sambil duduk di sebelah Utari, turut memperhatikan kemolekan Sarah.

"Dia kuberi nama Sarah Nurbaiti, agar ada nama muslimnya. Bagus ibadahnya, dapat suami sholih dan kaya yang tulus mencintainya. Biar nasibnya tidak sama seperti Kakaknya, Sonita." Ucap Utari lirih, tanpa sedikitpun berusaha melepaskan pandangan dari anaknya.

"Maksudmu, Sarah bakal mati muda juga?" Juminten memukul pundak Utari,"Itu kesalahan Sonita sendiri. Kebodohan dia. Makanya, kau kontrol si Sarah nanti. Jangan kau lepas kayak Sonita. Jangan bodoh lagi. Anak mati, kau bisa rugi. Di sini orang tidak perlu kerja keras kalau punya anak cantik. Kau saja yang sudah pernah terasa nikmat hasil Sonita, malah tak mau mengulanginya. Bodohnya kau!"

"Kau, benar Jum. Aku bodoh. Andai dulu aku bisa mengelola harta dari kerja keras Sonita. Ibaratnya, kalau dia matipun kan kami tidak semelarat ini? Makan saja sampai harus mengemis. Dihina orang sana-sini, tidak punya kekuatan untuk melawan. Bahkan melawan rasa lapar saja tak sanggup."

SEX: Menemukan 'Tuhan' di Ranjang (diterbitkan GoNovel/Sago/Short Novel/Fameink)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang