4. Murid Pindahan

704 58 4
                                    

Keesokannya, suara bising selalu terdengar di dalam kelas Sona. Kelas itu adalah kelas yang di cap paling bising dari seluruh kelas di SMA Mandala. Agam sibuk mengobrol, Manu sibuk menggoda perempuan, sementara Sona sibuk dengan tulisannya.

"Hari ini mungkin hari yang gak pernah gue lupain, dimana gue punya kalian. Ya, kalian yang gue sebut sahabat. Mereka emang gila, tapi kegilaan mereka mampu buat gue tertawa. Benar kata Manu, gue mungkin gak bisa hidup tanpanya juga Agam, karena hidup gue akan datar tanpa mereka. Duo curut yang selalu bikin gue naek darah, yang selalu bikin gue terjun ke masalah, namun gue gak pernah menyesal mengenal mereka"-Sona.

Perkataan demi perkataan Sona tulis dalam sebuah buku coretan.

Beberapa orang mulai mengisi tempat duduknya masing-masing karena guru telah datang, bersamaan dengan seorang laki-laki berpakaian seragam mengikutinya. Seluruh siswi di kelas itu terbelalak, kala melihat pria tampan berdiri tepat di depan kelas.

"Eh siapa tuh siapa tuh? Ih ganteng." Beberapa siswi berseru melihat ketampanan laki-laki yang berdiri di depan kelas itu.

"Siapa dia? Mukanya beda banget sama anak kelasan gue," batin Sona memicing heran menatap laki-laki yang tengah tersenyum tampan di depan kelas.

"Pagi semua, hari ini tepatnya hari Rabu kelas kita kedatangan murid baru. Dia pindahan dari Bali," ucap Pak Dirman, selaku wali kelas mereka.

"Silahkan perkenalkan diri kamu."

Laki-laki itu maju satu langkah, bahkan hanya senyum pun mampu membuat siswi satu kelas itu meleleh.

"Selamat Pagi, nama saya Elang Darmawan. Panggilnya Elang aja. Saya pindahan dari salah satu SMA di Bali. Senang bertemu kalian semua. Mohon bantuannya."

"Gam, lo ada saingannya tuh," ucap Manu terkekeh.

"Kegantengan gue, gak ada yang bisa nyaingin," jawab Agam.

Elang duduk di kursi pertengahan. Hanya kursi itu yang terlihat kosong.

"Hai, gue Rina."

"Gue April."

"Gue Akbar."

Beberapa siswa menghampiri dan memperkenalkan diri pada Elang. Sebentar Sona meliriknya, hendak menghampiri namun dia gengsi, karena setiap ada siswa baru, pasti mereka lah yang menghampiri Sona lebih dulu. Namun kali itu, Elang sungguh berbeda dari beberapa siswa pindahan yang pernah Sona temui di kelasnya.

Laki-laki itu melangkah, berpikiran akan menghampiri dirinya, Sona mulai merapihkan diri sebaik mungkin. Sona sudah siap menyambutnya dengan sangat baik, namun tak disangka olehnya, Elang melangkah melewati dirinya.

"Ahahaha, lo kenapa Son?" tanya Manu yang sedari tadi mengetahui gerak-gerik Sona.

Sona mengerucutkan mulutnya karena jengkel. Dirinya lantas pergi keluar kelas dengan malu. Bahkan, Agam dan Manu sangat tahu sikapnya. Sona selalu ingin disapa lebih dulu oleh siapapun. Tapi siswa pindahan itu, meliriknya saja tidak, membuat Agam dan Manu terkekeh.

"Ayo susul Sona," ajak Manu.

Agam hanya memasang ekspresi datarnya sejak Elang datang ke kelas. Agam tahu, jika Elang memang memiliki wajah yang tampan dan tak jauh dengan dirinya. Tapi, sikap Elang lah yang membuat dirinya merasa aneh dengan murid pindahan itu. Ia memperkenalkan dirinya sekedar di depan kelas. Setelah duduk, wajah tak ramahnya pun terlihat nampak di wajah Agam. Agam hanya merasa tidak suka saja saat itu.

"Ih kenapa sih tuh cowok, gampang banget lewatin kursi gue. Baru kali ini gue liat anak baru sejutek dia." Gumaman Sona di taman sekolah membuat pendengaran seseorang bergema.

"Gue Elang."

Sona terpingkal kaget kala melihat Elang sudah tegap berdiri di belakangnya.

"Duh, dia denger omongan gue gak ya?" batin Sona cemas. Matanya memencar canggung.

"Oh hai."

"Lo bilang gue jutek?"

"Apa? Ah nggak, maksud gue, temen gue," jawab Sona terbata-bata.

"Lo bisa kasih tau gue, di mana kantin sekolah?"

"Di sana! Lo belok aja ke kanan," ucap Sona dengan jemarinya mengarahkan Elang.

"Oh, oke thanks. Oh iya, gue bukan cowok jutek," tukas Elang seraya tersenyum manis di depan Sona.

"Ke .... kenapa gue deg-degan gini, anjir senyumnya pun lebih manis dari ponakan gue," batin Sona mulai tertegun karena disenyumi oleh Elang.

"Son." Panggilan Manu memecah fokus Sona.

Terlihat di mata Agam, seorang Elang yang berjalan dari arah yang sama tempat Sona berdiri. Agam menatap Sona cemas, karena Sona terlihat bersikap aneh. Ia seraya gugup saat itu.

"Muka lo kenapa merah Son?" tanya Manu membuat Sona semakin canggung.

"Ng ... nggak, ayo pergi."

Selama di kantin, Sona terus melirik Elang yang tengah makan bersama teman barunya itu.

"Son," panggil Agam memecah lamunan Sona.

"Dari tadi gue liat, lo liatin anak baru itu terus. Ah jangan-jangan lo kena sihir ketampanan dia lagi, duh tamat reputasi gue. Ketampanan gue ditampar sama tuh anak baru." Manu bergumam.

"Son, makan sayur yang banyak. Akhir-akhir ini lo keliatan gak bersemangat," ucap Agam menaruh sesendok sayur pada piring Sona.

"Duh, kenapa perhatian ini selalu bikin gue nyaman. Lo lebih perhatian dari Papa gue tau gak."

"Tuh kan, berarti muka lo tua Gam," celetuk Manu.

"Bocah sialan! Semua orang bakal tua. Tapi lebih baik lo duluan aja."

"Kampret lo!"

Sementara Elang terus memperhatikan Sona dari jauh.

"Cewek itu main sama laki-laki? Beruntung banget mereka. Pokoknya gue harus kenal tuh cewek. Karena dari awal, dia bikin gue penasaran," batin Elang.

Tekan bintang di kiri bawah ges
thx❤❤

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang