38. 4 Years of Waiting

329 33 5
                                    

Note : Ini part khusus, jadi ku buat lebih panjang. Vote sebelum baca yap.

Matahari bersinar begitu terangnya, hingga menusuk pejaman mata seorang laki-laki yang tertidur dengan lelap di kasur. Matanya mulai sedikit terbuka. Agam terbangun, melihat ponselnya beberapa detik. Ia berdiri menghampiri sebuah kalender. Dilihatnya dengan tenang, kemudian ia taruh kembali di atas meja. Tanggal tercatat, 2 Mei 2020. Lingkaran merah di sekitar tanggal 2 membuat Agam segera bergegas. Ia sudah rapih memakai sebuah pakaian dengan kemeja berbalutkan jas berwarna coklat muda. Ia memasuki sebuah mobil berwarna silver. Langkah Agam memasuki sebuah area perkantoran sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi. Terlihat Agam memasuki sebuah kantor.

"Pa. Agam udah kirim laporannnya ke Agung. Semua udah siap. Agam mohon izin buat keluar sebentar."

"Tunggu. Jangan lupa cuci foto Papa di acara wisuda kamu itu ya?"

"Tenang aja kok Pa." Agam tersenyum.
Ya, sang Papa menjadi pimpinan tertinggi sebuah perusahaan produksi di kota Bandung. Mereka maju pesat setelah mengalami krisis beberapa tahun lalu. Agam dan Agung bekerja di bawah naungan Papa mereka.

Agam memasuki sebuah toko bunga.

"Mba. Saya minta bunga mawar tapi imitasi aja ya Mba."

"Kenapa gak yang asli Mas?"

"Kalau asli mudah layu. Imitasi aja, satu ya. Yang paling bagus."

Sementara di kehidupan lain, terlihat Manu yang tengah meeting dengan para karyawan di restoran.

"Gimana caranya kita bangun restoran cabang dan di daerah mana yang tepat? Gitu kan Pak Toni?"

Pak Toni yang selama ini sudah mengikuti kehidupan Manu, ia begitu berjasa bagi Manu untuk bisa mengelola restoran bersama dengannya.

"Kamu sudah dewasa Manu. Kamu harus bisa menjadi pemimpin ini semua," ucap Pak Toni.

"Manu mau, asalkan Pak Toni menikah sama ibu." Ucapan Manu mengagetkan semuanya.

"Manu! Apa-apaan kamu gak sopan, udah dewasa juga." Bu Mawar menggubris kesal.

Pak Toni sendiri dibuat malu oleh kelakuan Manu.

"Bukan begitu Pak Toni?" Sebelah alis Manu terangkat menatap Pak Toni. Bu Mawar sendiri sudah bisa berjalan dengan lancar setelah Dokter memvonis Bu Mawar sembuh total dari stroke ringan atau kelumpuhan setengah syaraf yang ia alami. Ia terus menjalani terapi sampai ia bisa berjalan kembali seperti semula.

"Begini Bu. Sebenarnya apa yang dibilang Manu itu benar. Saya memang menyukai ibu sejak 2 tahun lalu. Saya sendiri sudah hidup sendirian selama 6 tahun. Semenjak itu, Manu sudah seperti anak saya sendiri. Saya mau melengkapi keluarga kalian kembali." Ucapan Pak Toni membuat Bu Mawar meringis aneh.

"Tapi ... tapi ini terlalu cepat. Saya belum melihat Manu menikah dan bahagia. Saya gak akan menikah sebelum melihat Manu bahagia."

Manu memegangi tangan ibunya.

"Bu. Manu udah sangat bahagia ketika Manu melihat ibu sehat, ibu bahagia, dan Manu begitu bahagia kalau Manu punya seorang Ayah." Ucapan Manu membuat Bu Mawar menangis.

"Sudah cukup penderitaan ibu selama ini. Ibu berhak bahagia. Manu bahagia, kalau ibu bahagia. Sebaliknya, kalau ibu terpuruk, Manu gak akan bisa ngerasain hati Manu lagi Bu." Manu memeluk ibunya membuat haru suasana seisi resto, semua itu disaksikan banyak karyawan mereka.

"Terima ... terima ... terima." Semua karyawan bersorak mendukung Pak Toni.

"Jadi gimana? Ibu mau buat Pak Toni jadi Ayah Manu?"

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang