6. Masalah

592 45 0
                                    

Sore menjelang, Agam terduduk di depan rumahnya dengan seragam sekolah yang masih melekat.

"Agam," panggil Bu Nuri, Mama Agam.
"Mama!"

"Kenapa di sini? Kenapa kamu gak masuk nak?"

"Ma, Mama gak apa-apa kan?"

"Emangnya Mama kenapa?"

"Agam tau, ini emang berat buat Mama ... Agam gak tahan liat sikap Agung ke Mama."

"Nak, gimanapun Agung sama kamu itu saudara, kalian berasal dari satu Papa, walaupun dengan ibu yang berbeda. Mama sayang Agung seperti Mama sayang kamu."

"Ma, ibu macam apa yang ninggalin anaknya cuma buat harta? Ibunya Agung keterlaluan Ma. Kenapa Mama mau nerima Papa dulu? Mengurus Agung, dan sekarang dia tumbuh jadi anak yang brutal, Agam gak tahan Ma."

"Agam, kamu gak boleh gitu, sedikit demi sedikit Agung pasti ngerti," jawab Bu Nuri.

Di sisi lain, terlihat seorang wanita yang terbaring lemah di atas tempat tidur.

"Bu, saya udah lakuin semua yang ibu mau, saya akan bekerja dengan keras," ucap seorang laki-laki di depan wanita yang terbaring itu.

"Bu, dia siapa?" tanya Manu.

"Manu, dia ini Pak Toni. Dia manager restoran kita, udah 10 tahun dia mengabdi pada ibu."

"Manu, kamu gak usah takut sama saya, anggap aja saya teman kamu."

"Terus, di mana Papa? Kenapa Papa jarang banget pulang, apa dia masih sibuk di Surabaya?" Pertanyaan Manu melemahkan seorang perempuan yang sedang terbaring.

"Bu, kalau gini jadinya, Manu akan bicara sama Papa."

"Jangan, jangan ganggu Papa kamu nak, kamu fokus aja sama sekolah yah Manu."

Hiruk pikuk dunia malam pertengahan kota Bandung mulai menggema. Beberapa nyala lampu terlihat dari sebuah tempat yang dinamakan 'club malam'. Langkah sepatu yang santai memasuki ruangan itu. Beberapa lampu terlihat berkelap kelip dalam ruangan. Dirinya lantas menghampiri pria yang tengah meminum segelas whisky, dengan tubuh yang terlihat lunglay.

"Ikut gua sekarang," ucap Agam menarik paksa Agung keluar dari dalam club.

"Woi bangsat, mau apa lo?" ketus Agung pada Agam.

Seketika pukulan keras mendarat pada wajah Agung yang membuatnya sadar bahwa orang yang memukulnya adalah adiknya sendiri.

"Lo apain Mama hah?" ketus Agam yang sudah tak tahan dengan sikap Agung.

"Bocah ingusan, ngapain lo ke sini? Apa-apaan lo? Mau gua bunuh?" Agung melepaskan tangannya ke atas, hendak menampar namun terhenti karena tubuhnya tidak kuat terpengaruh minuman beralkohol tinggi.

"Lo rampas tabungan Mama, lo nyingkirin tubuh Mama, lo pikir gua gak liat HAH?"

"Jangan belagu, lo cuma numpang di rumah gue. Orang yang lo sebut Mama itu cuma istri kedua dari Papa, cuihhhh."

"Bangsat!!!" Tamparan keras Agam lontarkan pada Agung.

"Papa udah cerai sama ibu lo bertahun-tahun yang lalu dan sekarang Mama juga ibu lo saat ini, lo mau jadi anak durhaka?"

Agam pergi dengan kekesalan. Ia menjambak rambutnya kasar seraya melangkah pergi.

Telepon dari Agam membuat Sona keluar rumah dan pergi ke pasar malam dekat rumahnya untuk sekedar menemani Agam yang sedang prustasi.

"Nah," ucap Sona memberikan Agam sekaleng kopi.

"Mama lo gak ngomel gue ngajak malem-malem begini?"

"Hah? Ngomel, hahah. Heh Gam, pasar malem ini paling jauh juga 10 meter dari rumah gue, dan rumah gue masih keliatan dari sini."

Mereka terduduk di sebuah kursi panjang menghadap permainan bianglala.

"Kayaknya ada yang salah sama lo hari ini, kenapa?"

"Hari ini gue habis ribut sama Agung."

"Agung lagi? Kenapa?"

"Dia mabuk di club, setelah ngerampas tabungan Mama gue."

"Kenapa semakin ke sini, abang lo semakin brutal?"

"Jangan sebut dia abang gue, karena gue gak sudi punya abang macem dia."

"Lo tau gak, di luar sana banyak yang gak pernah ngerasain punya keluarga, mereka gak tau siapa ayah mereka, siapa ibu mereka ataupun sanak saudara mereka. Tapi kita sendiri yang punya keluarga masih aja terus ribut sama saudara sendiri, sama ayah, sama ibu. Menurut gue, hidup lo itu udah adil, karena bagaimanapun lo masih punya Papa yang masih perhatian sama lo." Ucapan Sona membuat Agam menatapnya kaget.

"Son, bukan maksud gue nyinggung perasaan lo."

"Selow aja, bagi manusia hidup itu emang selalu gak adil buat hal. apapun."

Kibasan rambut Sona terkena angin malam membuat Agam menatapnya indah. Ia terus tersenyum di samping Sona yang saat ini perkataannya mampu menenangkan pikiran juga hatinya yang sedang lemah.

"Nga ... ngapain lo liatin gue kayak gitu?"

"Ternyata Sona yang gue kenal anak Mama ini bisa ngeluarin kata-kata mutiara ya."

"Heh, siapa bilang gue anak Mama, gue anak Papa juga kali."

"Woooooo.." Agam mengacak kasar rambut Sona.

"Entah gimana hidup gue saat ini kalau Sona gak ada di samping gue, makasih Son," batin Agam.




VOMENT GENG, TERIMA KASIH

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang