22. Terhempas Masa Lalu

314 21 0
                                        

Senja datang, mereka bisa pulang bersama lagi setelah lama tidak melakukan hal itu. Mereka terhenti di tepi pantai. Walaupun perjalanan agak sedikit jauh mereka tempuh, tidak seberapa jauh jalan pertemanan mereka yang sempat memanas hanya karena memikirkan sebuah perasaan. Mereka terduduk menatap senja bersama.

"Kalian dulu bilang, akan support apapun yang gue lakuin. Sementara yang gue lakuin itu sia-sia." Sona memulai pembicaraan.

"Seenggaknya semua itu jadi pembelajaran buat kita. Mau janji gak? Kita gak akan melibatkan soal perasaan dalam ikatan ini?" Manu menoleh pada Sona dan Agam, membuat Agam bergeming tanpa menatap balik Manu.

"Gue setuju itu." Sona tersenyum lebar, namun pemandangan tak enak Manu lihat dari wajah Agam.

"Gam? Lo denger apa kata gue barusan? Kok ngelamun? Ada masalah sama Agung lagi?" Pertanyaan Sona membuat Manu menatapnya pekat, ia banyak berpikiran akan sesuatu perihal Agam yang sedari tadi melamun.

"Eh, gue ... gue setuju kok." Agam terlihat gugup membuat Manu merasa aneh.

Sona berkunjung ke lapas bersama Bu Sima, menjenguk sang Papa. Di balik jeruji besi, Pak Aryan terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Ia bahkan terus tertunduk menyesali apa perbuatan yang ia buat selama ini sudah menghancurkan kehidupannya bahkan kehidupan puterinya. Sona memang terlihat begitu kecewa, ia tak pernah tahan untuk berbincang dengan Papanya saat itu. Bu Sima hanya menghela napas, dan berangsur berbicara bersama Pak Aryan.

Sona menunggu di ruang tunggu. Setelah Bu Sima selesai untuk berbincang, Sona hendak melangkah namun sang Papa memanggil namanya.

"Sona?" Wajah Pak Aryan begitu miris terlihat.

Sona terdiam sebelum ia berbalik dan menatap sang Papa pekat.

"Nak ..." Bu Sima menepuk pundak Sona pelan. Ia mungkin menyuruh Sona untuk melupakan masa lalu. Sona melangkah menuju Pak Aryan perlahan.

"Nak, kamu mau kan maafin Papa?" Pak Aryan menyentuh kedua belah pipi Sona dengan air mata yang terus mengalir.

Sona masih menatap pekat Pak Aryan. Air mata menggenang, sesekali menetes jatuh ke bawah.

"Papa emang udah jadi manusia hina di dunia ini. Papa menyesal, Papa udah jadi Ayah yang buruk buat kamu nak."

Sona terus meneteskan air matanya. Ia mulai menjamahi tangan sang Papa perlaha, melepaskannya dari kedua belah pipinya dan menggenggamnya dengan erat.

"Aku kangen Papa." Ucapan Sona membuat Pak Aryan semakin menangis.

"Tak peduli apapun masa lalu yang Papa lakukan, asalkan Papa menyadari dan mau memperbaiki semuanya, menjadi manusia lebih baik itu udah cukup."

"Nak, Papa gak tau sampai kapan Papa di sini, satu hal yang Papa minta sama kamu. Kamu harus tetap sekolah, suatu saat nanti kamu lulus, kamu harus bicara sama Mama kamu."

"Bicara soal apa Pa?"

"Kamu akan tau nanti, Papa gak mau menjadi pengaruh buruk buat hidup kamu lagi. Kamu harus lebih sukses dan menjadi orang baik." Ucapan Pak Aryan sedikit membingungkan Sona.

Jam jenguk pada Narapidana sudah habis. Sona pulang ke kontrakan dengan Bu Sima. Sona melamun di kamarnya. Ia menatap sebuah bola kristal yang berisikan snow man dan salju yang berterbangan di dalamnya. Benda itu adalah hadiah pertama yang diberikan Papanya, waktu usianya 5 tahun. Dulu, mereka masih keluarga yang berstatus sederhana. Sona memiliki banyak cita-cita sejak berada di usia tersebut.

"Papa, Papa, aku mau ke tempat yang ada saljunya."

Tiba-tiba ingatan yang terpendam dipikirannya mulai muncul kembali.

"Apa? Salju? Tempat itu kan jauh. Di sini gak ada salju princess Papa."

"Sona mau ke sini Pa."

Sona kecil menyodorkan bola kristal pada sang Papa.

"Kamu tunggu dewasa, kamu akan Papa bawa ke tempat di mana salju berada."

"Papa beneran?"

"Iya, apapun akan Papa lakukan demi puteri Papa tercinta ini."

Pelukan itu pun masih terasa membekas di tubuhnya. Ia sesekali meratapi cerita bersama sang Papa. Mungkin cita-cita itu sirna saat ini. Ia tak mungkin bisa seperti dulu.
Telepon berdering menggangu momennya mengenang masa lalu.

"Agam?" Sona terduduk di sebuah taman. Agam datang dengan memakai kaos kasual seperti biasanya.

"Manu mana?"

"Gue baru mau ngajak lo ke resto Manu." Agam terduduk di samping Sona menatap alam yang udaranya begitu sejuk terhempas.

"Libur, gak kerasa ya udah kelas 12 aja."

"Hidup itu terus berjalan." Agam menatap Sona tengah melamun menatap dasar tanah. Ia merasa Sona sedang tidak baik saat itu.

"Son? Ada apa?"

"Nggak kok. Oh iya Gam. Cita-cita lo apa sekarang?"

Agam mengernyit mendengar pertanyaan Sona.

"Buat orang yang akan menjadi dewasa, cita-cita mungkin cuma kiasan. Karena mereka selalu mendapat perbedaan dari apa yang mereka ucap. Kalau saat ini, gue gak mau bercita-cita jadi apapun."

"Lo gak punya tujuan hidup?"

"Tujuan hidup itu menurut gue, asalkan lo bisa hidup dengan baik, melihat ibu lo tersenyum, gue rasa hal itu bisa membuat cita-cita lo akan jadi keinginan yang sesungguhnya." Ucapan Agam membuat Sona mengangguk beberapa kali. Agam memang orang yang perkataannya cerdas luar dalam, tapi yang Sona tak pernah bisa pungkiri adalah ketika Agam jatuh cinta nanti.

"Gam, enak ya jadi lo. Belum pernah jatuh cinta, belum merasakan sakitnya."

Agam menoleh datar ke Sona. Ia mulai menatap Sona dalam.

"Semua itu selalu bersanding. Gue belum jatuh cinta, tapi belum tentu gue gak bisa merasakan sakitnya."

Agam melangkah menuju motornya. Perkataannya seketika membuat Sona bingung. Ia terus berpikiran tentang hal itu. Jika perkataan Agam yang mengatakan belum tentu merasakannya sakitnya, apa dia sudah merasakan sakit hati sebelumnya? Pikir Sona.

"Heh? Ayo mau ikut gak?" Agam teriak dengan senyuman.

"Ih bikin gue bingung aja lo." Sona menyusulnya.



Voment
Terima Kasih sudah Mampir :)

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang