23. Keputusan Sepihak

306 20 0
                                    

Di resto Manu, mereka makan bersama, bercanda juga saling melempar senyum. Telepon Manu berdering membuat mereka terhenti sejenak. Tiara menelponnya, namun Manu tak lantas mengangkatnya.

"Tiara? Kenapa lo gak angkat?" Sona tersenyum pekat menatap Manu.

"Ah gue bingung. Gue gak mau kalau Tiara salah paham soal apapun yang menyangkut gue. Gue gak suka sama dia." Ucapan Manu membuat Sona maupun Agam tertegun.

"Tiara bilang suka ke lo?" Sona mengernyit heran.

"Man. Gue rasa, kita udah sama-sama dewasa. Lo bahkan tau apa yang harus lo lakuin saat ini. Tiara suka sama lo, bukan berarti dia menganggu kehidupan lo kan?"

"Tapi Gam, gue takut nyakitin perasaan dia duluan."

"Lo bukan gak suka sama Tiara, tapi belum." Ucapan Agam membuat Sona menatapnya aneh. Lagi-lagi Sona merasa bahwa Agam saat itu juga menjadi orang lain. Sikap juga pembicaraannya terkadang berbeda jauh dengan Agam yang ia kenal.

"Agam tau banyak banget soal perasaan. Tapi dia belum pernah jatuh cinta. Dari mana dia dapetin kata-kata sebijak itu?" Terkadang batin Sona bertanya-tanya.

Bel istirahat berbunyi, Agam dan Manu sudah berdiri di depan kelas menunggu Sona yang memang tengah berada di kantor guru. Sona datang memasang wajah aneh membuat kedua kurcacinya bingung.

"Son ada apa? Lo disuruh nugasin buat sekelas kan?"

Sona menatap mereka kaku, ia lantas tersenyum membuat Manu merasa aneh.

"Lo ngapain di kantor, jujur sama kita?"

"Nggak, gue cuma disuruh rekap absen, karena ketua kelas kita kan izin. Makan yok!"

Wajah sumringah Sona membuat Agam banyak berpikir tentang beberapa hal.

"Sorry, gue izin ke toilet."

Agam izin pada mereka yang membuat Manu menatapnya tajam Agam yang berlari menuju toilet. Tak sesuai izinnya, Agam malah terlihat sedang duduk di kursi, tepatnya di dalam kantor guru.

"Apa? Sona belum bayar ujian praktek?"

"Iya, ada apa emang? Saya mau kasih surat peringatan buat dia, supaya orangtuanya bisa hadir untuk membahas masalah ini."

"Berapa lagi kalau boleh saya tau?"

"Ada apa nak Agam? Ini bukan urusan kamu kan."

Beberapa menit Agam keluar dan menuju kantin.

"Lama banget lo!" Manu memperhatikannya sedari tadi.

"Abis boker!"

Ting, sendok Sona jatuh dari tangannya.

"Jorok, gue kan lagi makan."

"Sorry ya." Agam mengacak kasar rambut Sona.

Pulang sekolah mereka tak langsung menanggalkan langkahnya untuk pulang karena Sona lagi-lagi mendapat panggilan untuk ke kantor. Beberapa menit, Sona tertunduk bingung, matanya terfokus ke dasar tanah tanpa meninggalkan wajah kebingungannya. Matanya kemudian terfokus tajam pada Agam.

"Kenapa lo lakuin ini?" Mata Sona memerah pekat menatap Agam.

"Ada apa Son?" Manu mengernyit heran.

"KENAPA LO LAKUIN INI?" Sona memegang kerah baju Agam membuat Manu segera melerai hal itu.

"Son? Ada apa sama lo?" Manu emosi karena ia tak mengerti apapun.

"Kenapa lo bayarin ujian praktek gue? Siapa lo? Gue gak butuh rasa kasihan Gam!" Ucapan Sona membuat Manu melotot kaget.

"Maksud lo apaan?" Manu masih bingung sendiri.

"Kenapa Gam? Udah cukup, gue gak mau terus-terusan berhutang sama lo. Please, jangan bikin gue kayak gini." Sona mulai menangis.

"Kenapa Gam?" Manu masih bertanya bingung.

"Gue bayarin ujian praktek Sona, kalau gak gitu, Bu Sima pasti dipanggil ke kantor."

"Tapi itu bukan urusan lo. Kenapa lo kayak gini? Hah?" Sona menangis seraya emosinya meluap. Ia berlari pergi meninggalkan Agam yang tertegun. Manu menatap Agam dengan keheranan.

"Ada apa sama lo?"

"Gue berusaha jadi teman yang baik buat Sona Man."

"Tapi lo bisa bicarain hal ini sama Sona maupun gue Gam. Kenapa lo mutusin perkara begini sendiri?"

"Gue bilang, gue berusaha jadi sahabat yang baik buat Sona Man. Lo tuli?"

"Kenapa lo ngotot gitu? Apa gue salah nanya? Hal yang lo lakuin itu buat Sona berpikir bahwa lo kasihan sama dia. Dan Sona benci orang yang anggap dia begitu Gam!" Manu mulai menarik urat, nada bicaranya mulai meninggi.

"Gue gak ngerasa salah Man. Mungkin kalau lo tau, lo akan ngelakuin hal yang sama kayak gua."

"Gam, lo salah mengerti tentang ini. Gue ngerasa, ada sesuatu yang lo sembunyiin dari gua. Inget Gam, gua gak akan bisa dibohongin tentang apapun, gue tau lo lebih dari siapapun."

Manu pergi dengan kekesalan perihal Agam yang selalu memutuskan hal secara sepihak. Sona merasa dikasihani karena hal itu. Sungguh, Agam berpikir Sona telah salah paham padanya.

Di kamarnya, Sona menangis namun ia menyimpan suaranya demi sang Mama. Sona kemudian mengambil sebuah celengan berbentuk kelinci, ia pecahkan sampai berkeping. Terlihat banyak lembaran uang yang ia kumpulkan selama 2 tahun belakangan.

"Gue akan balikin uang Agam secepatnya." Ia mengais uang di dasar lantai yang berserakan. Air matanya tak henti untuk menetes.




Voment💙💙thx

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang