39. Pergilah Kasih

344 26 0
                                    

Dua hari berlalu, Sona terlihat keluar dari sebuah lembaga pendidikan bergengsi di kota Bandung. Ia langsung ditunjuk menjadi wakil kepala sebuah yayasan besar di kota Bandung. Kebetulan, semua ia tahu dan ia kenal berkat tante Irish. Sona sangat berterima kasih karena ia diberi kesempatan untuk bisa menggapai cita-citanya selama ini. Sebenarnya, Sona mendapatkan beasiswa untuk meneruskan study S2-nya di Finland. Namun Sona menundanya untuk bisa mempunyai waktu membuat pilihan. Ia tak ingin berlama-lama meninggalkan sang Mama, namun ia juga sangat ingin meneruskan pendidikannya di Finland. Sona diberi waktu satu bulan untuk memutuskan semuanya. Dan jika ia menolak, beasiswa akan hangus.

"Nak, jika kamu mau meneruskan pendidikan kamu, terusin aja. Sayang, kamu udah berusaha selama ini."

"Tapi Ma--"

"Mama ada Papa sekarang. Dan sekali-kali Mama akan jenguk kamu ke sana. Tapi Mama mau ingetin satu hal," ucap Bu Sima dengan senyum.

"Apa itu Ma?"

"Jangan pergi tiba-tiba dari nak Agam lagi. Bicarakan hal ini baik-baik, dan seluruh keputusan ada di tangan kamu Sona."

Sona tertunduk sendu sekaligus bingung.

Sona menemui Manu dan Tiara lagi. Hingga empat hari berlalu, Agam belum juga Sona temui.

"Son! Ada apa sih sama lo? Kasian Agam. Gue tau dia sibuk, tapi kalau lo abaikan buat ketemu sama Agam kek gini, itu gak bener Son." Manu terlihat mengangkat alisnya kesal.

"Gue akan segera temuin, dan memutuskan hal ini di depan dia."

"Son, gue mau lo jangan gegabah lagi." Tiara memegang pundak Sona perlahan. Sona menggelengkan kepalanya menatap Tiara dengan serius.

"Di mana biasanya Agam nikmatin waktunya sendiri?"

"Dia selalu pergi ke taman deket sekolah. Selama 4 tahun dia selalu ngelakuin hal itu ketika kerjaannya selesai juga kalau dia lagi banyak pikiran."

Agam di kantor terlihat menyelesaikan beberapa berkas laporan. Ia menutup bolpoinnya dan melepaskan kacamatanya. Ia menatap arloji dan kemudian kalender di depannya.

"Ini tanggal kepergian Sona ke Finland. Gak kerasa, udah 4 tahun gue nunggu lo Son. Kapan lo pulang? Apa lo masih inget sama gue? Apa lo akan benci sama gue?"

Beberapa jam setelah pekerjaannya selesai, Agam terlihat keluar dari sebuah toko bunga. Kali ini bunga mawar plastik berwarna putih.

"Gue seneng banget, Tante Sima mau jagain bunga-bunga gue sampe gak berdebu tiap tahunnya."

Agam memasuki kembali mobilnya dengan antusias.

Agam terlihat terduduk di sebuah taman dekat sekolah mereka dulu. Ia melamun, tangannya memegangi surat pemberian Sona empat tahun lalu dan ia selalu simpan di balik case ponselnya.

"Gue harap lo ada di sini Son. Gue udah jadi orang, bahkan bukan lagi Agam yang suka nyontek sama lo." Agam terkekeh seraya bergumam sendiri.

Agam lantas berdiri melangkah melalui jalan sekitar taman menuju ke mobilnya. Ia tertunduk dengan terus tersenyum. Ia melotot kaget dan langkahnya terhenti, karena matanya melihat sesosok gadis yang tersenyum di depannya.

Agam menjatuhkan bunga mawar putihnya. Di depannya terlihat Sona berdiri dengan terdiam. Tanpa ekspresi dan diselingi dengan sebuah cairan yang sudah penuh di matanya.

"Sona?" Mata Agam berkaca, jantungnya mulai gemetar. Ia menatap Sona dari ujung kaki sampai kepalanya.

"Hai? Gimana kabar lo?" Pertanyaan Sona membuat Agam melotot terdiam. Ia lantas membuang wajahnya ke samping, membuang sedikit air matanya tak habis pikir.

"Gi--gimana kabar lo?"

Sona menganggukan kepalanya dengan cepat.

"Gue baik!"

Ia menyimpan air matanya dan diganti dengan senyuman depan Agam. Agam melangkah menghampiri Sona. Ia memeluk Sona perlahan, tapi dengan pelukan yang begitu erat.

Mereka berbincang di kursi taman. Terduduk dengan sama-sama canggung.

"Gimana hari-hari lo di sana? Pasti menyenangkan." Agam berucap lebih dulu. Tangannya terus memainkan bunga mawar putih yang sebelumnya terjatuh dari tangannya.

Sona mengambil bunga itu secara paksa dari tangan Agam.

"Ini pasti lo akan kasih ke Mama."

Ucapan Sona membuat Agam menarik senyum walau dengan begitu canggung karena Sona dirasa sudah mengetahui kebiasaannya itu.

"Em. Menyenangkan."

Singkat, itu jawaban Sona. Agam sendiri memainkan kedua tangannya, ia terlihat lebih gugup dari biasanya. Agam merogoh saku jasnya, diambil sebuah kertas yang ia sodorkan pada Sona. Sona berkaca-kaca. Ia perlahan mengambil kertas dengan tangan gemetar.

"Bertahun-tahun, gue nunggu penjelasan dari isi surat lo ini Son."

Agam menatap tajam Sona. Sona tertunduk sendu, bahkan ia menggenggam erat surat miliknya yang ia berikan pada Agam empat tahun lalu. Sona menoleh senyum pada Agam membuat Agam heran. Sona mengangguk perlahan membuat Agam senyum dengan air mata masih betah menghiasi bola matanya.

"Tapi ..."

"Lo akan pergi untuk jalani pendidikan S2 kan?" Pertanyaan Agam membuat Sona melotot kaget, pasalnya ia belum memberitahu siapapun akan hal itu.

"Da ... dari mana lo tau?"

Sona meminta penjelasan dengan serius. Agam mulai memegangi lengan Sona.

"Son. Kalau lo mau pergi, pergi aja."

Sona melepas kembali tangannya dari Agam.

"Kenapa lo ngomong kayak gini? Kenapa? Harusnya, lo menahan gue buat pergi. Lo udah nunggu selama mungkin hingga saat ini. Apa lo gak sakit hati kalau gue pergi lagi?"

Agam tertunduk membenarkan posisi duduknya ke depan.

"Gue melepas lo karena impian lo itu lebih penting. Dari kecil lo selalu punya mimpi buat jadi dosen di salah satu kampus luar negeri. Gue mau, lo capai cita-cita lo sampai akhir. Gue juga gak mau, karena cinta gue sama lo, membuat semuanya hancur. Dan, gue melepas lo sementara karena gue percaya sama lo." Agam menatap tajam Sona dengan senyum. Sementara Sona sudah banyak mengeluarkan air mata. Sona memeluk Agam dengan erat. Agam terus mengelus rambut ikal milik Sona.

"Lo gak cocok rambut ikal."

Agam mengejek Sona yang masih dalam dekapannya. Sona memukul pelan dada bidang milik Agam. Mereka hanyut dalam tangis bahagia di taman.

To be continue ...
VOMENT GESS Terima Kasih💙

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang