32. Pilihan Perasaan

343 23 0
                                    

Semenjak hari dimana Agam mengungkapkan perasaan padanya, Sona sekarang berubah menjadi canggung. Entah akan menjadi seperti apa status persahabatan yang mereka jalin sejak lama. Sebuah perasaan yang timbul tanpa diduga membuat semuanya merasakan sesak dalam hati. Tak terlebih Sona sendiri.

"Gue harus bisa memilih. Gue harus relakan salah satu." Ia bergumam tegas depan cermin. Semua ia anggap adalah kemarin, dan kemarin tetaplah kemarin, tak ada hubungannya dengan hari ini. Ia menatapi ponselnya dengan sendu, nomor Agam pun selalu ia tatap lama.
"Kenapa harus gue orangnya? Kenapa rasanya sulit banget Gam?"

Ponsel berdering membuat Sona lepas dari lamunannya. Nama Manu tertera di monitor ponselnya. Beberapa menit kemudian, Sona berjalan menuju taman dengan menyoren tas selempang di bahunya. Matanya memencar mencari Manu.

"Son?"

Lambaian tangan Manu mengalihkan pandangan Sona. Ia kemudian terduduk di samping Manu. Sona memaksa mengambil sekaleng minuman dari tangan Manu.

"Belum gue tawarin."

"Tapi ini buat gue kan?"

"Iya sih."

Manu membuka tutup kaleng terdengar begitu nyaring. Ia menenggak kasar minuman kaleng yang terlihat memang begitu segar. Matanya kemudian memencar melirik Sona yang sedari tadi menaruh kaleng minumannya di mulut, tanpa meminum ataupun melepasnya. Tangannya pun serasa tidak pegal dengan terus memegangi minuman kaleng tersebut. Tak sadar, Sona melamun dengan mata yang berkaca. Manu menghentikan proses minumnya, dan mengamati wajah Sona yang tenggelam dalam sendu. Dengan sergap, Manu menarik wajah Sona untuk mendekap dalam dada bidangnya, minuman kalengnya pun terjatuh tumpah. Sona menangis di pelukan Manu.

"Kenapa Man? Kenapa jadi kayak gini? Apa gue yang salah di sini? Kenapa begini Man?"

Manu mengelus punggung Sona dengan lembut. Ia terus menepuk untuk menenangkan Sona.

"Bukan salah siapapun, waktu yang mempermainkan semuanya."

Sona melepas pelukan Manu perlahan.

"Son. Gue tau semuanya soal Agam dan lo. Semua keputusan ada di lo. Gue gak mau ikut campur, walaupun kalian berdua adalah sahabat gue. Gue cuma jamin satu hal, apapun semuanya akan baik-baik aja gimana pun jadinya. Terserah lo mau jatuh cinta sama siapa, mau suka siapa, karena setiap orang menyukai sesuatu gue rasa gak butuh sebuah alasan. Dan apapun yang lo mau lakuin sama Agam, gue mohon bicara baik-baik sama dia." Ucapan Manu membuat Sona menatap Manu dengan pekat, mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya dengan baik.

"Gue gak bisa. Kita sahabat. Gue gak mau persahabatan ini hancur, hanya karena perasaan." Sona melangkah membelakangi Manu.

"Gimana kalau Agam benar-benar tulus sama lo? Dan mau sampai kapan lo bertahan Son?" Pertanyaan Manu membuat Sona bungkam, ia menahan sesaknya saat itu. Air matanya pun sebisa mungkin ia tahan untuk keluar.

"Dan gimana perasaan lo saat ini? Apa yang lo rasain? Gue rasa, Elang pun udah gak ada di dalam hati lo lagi kan? Karena gue tau, lo gak benar-benar cinta sama Elang, itu adalah rasa kagum berlebih."

Sona masih terdiam setelah Manu banyak mengeluarkan kata untuknya.

"Gue cuma mau bilang itu. Bagaimanapun jadinya, kalian tetap sahabat gue. Gue cabut!"

Manu melangkah meninggalkan Sona, alhasil air mata Sona pun keluar begitu banyak, ia menangis di taman sejadinya. Sona menatap punggung Manu yang menjauh.

"Bukan cuma soal persahabatan Man. Tapi gue harus pergi." Sona bergumam dengan sendu. Air matanya terus mengalir sedikit demi sedikit.

Hari senin datang, setelah beberapa bulan cap tiga jari, akhirnya ijazah mereka pun keluar. Sebagian alumni datang untuk mengambil ijazah mereka. Mau tidak mau, baik Sona maupun Agam, mereka harus kembali menatap satu sama lain. Memang sedikit luka yang Agam rasakan, namun ia menganggap itu semua adalah konsekuensi karena jatuh cinta kepada sahabat sendiri. Manu dan Tiara terus memperhatikan gerak-gerik mereka.

"Son?" Bertanya pun begitu membuat Agam gugup, padahal Sona adalah orang yang setiap hari di sekolah selalu makan bersamanya, bahkan mereka pun pernah makan sepiring berdua. Rasa canggung tiba-tiba muncul dalam diri mereka setelah peristiwa itu.

"Gam." Sona menimpali datar, ia kemudian melangkah menyambut Tiara.

Manu menghampiri Agam. Ia menepuk beberapa kali pundak Agam.

"Semua butuh proses. Bukan berarti lo hidup lama bersama Sona, lo akan bisa naklukin hati dia. Lo udah dianggap sahabat, lo harus bisa ngilangin image sahabat Sona dalam diri lo. Lagipula, apa lo yakin akan melangkah sejauh ini? Gue bahkan gak mau lo terluka secepat ini Gam."

"Gue sayang Sona Man. Dan itu lebih dari sekedar sahabat. Tapi kalau emang Sona cuma bisa liat gue sebagai Agam temennya, gue ikhlas. Tapi gue gak akan berhenti buat yakinin Sona, kalau gue bener-bener tulus sama dia."

Agam terus menatap Sona dari jauh. Tak sadar, Sona pun ikut melirik ke arahnya, membuat Agam berasumsi aneh dengan tatapan Sona yang ia rasa memiliki banyak makna yang tak bisa Sona sampaikan.

Sona melamun di taman dengan Tiara masih bersamanya. Tak tahu akan ada apalagi setelah hari ini, esok atau lusa. Ingin bertanya, namun Tiara masih mengurungkan niatnya. Tapi demi Sona, ia memberanikan diri untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

"Kita udah jadi alumni. Dunia kejam pasti akan datang."

"Gue setuju sama kata-kata lo Tia."
Sona tertunduk sedari tadi.

"Son. Gue mau lo jujur soal perasaan. Jangan sampe nanti lo nyesel karena lo terus pendam apa yang lo rasa."

Sona menoleh ke arah Tiara kaget. Ia rasa Tiara juga mengetahui perihal masalahnya.

"Bukannya gue gak mikirin tentang perasaan. Tapi gue harus membuat pilihan yang sulit gue jalanin." Mata Sona berkaca membuat Tiara sendiri melebarkan matanya.

"Son, lo bisa cerita apapun sama gue? Jangan pernah nyembunyiin apapun sendirian."

"Gue gak nyembunyiin apapun."

"Apa pilihan itu? Boleh gue tau?"

Sona menggelengkan kepalanya pelan.


Don't forget to voment thx❤

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang