3. Never Be Alone

953 79 3
                                    

Di rumah, Agam menatap langit-langit kamarnya, matanya terfokus tajam pada kekosongan. Agam anak kedua dari 2 bersaudara. Ia memiliki kakak laki-laki yang berusia 22 tahun.  Mereka tidak pernah akur satu sama lain. Di sela Agam turun ke dapur hendak minum, ia dihadang oleh Agung.

"Gam, pinjem duit dong," ucap Agung, kakak laki-laki Agam.

"Gue gak punya duit bang, kenapa lo gak minta sama Papa aja."

"Gue baru aja minta kemarin, Papa pasti gak ngasih, buru lah gue butuh banget nih." Paksaan Agung membuat Agam jengkel.

"Gue bilang gue gak punya. Tolong lah bang ... lo gunain waktu lo yang bermanfaat. Buat apa Papa kuliahin lo kalau selalu bolos. Gue cuma anak SMA yang belum punya penghasilan."

"Apa lo bilang? Heh bocah, gak usah deh lo nyeramahin gue. Gue ini abang lo ... berani bantah abang lo!" ketus Agung seraya merangkul leher Agam dengan kuat, mencekiknya tanpa sengaja. Sebelah tangannya merasuki saku celana Agam. Diambil sebuah dompet olehnya.

"Bang, jangan bang."

"Nah ini lo punya. Anak SMA gak usah pegang duit banyak-banyak," ucap Agung melemparkan dompet kosong pada Agam.

Agam memang sudah tak tahan atas perlakuan kakaknya itu. Namun, apa daya, ia tidak bisa memukul saudara kandungnya sendiri. Terlebih lagi, Agung adalah kakak tertua di keluarganya. Sudah sering sekali kali perlakuan Agung membuat Agam naik vitam. Tapi disamping itu, ia selalu tak berani untuk melawan. Karena ketika melawan, memar pasti akan ada pada wajahnya.

Disamping itu, Manu tengah menatap ibunya yang terbaring sakit.

"Bu, Manu gak usah sekolah ya besok. Manu mau temenin ibu di rumah."

"Nggak, kamu harus sekolah nak. Jangan bolos ya, ibu mohon."

"Iya deh bu!" sahutnya tertunduk lemah.

Pagi itu mereka terlihat tidak bersemangat saat sekolah, berjalan berdampingan dan berhenti di taman sekolah.

"Hemmmm." Sona yang menghela napas pertama.

"Gimana orangtua lo?" tanya Agam pada Manu.

"Ya gitu deh, dan gimana abang lo?"

"Tanpa gue jawab, lo pasti tau."

"Dan gimana sama Papa lo?" tanya Manu bersamaan dengan Agam.

"Hemm, dia gak pernah ada waktu, gue rasa gue gak pernah ngerasain punya Papa," tukas Sona.

"Heh, jangan ngomong gitu, anggap aja kita ini Papa lo. Ya kan nu?"

"Lo aja yang jadi Papa Sona, muka lo kan tua!" jawab Manu.

"Kamvret!" Agam memukul kepala Manu seketika membuat Sona terkekeh.

"Jadi gimana? Ayo ke kelas, kita bikin ulah sama Bu Harum," ucap Sona.

Sampai di dalam kelas, Guru yang menjadi ikon seksi seantero sekolah Mandala mulai memasuki ruang kelas Sona.

"Piiwittttt!" Siulan demi siulan terdengar dari beberapa mulut siswa yang matanya terbelalak kala guru cantik itu masuk kelas.

"Stop. Ayo kita olahraga di luar," ucap Bu Harum selaku guru olahraga pengganti di sekolah Mandala.

"Duh, gue deg-degan cuy. Gue bisa lompat-lompatan berdua sama Bu Harum itu rasanya, uhhh ... merinding gue," celetuk Manu.

Mereka sudah berganti seragam. Beberapa pemanasan mereka lakukan walaupun cuaca Bandung begitu panas hari itu. Sona merasa terganggu kala sinar mentari terus saja menyorot matanya yang memicing karena cahaya.

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang