Di restoran, Manu terlihat melamun memikirkan peristiwanya dengan Agam sore itu. Ia tak habis pikir dan mulai menganggap Agam sudah melebihi batas seorang teman. Hal itu membuat Manu terus berprasangka aneh pada Agam. Ia mencoba menelpon Sona namun Sona tidak pernah aktif sudah dari dua hari yang lalu.
Sementara Agam, ia melamun di teras halaman rumahnya. Celana pendek yang dipakainya menampakkan kaki jenjang yang menopang tangannya dengan kokoh. Dahinya mengerut heran, sesekali ia mulai merasakan jantungnya berdekap tak normal.
"Ada apa sama lo Gam? Kenapa begini rasanya?" Ia memicing heran.
Di sekolah, Sona mulai banyak diam. Ia tak saling tegur sapa dengan Manu dan Agam. Setelah bel istirahat berbunyi, Sona keluar lebih dulu dan Manu hanya bisa membiarkannya. Ia memang kesal dengan sikap Agam. Itu sebabnya Manu menghindar untuk membuat Sona lebih nyaman. Agam melamun di rooftop sekolah. Tak sadar, Sona sudah ada di belakangnya.
"Son?" Agam menyambut Sona kaget.
"Stop, lo diem aja di sana." Sona mulai melangkah menghampirinya.
"Ambil ini!" Sona mengepalkan beberapa lembar uang ke tangan Agam.
"Son, gue gak maksa lo buat ganti secepat ini."
"Tapi gue gak mau punya hutang sama lo."
"Balikin uangnya ke Tante Sima."
"Itu uang gue. Lo gak berhak tau dari mana gue dapet itu. Please ambil. Itu uang halal kok."
Dengan terpaksa, Agam menyimpan uang pemberian Sona ke saku celananya. Sona hendak pergi namun tangan Agam berusaha menahannya.
"Gue minta maaf Son."
"Lo terlalu baik Gam. Lo gak berhak minta maaf."
"Gue paling gak mau dibenci sama lo. Gue mohon jangan menghindar kayak gini sama gue."
Sona tertegun mendengarnya.
"Gue gak mau lo salah mengartikan persahabatan kayak gini Gam. Lo gak berhak ikut campur urusan hidup gue."
"Gak berhak?" Agam bertanya dengan wajah penuh makna.
"Lo sama gue cuma teman, dan kita punya kehidupan masing-masing." Ucapan Sona membuat Agam tertunduk. Sona hendak melangkah pergi. Namun lagi-lagi suara Agam menghentikan langkahnya.
"Tapi kalau gue bilang ada sesuatu yang terjadi sama hati gue, apa lo akan percaya?" Pertanyaan Agam mengagetkan Sona. Sona melotot menatap Agam beberapa menit.
Agam mengerutkan alisnya menatap Sona. Ia lantas melangkah pergi melewati Sona tanpa sedikit pun meliriknya. Hal itu membuat Sona semakin kebingungan. Entah kenapa, setelah ucapan Agam, jantungnya serasa melemah, tersengat, juga merasa tersungkur begitu keras ke dasar tanah.
"Apa yang terjadi sama hati lo Gam?" gumam Sona.
Di balik semua itu, ada manik mata yang menatap tajam Sona yang tertegun di rooftop. Ya, dia Manu. Ia memang berencana ingin berbicara empat mata dengan Agam, namun ia lebih dulu melihat Sona menghampirinya. Langkahnya terhenti dan berujung untuk mendengar pembicaraan mereka.
Manu tengah menimpa bongkahan kerikil di taman sekolah. Ia melamun memikirkan perkataan Agam pada Sona sejenak di rooftop sekolah siang itu.
"Gue udah duga akan kayak gini. Lo bodoh Man, kenapa lo baru sadar akan hal itu?" Ia bergumam dengan mata yang terfokus pada dasar tanah. Tiara menghampirinya dengan perlahan.
"Manu?"
Manu tersadar dari lamunannya. Ia segera berdiri tegap hendak pergi.
"Man!"
"Ada apa?" Manu bertanya malas.
Tiara terlihat gugup, ingin rasanya bicara pada Manu namun ia hanya berdiam tanpa kata. Terlebih lagi Manu selalu menghindarinya walau sekeras apapun Tiara mendekatinya.
"Ada apa?"
"Malam nanti, lo ada waktu gak?"
"Ada apa emangnya?"
"Lo mau gak, temuin gue di cafe biasa? Ada hal yang mau gue omongin sama lo."
"Maaf, gue gak ada waktu." Manu melangkah pergi.
"Tapi ini penting."
Perkataan Tiara menahan langkah Manu.
Di kelas, Agam terlihat lebih kalem dari biasanya. Sona terus memperhatikannya, dan begitu penasaran dengan apa yang Agam ucap sebelumnya.
"Gak mungkin!" Sona berusaha menyangkal setiap pemikiran bodohnya. Bahkan perkataan Agam mampu menggangu pikirannya.
Sementara Manu datang ke kelas berwajah datar membuat Agam heran.
"Man? Ke mana lo tadi pagi? Gue samper lo gak ada."
"Gue ada urusan." Jawaban Manu agak nyeleneh membuat Agam mengerutkan dahinya heran.
Istirahat tiba, Sona pergi bersama Tiara. Seakan tahu apa yang akan terjadi pada Manu dan Agam, Tiara berusaha membawa Sona pergi untuk sementara. Tiara mungkin banyak menyimpan rahasia tentang mereka selama ini.
"Ngopi yuk?" Agam mengajak Manu saat Manu masih membereskan beberapa bukunya.
"Gue sibuk!"
"Man? Ada apa sama lo?" Agam bertanya serius. Karena hari itu ia merasa Manu benar-benar mengabaikannya.
"Gue bilang gue sibuk!" Nada bicara Manu meninggi membuat Agam melotot menatapnya. Manu berusaha melangkah keluar kelas namun badan tegap Agam berusaha menghalanginya keluar.
"Gue mau lewat!" Manu mulai emosi.
"Ada apa sama lo? Lo masih marah sama gua?" Agam mulai menimpali heran.
Manu menarik kerah baju Agam dan membawanya ke belakang sekolah. Agam segera menepis tangan Manu, wajahnya mulai kesal terlihat. Ia begitu bingung dengan sikap Manu saat itu.
"Lo masih marah karena gue bayarin ujian praktek Sona? Sona udah balikin uangnya, nih."
"Cukup! Asal lo tau, Sona punya kehidupannya masing-masing Gam. Lo gak bisa seenaknya ikut campur kehidupan Sona."
"Ikut campur? Ikut campur kata lo? Apa ini menyangkut hidup lo? Sona sahabat kita Man."
Manu menatap Agam pekat.
"Sona adalah satu-satunya orang yang gak bisa gue tinggal sendirian dalam masalah. Dia sahabat gue, dan lo pun pasti merasa kayak gitu Man."
"Tapi yang gue liat dari lo adalah lebih dari perhatian ke teman." Ucapan Manu membuat Agam tertegun. Matanya yang menatap tajam Manu telah mendatar dan matanya memencar ke dasar tanah.
"Kenapa lo diem? Hah?"
Manu meraih kerah seragam sekolah yang Agam kenakan.
"Kenapa lo diem Gam?"
Manu mulai terasa sesak, ia menatap sendu Agam yang memang terdiam tanpa kata. Bel berbunyi nyaring menghentikan segala pembicaraan mereka di taman belakang sekolah. Manu melepaskan genggamannya dari kerah Agam. Ia menanggalkan jejaknya lebih dulu.
"Emangnya gue salah punya perasaan kayak gini Man? Gue juga gak tau kenapa." Agam terduduk di dasar tanah. Ia mulai merasakan sesak lagi di hatinya. Entahlah, perasaannya kali itu benar-benar membuatnya seperti orang gila. Ia tak mengerti atau pun tak bisa menafsirkannya dengan jelas.
Voment, tengkiyu❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
SONA
Teen FictionCinta atau persahabatan? Mana yang akan kau pilih? Sona, Agam dan Manu. Ketiga anak SMA itu telah bersahabat sejak lama. Bahkan persahabatan mereka sudah diartikan layaknya keluarga. Namun, persahabatan yang mereka jalin dengan baik malah terpecah b...