14. Luka Memar

370 27 4
                                    

Setelah peristiwa itu, pagi harinya Manu pergi tanpa memakai seragam sekolahnya. Ia mencoba kabur dari rumahnya, meluapkan semua emosinya di luar. Ia tergesa pergi sebelum Pak Budi asisten Pak Restu melihatnya kabur. Sampai pada saat Manu menghentikan langkahnya ke sebuah Bar. Lampu berkelip menyakitkan matanya. Jika seseorang tahu bahwa Manu anak SMA ia pasti akan ditendang keluar dari Bar dan polisi pasti sudah menangkapnya.

Manu terduduk di kursi sebelum seseorang menghampirinya, membawakan segelas minuman beralkohol tinggi. Manu memang tersadar. Ia tidak mengingat semuanya kecuali perceraian itu. Manu menggenggam erat gelas berisikan segelas whisky, tangannya bergetar tak berani. Ia lantas membuang gelas tersebut sampai pecah dan keluar dari Bar dengan tergesa.

Ia menangis dipinggir danau, perasaannya sungguh kacau, Manu tak bisa mengontrol pikirannya saat itu.

"KENAPA? KENAPA SEMUANYA HARUS KAYAK GINI? GUA MOHON KEMBALIIN SEMUANYA SEPERTI SEMULA!" Manu berteriak keras di tepi danau, ia menangis tersedu.

Setelah beberapa jam menangis di danau, Manu luntang-lantung berjalan menuju sekolah, lapangan sekolah memang selalu terbuka karena ada beberapa yang latihan basket malam hari. Tak seorang pun yang melihatnya. Wajahnya sungguh kacau, ia menangis di salah satu sudut.

Pulang sekolah, Agam lagi-lagi terlihat memar di wajahnya. Ia mengernyit nyeri merasakan memar di tubuhnya. Beberapa orang terkapar meninggalkannya yang terjatuh.

"Lain kali bilang sama si brengsek Agung, kalau dia berurusan sama gue. Dia bakalan mati di penjara." Ucapan seorang lelaki yang menyudutkan Agam begitu sinis.

Sebelumnya, Agam memang telibat baku hantam karena berusaha melindungi Agung yang menjadi buron beberapa anak orang kaya. Agung terbelit hutang besar, ia menghilang tanpa kabar akhir-akhir ini. Papa maupun Mama Agam pun kebingungan atas sikap anaknya.

"Di mana Agam Ma?" tanya Pak Hendra, Papa Agam dan Agung.

"Agam di telepon gak aktif, seluruh temannya pun gak ada yang aktif Pa!"

"Kita selalu diuji sama anak-anak. Papa minta maaf atas perlakuan Agung Ma!"

Bu Nuri menghela napasnya dalam.

Sementara, ponsel Agam berdering keras, ia dapat telepon dari Pak Budi yang memberitahu peristiwa keluarga Manu. Agam adalah orang yang terdekat yang Manu kenal. Manu menghilang membuat kecemasan ibunya.

"Apa?" Ekspresi Agam begitu terkejut mendengar bahwa Papa dan ibu Manu akan bercerai.

Dengan sekujur tubuh penuh luka, Agam berusaha mencari posisi Manu, sahabatnya. Luka memar masih menetap di wajahnya, sesekali ia memegangi perutnya yang kesakitan. Agam pergi ke lapangan basket sekolah. Ia tahu betul jika Manu memiliki masalah dengannya atau keluarganya, ia akan pergi ke sana. Mata Agam memencar, keringat mengucur di seluruh tubuhnya.

"MANU!" Panggilan Agam bergema namun tak ada balasan.

Lapangan sudah sepi terlihat. Agam melangkah ke setiap sudut, terlihat seorang Manu yang terduduk menekuk kedua kakinya. Ia sedang menangis tersedu.

"Man, Manu!" Manu kaget saat Agam menemukan keberadaannya.

"Man, Man, lo gak apa-apa Man?" Agam meraih wajah Manu yang menangis terisak. Dengan sergap Agam memeluk Manu, ia merasa bertanggung jawab sebagai seorang sahabat maupun saudara bagi Manu disaat temannya terluka.

Mereka terduduk di tengah lapangan bersama.

"Hancur! Hidup gua hancur Gam. Rasanya saat ini gue pengin mati aja. Percuma gua punya keluarga tapi hancur berkeping." Manu melamun menatap dasar lapangan.

"Apa begini rasanya jadi anak yang gak guna. Gua merasa terbuang. Mereka gak kasih tau alasan apapun, padahal gua anak satu-satunya mereka. Gua yakin, Papa pasti punya wanita simpanan, gua akan membenci dia seumur hidup."

"Dan setelah itu, apa yang lo bakal lo dapetin? Hidup itu isinya cuma ujian dan sekarang lo lagi diuji. Mungkin banyak alasan yang emang lo gak harus tau tentang itu." Ucapan Agam membuat Manu menatapnya tajam. Manu mendengus kesal, ia memegang kerah Agam dengan emosi.

"Apa maksud lo gua gak harus tau? Tapi kenapa Papa ninggalin ibu gua ketika dia gak bisa ngapa-ngapain Gam? Gimana perasaan lo kalau ada di posisi gua? Hah?"

Agam terlihat melotot tajam menatap Manu, ia mendesah nyeri kala luka perutnya terasa kembali.

"Gam ... lo ... kenapa muka lo?" Manu memeriksa wajah Agam, ia membolak-balikan wajah Agam yang terlihat banyak memar.

"Dan ... bagaimana rasanya lo berada di posisi gue Man? Harus terluka demi keluarga yang utuh tapi menampar gue dengan luka?" Agam terlihat lemas, ia tiba-tiba menutup matanya.

"Gam! Lo kenapa Gam? Bangun Gam!" Manu yang kebingungan terlihat meraba ponsel di saku celananya.

Catatan panggilannya yang terdepan hanya terlihat nomor ponsel Sona. Sona terlihat sedang menikmati jamuan dinner yang Elang sediakan, ia tersenyum lebar di depan Elang. Sona mengangkat panggilan dari Manu, beberapa detik kemudian Sona melebarkan pupil matanya.

"Apa?" Sona menutup panggilannya. Ia mengambil tas dan hendak pergi tanpa pamit pada Elang.

Elang menahan tangannya.

"Mau ke mana? Ada apa Son?"

"Agam sakit! Aku harus ke rumahnya sekarang."

"Begitu pentingkah?" Pertanyaan Elang membuat Sona menatapnya tajam.

"Begitu penting kata kamu? Agam sahabat aku, bagaimana pun aku harus ke sana." Wajah Sona terlihat begitu cemas, ia melepaskan genggaman Elang secara paksa dan melangkah pergi.

Wajah Sona sungguh khawatir, ia lantas mengetuk cepat pintu rumah Agam. Malam gelap tak membuat Sona takut kala itu. Sona melihat Agam prihatin, memar di wajahnya sungguh banyak. Agam selalu di cap sebagai preman dingin, sikapnya memang begitu bijak terlihat namun memar sudah biasa terlihat oleh teman-teman sekolahnya.

"Jadi, di mana Agung sekarang om?" tanya Sona pada Pak Hendra.

"Agung belum ketemu sampai sekarang, Om udah suruh orang buat cari dia." Ucapan Pak Hendra sedikit tertekan.

Voment thx💙

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang