17. Pengkhianatan

347 25 0
                                    

"Son!" Elang menahan lengan Sona dengan genggaman keras.

"Apa sih?"

"Lo abis ngapain sama Agam?"

"Hah? Agam sakit, dia sempet di UKS tadi, jadi gue temenin." Sona menatap sinis Elang.

"Kenapa lo selalu peduli sama orang lain ketimbang gue?"

"Elang, gue udah berusaha gak mau ikut campur urusan lo mulai saat ini. Itu kan yang lo mau?"

Mereka mulai beradu mulut lagi.

"Lepasin, sakit!" Sona berusaha melepaskan tangannya dari genggaman keras Elang.

"Kalau lo punya urusan sama gua, gak harusnya lo melampiaskan ke Sona. Gue emang salah, waktu Sona terbagi karena gua. Gua minta maaf Son!"

"Lo emang berurusan sama gua sekarang. Dasar cepu! Lo suka kan sama Sona? Hah? Lo selalu berusaha terus ada di dekat dia?" Elang menunjuk tegas Agam.

"ELANG!" Sona menggubris perkataan Elang terhadap Agam.

"Gue sahabat Sona yang mengenalnya lebih jauh dari dia kenal sama lo. GUA CUMA GAK SUKA, KALAU LO TERUS NYAKITIN SONA KAYAK GINI!"

"Heh gue tau ya orang macem lo gimana!"

"STOP! STOP! Kenapa kalian selalu kayak gini sih? Elang, ketika kita saling mencintai satu sama lain, kita bisa berbagi apapun keluh kesah, saling melempar curhatan, saling berbagi argumen. Tapi gue gak pernah dapetin itu dari lo. Lo selalu bilang apapun itu adalah urusan lo. Gue tau, tapi bukan berarti lo menolak gue tau semuanya dengan kasar kayak gini!" Sona berlari menuju parkiran.

"SIAL!" Kaki jenjang Elang menendang kasar dasar tanah dengan kekesalan.

Agam menarik paksa lengan Sona, memakaikannya helm dan memaksanya untuk menaiki motornya. Mereka sampai ke tepi danau. Seperti biasa, Sona selalu menangis di balik helm Agam. Agam menatap sendu Sona yang masih menangis terlihat.

"Stop! Stop Son Stop!" Agam membuka helm Sona paksa.

"Jangan perlihatkan wajah kayak gini depan Manu. Dia udah tertekan, dia pasti lebih tertekan karena liat lo begini." Agam memegang kedua lengan Sona.

Mereka pergi ke rumah Manu, terlihat mereka terduduk di sebuah restoran milik ibu Manu. Manu menceritakan semuanya. Lagi-lagi Agam menjadi support system dengan memberi pelukan respectnya pada Manu. Sementara, hal itu menjadi haru bagi Sona maupun Pak Toni yang melihatnya. Agam terus menepuk pundak Manu untuk membuatnya lebih tegar. Agam tahu sekali, Manu tak mau terlihat kalau dirinya menangis. Maka dari itu, sebelum menangis, Agam selalu memberikan rangkulannya pada Manu. Menurut Manu, tak ada rangkulan yang lebih hangat dari rangkulan sahabatnya itu. Agam bisa menjadi apapun yang dia mau. Menjadi seorang adik, ataupun kakak sekaligus baginya.

"Gue selalu ada kok, jangan merasa sendiri."

Manu mulai menangis membuat Sona yang mendengar sedikit suara terisaknya pun ikut menangis.

"Manu punya temen yang begitu peduli padanya. Syukurlah," gumam Pak Toni dengan menahan air matanya untuk keluar.

Beberapa menit melakukan adegan haru. Mereka memulai pembicaraan santai dengan segelas kopi sudah tertera di atas meja resto milik ibu Manu.

"Son. Gimana hubungan lo sama Elang?" Pertanyaan Manu membuat Sona tertegun. Pasalnya, Manu pun sudah lama tak mendengar kabar tentang Sona dan Elang semenjak masalah yang menimpanya membuat dirinya tak bisa fokus untuk melakukan apapun termasuk, sekolah. Karena peristiwa itu, Manu rasanya sungguh malu untuk memiliki kenyataan kalau orangtuanya telah bercerai. Semua telah mengganggu pikirannya. Tapi berkat Agam, masalah apapun serasa bisa diselesaikan dengan baik.

"Gue baik-baik aja sama Elang." Jawaban Sona terlihat datar, hanya sedikit senyuman yang keluar kala itu.

oOo

Dilema adalah ketika memilih antara kesenangan atau kebahagiaan. Mereka kedua hal yang berbeda.

oOo

Malam pekat menghampiri, Agam terlihat berhenti di depan salah satu minimarket hendak pulang ke rumahnya. Matanya menangkap sebuah wajah yang tak asing di dalam suatu mobil berwarna hitam.

"Elang? Ngapain dia malem-malem? Gue rasa gak sama Sona deh." Mata Agam memicing fokus pada mobil yang Elang tumpangi saat itu.

Ia segera memakai helmnya dan berusaha mengikuti ke mana arah Elang pergi. Karena memang, akhir-akhir ini Elang malah membuatnya penasaran. Ia selalu menghindari ketika diminta Sona untuk mengantarnya sepulang sekolah.

Mobil yang Elang tumpangi berhenti di sebuah Bar besar, membuat rasa penasaran Agam semakin mencuat. Elang memasukinya tanpa canggung, padahal ia adalah salah satu siswa SMA. Agam yang masih memakai seragam sekolah, berusaha membuka kemeja sekolahnya. Ia menyamar masuk untuk bisa mengetahui apa yang Elang lakukan kala itu.

"Sial. Tempat macam apa ini?" batin Agam terlihat risih melihat tempat yang menurutnya begitu menjijikan untuk dimasuki oleh siswa SMA.

Terlihat Elang tengah berkumpul ria dengan temannnya, meminum secangkir arak yang memabukkan. Agam berusaha mendekati tempat mereka berada dengan terus menyembunyikan wajahnya.

"Haha, lo gak dijemput sama bokap lo lagi Lang?"

"Gue lolos hari ini. Gue bilang aja gue ada tugas kelompok."

"Parah lo ya. Bokap lo udah khawatir, lo malah pergi main judi ke bar minum arak, hahaha." Perbincangan mereka membuat Agam melotot kaget.

"Gimana hubungan lo sama cewek cupu itu?"

"Sona maksud lo? Heuh, dia itu mudah banget gue kibulin. Gue sama dia cuma ngilangin bete aja. Padahal janji gue banyak sama Siska, Dina, Aurora. Lagi pula, gue dapetin dia cuma buat dapetin nih duit, 10 Jt."

"Kalau dia sampe tau lo taruhan buat dapetin dia, ancur hatinya boy."

"Gue gak peduli!" Ucapan Elang membuat Agam terbakar emosi. Ia melotot kaget saat mendengar Sona adalah bahan taruhannya.

"Bajingan!" Batin Agam terus mengumpat, namun kali ini dia tidak mau gegabah untuk memukuli Elang hari itu.

Agam pergi ke rumah Sona walau malam menghampiri.

"Eh nak Agam. Duduk dulu, tante panggilin Sona dulu." Sona keluar, terduduk di salah satu taman dekat rumah Sona.

"Belum tidur?"

"Belum." Sona menjawab datar.

"Sebenarnya gue mau ngomong sesuatu sama lo Son."

"Soal apa? Manu?"

Mata Agam memencar bingung ke dasar tanah.

"Gue rasa ... Elang gak baik buat lo." Ucapan Agam membuat Sona menoleh cepat padanya.

"Gam? Apa maksud lo ngomong kayak gitu?"

"Elang gak baik buat lo."

"Gam, jadi lo ke sini cuma mau ngomong kayak gini ke gue? Sebelumnya, lo biasa aja gue pacaran sama Elang. Ada apa sama lo?"

Sona sungguh bingung karena kedatangan Agam malam itu hanya untuk mengatakan jika Elang tak baik untuknya. Sona kira, Agam akan membicarakan permasalahan Manu yang mereka bahas siang itu.

"Son, gue serius."

"Nggak baik apa maksud lo? Elang sering nganterin gue pulang sekolah walaupun jarang. Kadang dia juga selalu luangin waktu walaupun dia sibuk. Gue bahagia kok sama Elang." Sona melamun. Matanya sedikit berkaca aneh. Entah terpapar angin malam, atau sedang menyembunyikan apapun perasaannya saat itu.

"Son, ini bukan saatnya nutupin luka ataupun bermain drama. Gue tau lo Son. Gue gak mau suatu saat nanti lo nyesel."

"Cukup Gam. Kalau lo terus bicara tentang Elang, gue udah gak mau denger apapun. Udah malem, gue mau istirahat." Sona menanggalkan jejaknya masuk ke rumah meninggalkan Agam yang menatapnya cemas.

Note :
Teruntuk silent reader. Kami memang menyajikan sebuah cerita untuk kalian. Apa salahnya kalian mengapresiasi karya seseorang?
Voment💚thx

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang