20. Percobaan Bunuh Diri

352 22 0
                                    

Manu pergi karena panggilan ibunya. Sona dan Agam terlihat duduk di dasar tanah, masih menggunakan seragam lengkap. Baju Sona yang basah telah menjadi kering.

"Son, nanti lo sakit. Lo mau pake baju gue?"

"Gak lucu Gam!" Sona tersenyum tipis.

"Andaikan, sejak awal gue denger perkataan lo, bahwa Elang gak baik buat gue, mungkin rasanya gak akan sesakit ini sekarang. Bodoh, gue cewek yang paling bodoh Gam. Gue malu sama lo sekarang." Sona merutuki dirinya sendiri depan Agam.
"Son?"

"Lo tau. Mereka bilang gue gadis beruntung karena memiliki segalanya. Tapi itu cuma kiasan. Kiasan yang memang akhirnya hancur berkeping tanpa bekas." Sona mulai mengeluarkan air matanya lagi.
Dengan sergap tangan kanan Agam menghapus air mata di pipi kanan Sona membuat Sona lagi-lagi terus merasa bersalah.

"Gue gak bakal biarin, air mata ini keluar lagi." Ucapan Agam malah membuat Sona kebingungan.

Tatapannya begitu pekat terhadap kedua mata Sona. Ia serasa bukan melihat Agam yang ia kenal.

"Kenapa gue ngerasa kali ini Agam bener-bener orang lain?" batin Sona menatap penuh wajah Agam dengan detail. Bahkan alis tebal yang sering Sona lihat selama ini, terasa lebih pekat dan rasanya ia baru tersadar kalau Agam memang memiliki alis yang begitu hitam.

"Gue kenapa sih?" batin Agam seraya menatap Sona pekat.

Mereka sama-sama membuang pandangannya.

"Heh! Lo berhutang banyak sama gue." Ucapan Agam membuat Sona menoleh.

"Emm, tanpa lo kasih tau juga gue ngerasa kok. Gue lagi miskin, gimana cara gue bayar hutang?" Sona mengernyit heran.

"Ikut gue!" Agam menarik paksa Sona untuk pergi.

Sebuah pasar malam yang biasa mereka datangi bersama terlihat begitu ramai. Ponsel Sona berdering keras memandakan seorang Mama sudah sangat cemas akan dirinya. Sampai di rumah kontrakan Sona, terlihat mata menatap tajam meminta penjelasan.

"Ini udah malem. Dari mana kamu sama Agam? Dan kenapa baju kamu kotor gitu Sona?" Alis mata Bu Sima sudah terangkat.

"Ini tante ..." Sona menyenggol Agam untuk menghentikan pembicaraannya.

"Tugas kelompok Ma, aku gak main kok. Iya kan Gam? Soal baju kotor ini, tadi aku jatuh Ma di kolam rumahnya Anis." Ucapan Sona membuat Agam terdiam bingung.

"Udah gede begini masih aja bisa nyebur kamu ah, aya-aya waè nèng. Ya udah masuk, dahar, mandi. Mama mau ngurusin pesenan online nih. Gam, tante tinggal dulu ya?"

"Iya tante." Agam menatap Sona terheran. Ia bahkan kesal ketika Sona berbohong pada Bu Sima.

"Lo bohong sama tante Sima?"

"Gue mohon. Gue gak apa-apa dapet caci makian dari mereka, asalkan bukan Mama gue yang dapet. Gue gak mau dia sakit hati karena denger ini." Sona memohon dengan puppy eyes membuat Agam merasa luluh.

"Em, barudak bangor. Gue cabut dulu. GN!" Agam mulai menjauh dari rumahnya.

Sona menatap pekat punggung lebar milik Agam.

"Jujur aja, kali ini gue merasa lo orang lain Gam."

Agam pulang dengan tenang. Sebuah pecahan gelas berdentang keras di dapur rumahnya, membuat Agam melotot terkejut. Pintu ia segera buka dengan tergesa. Ia mendapati sebuah darah mengucur di lantai membuatnya kaget luar biasa. Pandangannya mengikuti aliran darah tersebut. Hingga di penghujung asal bercakan darah tersebut, terlihat seorang pria tengah berjalan tergopoh menuju kamar mandi.

"AGUNG!" Agam menghampiri Agung yang tengah menangis merasakan sayatan tangannya yang terlihat sobek mengeluarkan banyak darah.

"AGUNG!"

Bu Nuri dan Pak Hendra terkaget bukan kepalang. Agam menahan tubuh Agung sebelum tubuhnya melemah.

"Gua minta maaf Gam. Maafin gua!" Agung berucap dengan gagap. Napasnya terengah membuat Agam masih melotot menatapnya heran.

"GILA LO! APA YANG LO LAKUIN?"

Pak Hendra menghampiri anaknya, ia langsung merangkul Agung dan dibawanya tubuh lemah Agung ke dalam mobil. Tangisan banyak keluar dari mata Bu Nuri juga suaminya itu yang cemas bukan kepalang. Sampai di rumah sakit, terlihat monitor pasien yang berbunyi berdetik. Agam duduk terdiam tanpa ekspresi. Ia masih bingung dengan alasan Agung yang melakukan percobaan bunuh diri dan sungguh mengejutkan seluruh anggota keluarganya itu.

"Agung baru pulang. Dia sempat babak belur. Saat Papa tanya, dia gak jawab. Alhasil, kami berusaha menyembunyikan Agung dari buronan para preman. Dia keliatan tertekan, tapi Papa gak bisa lakuin apa-apa karena dia selalu menyangkal apapun nasihat atau sentakan kami." Ucapan Pak Hendra membuat Agam mengernyit heran, ia masih pekat menatap Agung dengan alat bantu pernapasannya.

"Agam, ada masalah apa? Apa kamu dapat masalah karena Agung? Papa mohon, kasih tau Papa." Pak Hendra membuat Agam terdiam. Ia teringat akan pengeroyokan dirinya yang kedua kali waktu itu. Luka perutnya pun masih nyeri terasa. Ia bahkan dempat dikeroyok dan dimintai hutang Agung bersamaan dengan beberapa kali mendapatkan tendangan pada tubuhnya.

"Nak jujur sama Mama. Luka kamu yang kemarin pun belum sepenuhnya sembuh. Dan ini kenapa lagi nak? Mama gak dapat laporan apapun dari sekolah. Kamu gak berkelahi sama siapapun di sekolah. Tapi kamu suka pulang bawa luka memar nak. Kenapa? Apa ada sangkutpautnya sama Agung?" Pertanyaam Bu Nuri membuat Agam semakin bingung.

"Nggak kok Ma, Pa. Cuma waktu itu aja. Musuh Agung gak nyerang Agam lagi kok." Ucapan Agam membuat Bu Nuri menatapnya cemas. Ia takut bahwa kali ini Agam berbohong lagi demi tidak menyakiti perasaan Papa-nya.

Agung siuman, ia terlihat mengeluarkan air matanya sedikit. Matanya langsung tertuju pada Agam. Dibuka secara paksa oleh tangan lemahnya sebuah alat bantu pernapasan. Bu Nuri menghentikannya, namun Agung tetap memaksa.

"Nak?" Pak Hendra terlihat cemas.

"Ga ... gam. Gue mau minta maaf sama lo. Lo dikeroyok habis-habisan karena gue. Dan satu kata telah menyadarkan gu ... gue ... bahwa gak ada manusia yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Jujur aja gue depresi menerima sebuah keluarga baru, dan gue saat itu bener-bener kehilangan ibu. Setan mulai masuk dalam diri gue. Dan kebencian gue itu berpusat sama lo juga Mama lo. Gue minta maaf Gam!" Agung menangis tersedu di depan mereka.

"Nak, Mama udah bilang, Mama sayang kamu seperti Mama sayang sama Agam. Mama minta maaf, kalau selama ini kehadiran Mama buat kamu terpisah jauh sama ibu kamu." Ucapan Bu Nuri membuat Pak Hendra terdiam sendu. Ia sedari tadi menaham tangisnya dan merasa semua ini adalah salahnya. Mempunyai tanggung jawab sebagai seorang Papa, ia merasa membuang Agung sebagai anaknya sendiri. Pak Hendra menikah dengan Bu Nuri dan melahirkan seorang Agam tanpa sepengetahuan ibu Agung sebelumnya. Ibu Agung selingkuh dan meninggalkan Agung bersama istri kedua Pak Hendra, yaitu Bu Nuri. Pantas saja, Bu Nuri selalu merasa bersalah pada Agung. Sebuah karma telah memainkan mereka selama ini.

Walaupun dicaci, dimaki oleh Agung, beliau tetap ikhlas, layaknya Agam. Agam tahu betul perasaan Agung kala itu. Ia berusaha bertahan demi menebus dosa Mama dan Papa-nya. Walau terkadang ia harus bingung terlahir dalam keluarga yang sungguh aneh.

"Gue juga minta maaf. Karena gue, lo jadi begini." Agam terlihat sendu menatap Agung. Mereka saling menggenggam tangan kuat. Tali perdamaian pun mulai mengikat satu sama lainnya.

Voment🙏🙏Thx

SONATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang