Bagian 15

1.2K 77 8
                                    

Ketika semua semakin jelas, aku malah menjadi takut. ~ Rubi Maura.

Ruang VVIP.


"Gimana anak saya dok? dia akan selamat kan dok?"

"Kita serahkan saja pada yang kuasa, kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menolong anak bapak."

"Tapi dok, sudah hampir sebulan dia koma."

"Lebih baik kita berdoa pak, semoga anak bapak cepat sadar."
.
.
.

Ruang VIP.

"Titip kakak kamu ya, Ga."

"Iya, Pa. Cepat balik loh, Raga mesti ngantar Rubi pulang nanti."

Ehhhmmm. Randi, yang tak lain adalah ayah Raga berdehem kemudian mendekat pada putranya itu dan berbisik.

"Pacar kamu ya?"

"Hah?" Raga jadi salah tingkah. Dia balik berbisik.

"Belum, Pa. Masih proses mengunduh."

Ctakkkk... Randi menyetil jidat Raga.

"Aw! sakit loh," rintihnya sambil mengelus jidat.

"Kamu sih sembarangan, kamu kira dia aplikasi?"

"Ya enggak lah, masa aplikasi cantik?"

Rubi yang duduk di kursi tunggu bersama Mirna hanya bisa memperhatikan tingkah aneh dua orang itu.

"Lagi ngomongin kamu itu pasti," ucap Mirna.

"Hah?" Rubi sedikit terkejut. "Mana mungkin, Tante."

"Tante serius, Om Randi itu orangnya kepo banget kalo soal anaknya."

Rubi tersenyum malu jadinya.

"Ayo!" ajak Randi pada Mirna.

Mirna pun beranjak dari kursinya.

"Mama gak lama kok, nanti bisa titip Jiwa ke suster kalo kamu mau ngantar Rubi. Kasian dia kalo pulang kemaleman."

"Siap!!!!"
.
.
.

"Kasian banget Kak Jiwa," ucap Rubi yang tengah duduk dan memperhatikan Jiwa.

Jiwa terbaring lemah dengan luka di kepala dan lengannya.

"Jangan dilihatin terus, nanti naksir." Ucap Raga dengan nada ketus.

Rubi meliriknya.
"Apaan sih, kalo cemburu tuh bilang aja," jawabnya asal.

"Iya aku cemburu, kamu gak pernah ngeliat aku sampe kaya gitu."

"Kamu juga mau dikasihanin?"

"Ya eng-"

"Permisi."

Suara itu mengejutkan mereka. Mereka berdua menoleh, dan ternyata itu hanya seorang perawat.

"Maaf mengganggu, ini ada obat yang harus ditebus."

"Oh, iya. Biar saya aja yang urus, saya adiknya." Ucap Raga menerima resep itu.

"Aku ke apotek bentar ya, Bi. Titip Kak Jiwa bentar."

"Ah iya."
.
.
.
Setelah Raga pergi, tinggallah Rubi dan Jiwa di ruangan itu. Untung saja ada suara televisi, jadi tidak terlalu sepi.

"Mereka saudara, tapi kok gak mirip ya?" pikir Rubi.

"Mereka juga sekelas, hmmm. Tapi Kak Raga kok manggil dia Kakak? masa dia lebih tua?"

Tanpa sadar, Rubi jadi sangat memperhatikan Jiwa. Kemudian dia teringat.

"Eh, dia bukannya yang nabrak aku di koridor?" ucap Rubi. Padahal sebenarnya Rubi yang menabraknya waktu itu.

"Alisnya, hidungnya, bib-" Rubi tersadar, tangannya telah lancang menyentuh wajah Jiwa.

"Mamaaa," tiba-tiba suara lirih itu keluar dari mulut Jiwa dan membuat Rubi terkejut.

"Waduh, dia bangun."

"Jangan pergi, Ma. Jangan ikut dia, dia perempuan jahat."

"Dia ngigau?" ucap Rubi heran.

"Matanya merem tuh, " ucap Rubi sambil melambaikan tangan ke wajah Jiwa.

"Lari, Ma. Pergi!!

"Duh, mesti diapain nih?" ucap Rubi kebingungan.

Selain mengigau, Jiwa juga terlihat kesakitan.

"Pipinya kali ya yang sakit?"
Rubi mendekat, kemudian meniup luka parut di pipi Jiwa.

Ssssrrrttttt...

Dengan tiba-tiba Jiwa tersadar. Mata mereka saling menatap dengan jarak sedekat itu.

"Kamu-ngapain?" tanya Jiwa gugup.

Rubi tersadar dan menjauh.
"Maaf, Kak. Aku pikir tadi lukanya sakit jadi aku-"

Rubi beralih melihat Jiwa yang raut wajahnya memucat. Dengan bibir yang terlihat gelagapan.

Sebegitu menakutkannyakah Rubi?

"Waduh, mampus nih gue!" batin Rubi.

"Pe-pe-pergi! pergi!!!" teriak Jiwa.

Rubi terkejut.

"Kak aku-aku gak sengaja tadi," ucap Rubi.

"Pergi!!!!" teriak Jiwa kemudian menyahut gelas di meja sampingnya dan melemparnya.

Prakkkkk...
Rubi menatap pecahan gelas itu, tapi... tatapannya lalu beralih, pada sesosok wanita bergaun hitam yang berdiri searah dengan pecahan gelas itu.

"Tante!" Rubi terkejut melihatnya.

Tiba-tiba Jiwa meraih tangan Rubi dan menggenggamnya erat.

"Kamu bisa liat dia?" tanya Jiwa, yang kemudian diangguki Rubi.

"Su-suruh dia Pergi!" ucap Jiwa dengan wajah yang sangat ketakutan.

Bagaimana bisa mengusirnya? sebenarnya Rubi juga takut. Kenangan buruk tentang orang tuanya ada pada gadis bergaun hitam itu.

"A-aku."

"Pergiii!!!! teriak Jiwa sekali lagi.

"Tante mau apa? jangan ganggu dia, dia gak salah. Tante mau Rubi kan?" ucap Rubi memberanikan diri.

Gadis bergaun hitam itu malah tersenyum.

Klekkkk...

Rubi dan Jiwa menoleh ke arah pintu. Raga datang.

Mereka menoleh lagi ke arah gadis bergaun hitam itu, namun ternyata sosoknya telah hilang.

"Kalian ngapain?" tanya Raga dengan wajah curiga sebab Jiwa masih menggenggam erat tangan Rubi.

Raga tak sabar karena mereka berdua tak ada yang menjawab.

"Kenapa, Bi?" tanya Raga sembari melepas tangan Jiwa yang menggenggam tangan Rubi.

"Tadi-"

"Gue mimpi buruk!"

Suara Jiwa yang tadi terdengar  ketakutan, kini berubah menjadi dingin dan kasar.

"Mending kalian pergi, gue mau istirahat!"

Tiba-tiba sikapnya, menjadi sangat dingin.

"Ayo kita pulang!" ucap Raga meraih tangan Rubi.

Rubi menoleh ke arah Jiwa. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan, terutama tentang gadis bergaun hitam itu.

Bagaimana Jiwa bisa melihatnya?

Apa hubungannya dengan Jiwa?

Apa Jiwa juga bernasib sama dengan Rubi?

"Bi, ayo!"

.
.
.

Bersambung...




49 Days My Ghost✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang