Huh... Huh... Huh...
Rubi berlari sekuat tenaganya. Dia merasa sangat bahagia karena akan pergi menemui Aray, eh lebih tepatnya adalah tubuh Aray.
Sambil menggenggam sebuah gelang yang mereka beli bersama waktu itu, dia bersemangat berlari menuju rumah sakit.
.
.
.
Di sisi lain...Aray mungkin adalah anak tunggal dari keluarga Bapak Handoko, yang lebih tepatnya adalah kepala sekolah SMA KIRIN. Namun, orang tua Aray malah jarang mengunjunginya di rumah sakit. Entah, apakah ayah ibunya sibuk bekerja ataukah sebenarnya mereka telah pasrah dengan keadaan Aray.
Aray telah mati otak selama 40 hari, belum terlalu lama untuk menyerah dengan keadaannya. Dia bisa saja bangun suatu saat nanti.
Wushhh...
Angin berhembus dan menyiblakkan tirai jendela kamar Aray.
Dia datang... Mengunjungi tubuhnya.
"Hemmmhhh," Aray menghela napas dengan pasrah ketika melihat tubuhnya terbaring di sana. Pasti dia sangat sedih.
"Kenapa? kenapa semua ini terjadi? aku salah apa?" ucap Aray sambil menitihkan air matanya.
Ya, harusnya hari itu dia pulang lebih awal. Seharusnya dia tidak terlibat dengan Lisa. Seharusnya dia tidak terbaring seperti sekarang. Seharusnya ini tidak terjadi.
Tiba-tiba saja Aray merasa menyesal telah mengambil keputusan seperti itu. Harusnya dia diam saja dan tidak ikut campur, dengan begitu, dia akan baik-baik saja.
"Aku ingin hidup!" ucap Aray.
Dia pun naik keranjang, kemudian berbaring pada tubuhnya. Dia pikir dengan cara itu, rohnya akan kembali dan dia akan hidup.
Dia memejamkan matanya beberapa detik, kemudian bangun. Dia menoleh ke arah tubuhnya, dan apa? Tubuhnya tertinggal. Saat dia memejamkan mata dan akhirnya bangun, Aray sangat berharap rohnya akan kembali pada tubuhnya, tapi apa? semua tak berjalan sesuai keinginannya.
"Arrgggg!!" teriak Aray dengan frustasi.
"Kenapa? kenapa aku tidak bisa kembali! aku ingin tubuhku!aku ingin hidup!"
Dia marah, dia sangat kesal, dia sangat sedih.
Aray mencobanya beberapa kali, namun tetap gagal.
.
.
.Rubi akhirnya sampai di rumah sakit. Sesampainya di sana, dia langsung menuju meja administrasi.
"Permisi Suster, pasien bernama Aray Sanjaya ada di kamar nomor berapa ya?" tanyanya dengan sekali napas.
"Apakah anda dari pihak keluarganya?"
"Eeeem," Rubi nampak ragu beberapa detik hingga kemudian dia teringat pada kartu itu dan menunjukkannya.
"Iya, saya keluarganya."
"Ah, pasien bernama Aray ada di ruang VVIP nomor 13."
"Makasih Sus," ucap Rubi dan langsung berlari ke sana.
Setelah beberapa saat...
"Huuh, akhirnya ketemu."
Rubi pun menekan kartu khusus itu pada alat pemindai.
Dan...
Tilulit...
Pintu terbuka...
.
.
.
Aray sempat terkejut karena pintu tiba-tiba terbuka. Dia mengira orang tuanya datang, tapi ternyata..."Aray?" ucap Rubi terkejut melihat Aray di sana.
Sama halnya dengan Rubi, Aray juga terkejut. Keadaannya saat itu sedang kacau, sebab itu dia langsung berbalik membelakangi Rubi.
Rubi mendekat, cukup dekat hingga dia dengan jelas melihat tubuh Aray terbaring dengan alat-alat medis di sekujur tubuhnya.
"Jadi ini alasan kamu gak bolehin aku ke sini?" tanya Rubi dengan suara bergetar, dia menahan tangis.
Aray hanya menunduk tanpa kata.
"Aray... jawab aku!" tegas Rubi.
Aray pun berbalik.
"Jawab apa? kamu sudah melihatnya dengan jelas! aku sekarat, Bi.""Kamu pasti sembuh, Ray!" ucap Rubi sambil meraih tangan Aray. Air mata Rubi pun tak terbendung lagi.
"Jangan konyol, Bi. Harapan bodoh apa ini? kamu liat alat-alat itu, tanpa alat itu aku pasti mati."
"Ray! kamu gak boleh ngomong gitu, kamu harus yakin!"
"Yakin apa? yakin kalau aku akan mati? atau... yakin harus merelakan kamu sama Raga? atau-"
"Cukup Ray! jangan bawa-bawa Kak Raga, dia gak ada sangkut-pautnya."
"Ada! dia suka kamu, dan kamu nyaman dekat dia kan?"
Rubi terdiam, perkataan Aray tidak sepenuhnya salah. Ya, Rubi memang nyaman bersama Raga.
"Itu gak seperti yang kamu pikirin, Ray."
"Bi... cukup! biarin aku nyerah ya."
Tnit... Tnit... Tnit...
Tiba-tiba kondisi Aray memburuk."Enggak Ray, jangan." Ucap Rubi memohon sambil menangis. Namun apa? perlahan genggaman tangan Rubi pada Aray terlepas dan...
Wushhh...
Rubi tak kuasa menahan tangis, bagaimana tidak? Aray menghilang lagi.
Di sela isaknya, Rubi beralih pada tubuh Aray yg terbaring di sana.
"Mungkinkah, rohnya kembali?" batin Rubi."
"Aray... kamu masih di sini kan? kamu mendengarku?" Rubi menggenggam tangan Aray, kemudian memasangkan gelang yang dia bawa.
"Kamu ingat gelang ini kan? kita membelinya bersama. Kamu bilang, kamu akan bangun dan setelah itu..." Rubi terus menangis tanpa menyelesaikan ucapannya.
"Aray... aku bakal nunggu kamu, bangun ya."
Rubi pun mendekat ke telinga Aray.
"Aray, aku cinta kamu."
Tnit... Tnit... Tnit...
Tett...tet...
Tiba-tiba saja alarm berbunyi dan dokter berlarian memasuki ruangan. Seorang dokter langsung mendorong Rubi menjauh.
"Siapa yang mengizinkan dia masuk!"
"Maaf, anda harus keluar."
"Tapi saya-"
"Aray!"
"Aray!"
Bersambung...
Hai para readers, gak terasa ya udah sampe part ini. Author sangat berterimakasih sama kalian yang udah stay di cerita ini. Thanks buat 1k+ nya, cerita kedua author ini gak akan sampe nilai ribu views kalo bukan karena kalian.
Stay trus ya readers kebanggaanku, maaf kalo author lama updatenya. Author kerja sekarang huhuhu, jadi sibuk gitu. Doain aja supaya nulisnya tetep lancar.
Paipai, borahe yorobun💜

KAMU SEDANG MEMBACA
49 Days My Ghost✅
Mystère / ThrillerYang tak terlihat juga sedang bersamamu... dia ada di... dekatmu ! Aku Rubi Maura, dan aku bisa melihat... Hantu. Start : 22 Maret 2019. End : ? Rank : 238 in ghost ~ 2,7 ribu cerita 429 in misteri ~ 17,9k cerita