Bagian 36

1.1K 61 11
                                    

Hari demi hari telah berlalu,  kesedihan mulai redam dan keadaan sudah lebih tenang dari sebelumnya, yah walaupun terkadang masih teringat kejadian yang menimpa Raga. Terkadang Rubi masih tidak percaya kalau Raga benar-benar sudah tiada.
.
.
.

Rubi terdiam sambil menatap kearah jalan, menyaksikan kendaraan berlalu-lalang. Terkadang hal itu membantunya lupa.

Saat tengah fokus ke satu titik,  tiba-tiba ada yang memanggilnya.

"Rubi."

Panggilan pertama membuatnya sadar dari lamunan.

"Rubi."

Dan panggilan kedua membuatnya menoleh.

"Kak Jiwa?" ucapnya kaget. Orang yang menghilang semenjak Raga meninggal akhirnya kembali.

Sontak Raga langsung memeluk Rubi dan menangis.  Tentunya Rubi kaget dan bertanya-tanya tentang apa yg terjadi.

"Aku tidak menemukannya," Ucap Jiwa.

"Kenapa kak? apa?"

"Dia yang merenggut Raga."

"Siapa?"

"Gadis itu! gadis bergaun hitam itu."
.
.
.

Di tempat lain.

"Syukurlah kamu sudah boleh pulang, " ucap Wulan.

"Iya, Ma. Aku gak sabar pingin pulang."

"Aray!" Panggil Sanjaya kemudian memberikan sebuah surat pada Aray."

"Apa ini, Pa?"

"Buka aja."

Aray pun membukanya.

To Aray.

Gue gak tau harus mulai darimana,  karena mungkin lo gak kenal gue. Lo juga mungkin gak tau kenapa gue bisa kenal lo, lo pasti gak ingat. Siapa gue itu gak penting, lo gak harus mengingat siapa gue.  Yang harus dan wajib lo ingat adalah RUBI MAURA.

Lo mungkin gak ingat dia,  jadi bakal gue ingetin. Rubi itu cinta terakhir gue,  gue sayang banget sama dia dan bahkan gue rela mati buat dia.

Tapi, yang perlu lo tau, dia sayangnya sama lo,  dia cintanya sama lo. Lo juga sama. Lo juga sama jatuh cintanya kaya dia.

Kenapa gue bilang kaya gini?  karena gue gak akan bisa jagain dia lagi. Gue mau pergi jauh, dan gue titip dia sama lo.

Gue minta lo jagain dia,  sebisa mungkin lo harus ingat siapa dia dan apa arti dirinya buat lo.

Gue yakin lo bisa ingat dia,  karena gue yakin kalo lo mencintai dia.

Gue titip Rubi ya, Bro. Cepet sembuh.

From Raga.
.
.
.

Bahkan setelah membaca surat itu,  Aray tidak mengingat apapun.

"Nak,  kamu mau ikut Mama ke Londo?" tanya Wulan.

Aray langsung antusias dan tak sengaja surat itu lepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.

"Mau banget!"

"Kalo gitu kita berangkat besok!"

"Besok?"

"Iya, Papa dan Mama susah sepakat untuk pindah ke London."

"Pindah?"
.
.
.

Kembali ke rumah Rubi.

Jiwa sudah bercerita alasan dia pergi sejak meninggalnya Raga. Dia mencari wanita itu. Jiwa juga surah menceritakan detail masalalu gadis bergaun hitam yang waktu itu dia liat.

Rubi menangis karena merasa kalau ibunya menghilang karenanya. Sampai saat ini dia tidak tau apakah ibunya masih hidup atau sudah mati. Yang jelas,  saat itu ayahnya berkata bahwa ibunya tidak akan kembali.

"Ini bukan salah kamu, jangan sedih." Ucap Jiwa.

"Enggak Kak, semua karena aku.  Mama,  Raga, mereka celaka gara-gara aku. Aku emang pembawa sial," jawab Rubi.

"Rubi!  kamu gak boleh ngomong kaya  gitu!!" bentak Jiwa.

"Tapi.."

"Udah,  jangan bahas itu lagi.  Lebih baik kita lupain semua yang sudah berlalu. Kita harus menjalani hidup kita."

Rubi menunduk dan menangis,  begitupun Jiwa, matanya berkaca-kaca. Tidak semudah itu bagi mereka.

"Lupain Raga,  lupain Aray. Lupain kenangan menyakitkan menyangkut mereka. Cuma kenangan indah yang perlu kamu ingat,  Rubi."

"Kenangan menyakitkan itu terlalu membekas, Kak. Aku gak akan sanggup melupakan semua itu."

"Kamu pasti bisa,  aku yakin. Aku pasti bantuin kamu. Kita harus hidup bahagia supaya pengorbanan mereka gak sia-sia."

"Next, ingat mereka dengan senyuman,  bukan dengan air mata."

"Oke, Kak."
.
.
.

Bersambung...

49 Days My Ghost✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang