Bagian 23

1.1K 59 1
                                    


Nyaris saja palu itu jatuh mengenai Raga. Untungnya Jiwa dengan sigap menarik Raga menghindar.

"Lo gimana sih, bukannya hati-hati!" pekik Jiwa yang wajahnya terlihat marah sekaligus cemas.

"Kok lo marah sih!" balas Raga.

Mereka saling melempar tatapan sinis sampai kemudian mata Jiwa tertuju pada hal lain.

Jiwa tampak terkejut, kemudian raut wajahnya berubah menjadi marah, bukan pada Raga, entah siapa yang tengah dilihatnya.

Jiwa pun beranjak dan mengejar orang yang dilihatnya itu.

"Ji!!!" panggil Raga saat Jiwa tiba-tiba berlari.
.
.
.

Jiwa masih terus mengikuti orang itu, sampai akhirnya mereka sampai di gudang bekas perpustakaan.

"Kamu lagi!" teriak Jiwa. Orang yang dikejarnya pun berhenti dan menoleh. Dia pun tersenyum melihat Jiwa berdiri di sana.

"Ahaha, ya anak manis, ini aku."

Siapa lagi dia, kalau bukan...

"Apa sih maumu? kenapa menggangu kami!" pekik Jiwa.

"Menarik!" ucap orang yang tak lain adalah gadis bergaun hitam. Ya, dialah yang berulah lagi.

"Apa maksudmu?" tanya Jiwa.

"Mmm, hanya... rasanya menyenangkan mengganggu kalian," ucap gadis itu.

Jiwa tak kuasa menahan amarahnya lagi, dia mendekati gadis itu dan hendak menghantamnya. Tapi apa yang terjadi? ya, tentu saja gagal. Gadis itu bisa berpindah sesuai hatinya.

"Ahahha, kau lucu sekali. Tidak bisa ya?" ledek gadis itu. Jiwa semakin marah dan mengulanginya beberapa kali, namun selalu gagal.

"Mmm dasar keras kepala, menyerahlah." Ucap gadis itu.

"Jiwa!"

Jiwa pun menoleh pada Raga yang baru saja memanggilnya. Sekilas, kemudian dia menoleh ke arah gadis itu, dan ternyata gadis itu telah menghilang.

"Lo ngapain? kok keringatan gini?" tanya Raga penasaran.

"Gak papa," ucap Jiwa dan hendak pergi, namun Raga menahan tangannya.

"Gadis bergaun hitam itu kan." Ucap Raga.

Jiwa langsung menoleh kaget.

"Kok kamu-"
.
.
.

Di sisi lain, Rubi tengah berjalan bersama Aray. Ya, dia belum sampai sekolah.

"Jadi kapan?" tanya Rubi pada Aray.

"Apa?"

"Kapan aku boleh mengunjungimu?"

"Kan aku di sini, Bi."

"Bukan rohmu, tapi ragamu."

"Emmm," tiba-tiba saja Aray bungkam, dia tampak diam sesaat untuk memberi alasan lain.

"Kenapa? gak boleh ya?"

"Eh, anu. Ruangannya VVIP jadi orang luar gak boleh masuk."

"Hmmm," Rubi mengangguk kecewa dan berjalan mendahului Aray.

"Nanti," ucap Aray sambil menyusul Rubi.

"Aku janji, setelah aku sadar nanti aku akan segera menemuimu, Bi." Tekan Aray.

"Beneran?"

"Emm, aku janji." Ucap Aray sambil mengacungkan kelingkingnya.

"Oke."
.
.
.

Kriiiiing...

Bel istirahatpun akhirnya berbunyi. Setelah pagi tadi Raga tidak jadi menemui Rubi, kini setelah bel berbunyi dia langsung melesat ke kelas Rubi.

"Gue cabut!" pamitnya pada Jiwa yang tengah melamun saat itu.
.
.
.

Meski bel istirahat berbunyi, nampaknya Rubi masih anteng di tempat duduknya.

"Ayo kantin!" ajak Meta.

"Kamu aja Met, aku belum laper."

"Aihhhh."

Tak lama kemudian, Raga pun datang.

"Rubi a-"

"Gak usah ngajak dia Kak, gak mau dia." Sahut Meta.

Raga pun langsung duduk di depan Rubi.

"Beneran gak mau?" tanya Raga, kemudian dibalas anggukan oleh Rubi.

"Eh iya, Kak Jiwanya mana kok gak ikut?" tanya Meta.

"Lagi ngelamun dia di kelas."

"Loh, kok dibiarin sih. Ntar kalo dia kesambet gimana?" ucap Meta sok cemas.

"Heeewwwhhhh, kalo khawatir ya samperin aja kali Met," ucap Rubi.

"Eh jangan!" pekik Raga.

"Kenapa?" tanya Rubi dan Meta bersamaan.

"Biarin dia sendiri dulu."

"Emang dia ada masalah ya, Kak?" tanya Rubi.

"Kok jadi bahas dia sih, kan aku ke sini karena kangen kamu, Bi."

"Auhhh, bucin. Meta pergi aja deh," sindir Meta.

"Ehh biarin, pergi sana."

Meta pun langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Eh sebenarnya bertiga, dengan Aray yang terus mengawasi Rubi di belakangnya.

Rubi masih fokus pada buku di tangannya, sedangkan Raga duduk memangku tangan memperhatikannya.

"Bi, kan ada aku di sini. Kok dicuekin sih," protes Raga.

"Kenapa, Kak?"

"Aku kangen kamu."

"Hah? Kenapa?"

"Kok kenapa, emang kangen kamu harus ada alasannya?"

Rubi terdiam, bingung harus menjawab apa. Dia pun kembali tertunduk menatap bukunya, membaca kalimat yang sama berulang-ulang karena gugup.

"Bi."

Rubi mendongak.

"Aku udah nembak kamu belum sih?"

"Hah?"

Pertanyaan itu membuat Rubi terkejut.

"Belum ya?"

Rubi masih terdiam, entah dia harus menjawab apa.
Raga pun kembali bertanya, "Rubi mau gak?"

Tanpa sadar, Aray hampir terbakar di belakang Rubi. Hahahaha terbakar api cemburu maksudnya.

"Eee-emm aa-ak mmm, Kak-"

Gubrakkk...

Tiba-tiba saja kursi di sebelah Raga terjatuh. Raga dan Rubi langsung terdiam. Saat itu Rubi melihatnya. Ya, Aray yang sengaja menjatuhkannya.

"Rubi, ikut aku!" ucap Raga yang tiba-tiba menarik tangan Rubi dan membawanya berlari.

Mungkinkah Raga menyadari keberadaan Aray?

"Kak, kita mau ke mana?"

"Lari aja!"

"Kak!" Rubi mencoba melepas genggaman Raga, namun Raga menggenggamnya begitu kuat.

"Kita sembunyi."

Bersambung...


49 Days My Ghost✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang