Bagian 14

1.3K 79 5
                                    

"Ada yang mau aku omongin."

"Hah?"

Dalam beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Aray belum juga berbicara, padahal Rubi sangat menantikannya.

"Soal tadi malam."

Mata Rubi membelalak, "Tadi malam?" batinnya.

"Aku-"

Kring kring... kring kring...

Waktunya tidak tepat.

"Ah, udah bel. Aku ke kelas dulu ya, kita bicara lagi nanti di rumah. Bye," ucap Rubi dengan tergesa-gesa meninggalkan Aray.

Sebenarnya, dia ingin sekali mendengar penjelasan Aray. Tapi, jantungnya berdegup terlalu kencang. Akan semakin terlihat gugup jika dia tidak segera pergi.

Aray juga, sebenarnya dia ingin langsung mengatakannya tanpa jeda. Tapi, lidahnya tiba-tiba kelu saat menatap Rubi. Akhirnya pun, Rubi terlanjur pergi dan dia tidak jadi mengatakannya.

"Huh, ini lidah pake kelu segala sih. Tapi gak papa deh, aku jadi bisa menyiapkan diri buat ngungkapin perasaan ke Rubi."
.
.
.
Di kelas...

"Lo ke toilet lama banget, Bi. Ngapain sih? bertelur?" tanya Meta.

Rubi tak menjawab, dia langsung duduk dan menidurkan kepalanya di atas meja.

"Lo aneh hari ini, bakso dipenuhin sambal, ngelamun, makan dikit eh tiba-tiba ke toilet. Parah lagi, lo gak bayar! hastaga Rubi," oceh Meta.

Dengan cepat Rubi mengangkat kepalanya.

"Oh iya, aku belum bayar!" pekiknya kemudian berlari hendak menuju kantin.

"Lah mau ke mana kutil?" jeplak Meta.

Rubi berhenti, kemudian menoleh.
"Mau bayar lah!" jawabnya.

"Telat, Bi. Udah dibayarin sama cowok lo."

"Cowokku?" Rubi berpikir sejenak.

"Parah lo, Kak Raga gak lo akuin?" teriak Meta.

Sontak satu kelas memandang mereka berdua.

"Rubi pacaran sama Raga?"

"Gila, lo pake pelet apaan?"

"Seriusan anjir, mereka pacaran?"

"Potek hati gue. Jahat lo Bi."

Karena perkataan Meta, sekelas jadi melempar berbagai hujatan pada Rubi. Siapa yang menyangka, kalau salah satu most wanted, ketua osis pula, jatuh cinta pada seorang Rubi. Mereka tentu iri.

Tapi pada kenyataanya...

"Aku gak pacaran sama Kak Raga!" ucap Rubi tegas.

Sekelas terdiam.

Dia jadi agak linglung setelah itu.

"Maksudku, Belum." Lanjutnya.

"Huuuuuuuuuuuu," sekelas malah bersorak.

Kenapa juga Rubi mengatakannya? Hmmm.
.
.
.

Jam terakhir kosong.

Skip

Pulang...

"Mau nebeng gue gak lo?" tanya Meta.

Rubi tak menjawab, dia masih kesal. Karena Meta, sekelas jadi menghujatnya.

"Bi, gue tanya loh. Masa ditogein, toge murah padahal."

Masih tak menjawab.

Kemudian.

"Ayo Bi!"

"Eh iya."

Meta memunyungkan bibirnya.

"Pantesan! Bang Raga datang, totet totet totet." Ejek Meta namun tak ditanggapi oleh mereka.
.
.
.

Skip perjalanan.

Rumah sakit Sokarat.

"Kak Jiwa dirawat di mana kak?"

"Kamar VIP, ayo buruan jalannya."

Srrrtkkkk ssrrrkkktt srrrrkkktt

"Awas, Bi." teriak Raga sambil menarik Rubi dalam pelukannya.

Segerombolan perawat tengah melarikan pasien menuju kamar VVIP.

"Hati-hati dong, Bi. Hampir aja ketabrak," ucap Raga.

"Iya maaf. Tapi, itu siapa ya? kok banyak banget perawatnya?"

"Oh, itu pasien."

"Ih, kalo itu aku tau."

"Trus kenapa tanya say?"

"Maksud aku tuh siapa pasiennya, orang penting? anak presiden?"

"Bhahahha... bukan, Bi. Dia itu anak pemilik Sekolah Kirin."

"Sekolah Kirin? Tetangga kita?"

"Iya, katanya sih habis kecelakaan gitu. Eh tapi, gosipnya tuh dia ditemuin bareng mayatnya siswi sekolah situ."

"Hah? Serius kak?"

"Iya, keknya mereka tuh pacaran. Terus berantem, jatuh deh di tangga."

"Emmm."

Tiba-tiba saja, Rubi merasa penasaran.

"Mikirin apa, Bi?"

"Oh enggak. Kakak tau gak namanya siapa?"

"Kalo gak salah si-"

"Raga? Ngapain di situ? cepet sini, jagain Jiwa. Mama mau pulang."

"Ah iya ma. Ayo, Bi."

.
.
.
Flashback

"Udah jam 4, bentar lagi Rubi pulang yesss!!!"

"Latian dulu ah bentar."

Sore ini, Aray tampak bersemangat. Kali ini, dia yakin bisa mengungkapkanya. Dia telah bersiap diri.

"Rubi, aku suka kamu!" ucap Aray sambil memegang sebuah bunga mawar.

"Eh, masa gak ada basa-basinya sih. Kalo dia kaget trus nolak gimana?" ucapnya kemudian.

"Ulangin deh. Rubi, soal semalam... sebenarnya aku suka-"

"Masa gitu ngomongnya, aihhhhh."

Dia mulai mengacak rambutnya dengan frustasi.

"Ini mulut gak bisa romantis sedikit apa?"

Hingga berkali-kali dia mencobanya dan...

"Rubi, sebenarnya aku... Ahhhkkk lemes gue," ucapnya membantingkan diri di sofa.

"Perasaanku kok gak enak ya? masa gitu aja kagi lemas. Hmm," Aray berbaring sambil menatap langit-langit.

"Kok aneh gini ya badanku?" dia meraba tubuhnya, kemudian melihat tangannya. Tak lama...

"Hah?" dia bangkit kemudian duduk. Dia menatap kedua tangannya yang perlaham menghilang.

"Gak mungkin, jangan sekarang kumohon! kumohon!"

Buuuuffffffhhhhhh

Kali ini dia menghilang bak butiran debu tertiup angin...

Bersambung...

49 Days My Ghost✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang