Puisi: Untukmu Yang Dulu Kusayang

122 3 0
                                    

Pagi-pagi benar aku bergegas menerobos dinginnya embun pagi. Kulihat sang mentari masih menguap. Hangatnya perlahan menjalar ke bumi, namun sebagian tubuhnya masih meringkuk di balik pegunungan.

Pagi ini kurasa akan cukup cerah, walau awan hujan masih menggantung di atas sana. Tadi-tadinya hari ini adalah hari yang sangat kunantikan dari tahun ini. Namun kini, hari ini adalah hari di mana aku akan menghindari semua orang.

Aku berada di dalam pesawat sekarang. Menyiapkan diri untuk menyambut kisah yang baru di lain kota. Tadi-tadinya pun aku ingin sekali menghubungimu. Sekadar mengucapkan selamat ulang tahun, dan bahwa terhitung pagi ini kau takkan lagi melihatku. Dan kurasa kau pasti masih mengingatnya, betapa dulu aku selalu menjadi orang yang mengabarkanmu perihal apapun. Hingga saat di mana kukatakan aku akan pindah ke lain kota, lalu mendadak kauputuskan hubungan ini secara sepihak.

Tak apa. Aku telah mengikhlaskannya.

Lagipula, kita ini bukan sejoli yang baru jatuh hatinya dalam balutan seragam SMA. Bukan pula anak kuliahan yang diperhadapkan dengan rumitnya cinta segitiga atau masalah akademik ala mahasiswa tingkat akhir.

Kita ini telah menahun, menua bersama hubungan yang telah usang. Bukan sekali dua kali pula hubungan jarak jauh menjadi makanan kita. Dan bukan sekali dua kali pula kaucampakkan aku demi kedipan wanita lain yang kautemui di persimpangan jalan. Dan kurasa itu cukup jelas, ketika sekarang, untuk kesekian kalinya kauputuskan aku ... Gadis kecilmu yang bodoh dan lemah hatinya ini.

Dan aku mungkin masih akan mengingat semuanya dengan jelas, bagaimana sepuluh tahun yang lalu, lewat sebuah novel, kautitipkan rindumu padaku. Lalu berawal dari situ kita berproses. Asam-manisnya cinta benar-benar mengenyangkanku. Dan mungkin aku ini adalah saksi sejarah bagaimana kau dengan beraninya menyematkan namaku pada lembaran akhir skripsimu. Kukira, itu cukup mengharukan, Kasih.

Namun sekarang, ceritanya tidak lagi begitu. Tidak lagi tentang aku atau kamu, yang selalu menjadi kita. Ya, kita yang sekiranya selalu terlihat santai dan manis di hadapan banyak orang, namun menyimpan banyak luka 'tak terobati.

Dan mungkin karena itu pula kau kembali melepaskanku, yang sempat kaudoakan agar tetap menjadi kekasih sejatimu.

Tak apa. Kurasa kita memang masih perlu belajar pada kenangan. Kitalah yang menjadi pelajaran itu. Bukan hanya menyebut diri sebagai orang dewasa, namun mampu bersikap dewasa saat kehancuran memang harus memisahkan kita.

Aku ingat. Kemarin pagi, kau sempat menelepon. Terhitung duapuluhtujuh panggilan tak terjawab adanya. Dan bukan maksudku membiarkannya begitu saja, namun sejak kemarin ponselku kutinggalkan di rumah. Sedang sang pemilik sedang sibuk mencari cendera mata di setiap toko yang sering kaudatangi bersamaku. Namun akhirnya, yang sampai ke rumahmu hanya sepucuk surat berhiaskan herbarium kering, yang mungkin pula saat ini tengah kaubaca dan kauresapi. Betapa dulu aku begitu menyayangimu.

Dan sekarang, kurasa pesawat ini telah benar-benar meninggalkanmu dan kota itu yang kini kusebut sebagai kota kenangan.

Pesanku hanya satu, biarlah lilin yang kautiup hari ini, menjadi lilin terakhir atas jiwamu yang liar dan bebal. Tak perlu pula kaukenang aku sebagai mantan kekasihmu yang menyebalkan dan banyak mulutnya. Sekiranya, segala wejanganku tersimpan dalam pikiranmu.

Dengan begitu, kuharap, setahun atau dua tahun kemudian ... 'kan kudapati kabar bahwa pria yang dulu sempat kusayangi ini, telah membenahi dirinya dengan baik. Dan ia pun telah menemukan cinta sejatinya.

Lalu pada akhirnya, kusisakan senyum terakhirku untukmu.

Selamat ulang tahun, Chér!

Kota Hujan, 12 Juli 2019

Antologi Cerpen Dan PuisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang