Hatiku diretas! Aku tak lagi punya rumah!
Izinkan aku menangisi kepergianmu (nanti) sekarang, Mama. Sebab bila tiba waktunya, kupastikan aku akan bertahan, setegar karang yang diterjang ombak. Aku takkan lagi menitikkan air mata untukmu dan mungkin lebih baik menahannya tergenang di pelupuk mata daripada harus rapuh di hadapanmu. Mama, biarlah aku selalu tersenyum menatapmu, sebelum senyumku sirna dikikis kematian yang akan memisahkan kita nanti. Ajaklah aku untuk bersua, Mama. Buatlah aku bosan mendengar petuah dan segala aturanmu, sebelum nanti yang kulihat hanya sebuah bingkai foto ... dan potret yang tengah tersenyum dalam sebuah kenangan.
Aku ini anak yang tidak tahu diuntung! Saban tahun meresahkan dadamu, menghabiskan suaramu, serta melukakan hatimu. Aku ini, dan aku ini jua yang selalu membuat telingamu tebal di depan tetangga. Aku dan aku saja, yang selalu menggelisahkan malammu: "Hendak jadi apa anak ini nantinya?"
Mama, akhirnya tadi aku berani menatap matamu. Akhirnya aku berani, Mama! Adalah kau di sana, berusaha penuh turun dari mobil, lelah dengan kawalan rumah sakit. Para tetangga berkerumun, dibunuh rasa penasaran, "Bagaimana kabar sang Puan sekarang? Apakah sakitnya telah sembuh?" Dan batinku mati dibunuh rasa malu, betapa dulu kau selalu ada di sampingku, berjalan bersamaku ke manapun. Namun kini, harus kulihat kau berjalan sendiri, dengan senyum yang dipaksa, juga tubuh yang dipapah orang lain.
Bagaimana bila aku menjadi orang lain saja? Menjadi seorang gadis protagonis, yang akan dan selalu kausebut namanya, bahkan mungkin bila itu pada hela napas terakhirmu. Bagaimana bila aku berubah menjadi sosok yang sangat kaukagumi kepribadiannya? Bagaimana bila aku ini menjadi sosok yang dapat kauandalkan di mana saja? Atau bagaimana bila semua ini masih berupa angan-angan yang tidak pernah kita pikirkan. Dan kita masih berada jauh, pada tahun di mana kita masih selalu beriring dan kematian adalah hal yang akan kita hadapi bersama?
Nahasnya, aku ini tumbuh sebagai gadis pembangkang, pemberontak sejati, dan pelanggar segala kebaikan yang kauberi. Tiada hal lain yang memenuhi kepalaku selain cinta buta pada orang yang baru dikenal dan aturanmu yang terlalu membosankan. Kau selalu menulis, Mama, selalu. Pada tiap anak tangga, dinding-dinding dapur, hingga pintu kamar mandi, ada saja buah tangan yang kauberi padaku. Namun aku membutakan mataku sendiri, demi mengabaikan petuah-petuah itu. Kau juga selalu memantau, Mama. Memastikan apa kejujuran mekar sempurna dalam jiwaku atau seumur hidupku aku akan menjadi si muka dua.
Untuk kedua kalinya, aku berhasil menatap matamu, Mama. Aku berhasil! Adalah kau yang sedang terkulai lemas di atas kursi kesayanganmu, yang dulunya tak pernah kaududuki. Sebab waktu adalah uang yang sibuk dikejar api, dan pagi hari adalah saat yang tepat untuk membakar semangat baru. Dan sedihnya, selama ini aku tidak pernah bertanya, Mama. Tidak sekalipun. Lalu belakangan ini aku akhirnya tahu, mengapa dulu kau sering tersenyum saat membangunkanku, mengapa dulu pagi selalu kaupilih untuk beradu mulut denganku yang enggan beranjak dari tidur, serta tangis semalam. Sebab kau tahu, Mama, mentari akan semakin naik, dan tubuhku akan terbakar di sana ... pada patah hati dan cinta yang semu.
Dan aku semakin membuat sedih ini menjadi duka yang terperih. Kenyataan bahwa aku tak pernah sekalipun menggenggam tanganmu
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Cerpen Dan Puisi
Ficción GeneralAntologi Cerpen Dan Puisi berisikan kumpulan puisi dan cerpen dan terkadang berisi kumpulan catatan yang murni dibuat sendiri oleh author sebagai pengisi waktu luang. Segala hal yang tertulis di sini sama sekali tidak bermaksud untuk menyinggung sia...