Dira

121 6 0
                                    

"Maaf" hanya itu kata yang keluar setelah Fira lama menunggu, mencoba memikirkan apa yang terjadi. Setelah itu dia tersenyum, sangat manis.

"Buat apa? Bukan abang yang salah. Fira yang salah"

"Please, jangan ngomong gitu, gue jadi makin tambah bersalah" Dimas melepas pelukannya dan melangkah untuk duduk ke arah luar.

Disinilah mereka berada. Salah satu tempat yang menjadi saksi kebahagiaan mereka. Salah satu tempat yang menciptakan begitu banyak kenangan. Rumah pohon. Rumah pohon yang dibangun kedua orangtuanya dengan alasan supaya tidak susah untuk mencari dimana mereka bermain.

"Gue gak bisa jadi abang yang baik buat lo. Gue gak bisa ngebahagiain lo. Gue gagal Fir, bener-bener gagal untuk mewujudkan impiannya dulu. Gue bego banget. Gue egois." Dimas menatap lurus kearah depan dan menatap Fira yang sedari tadi sudah menatapnya dengan senyum yang tulus.

"Lo gak gagal kok. Gue bahagia banget bisa kenal sama lo. Gue bahagia lo kembali. Gue bahagia lo ada disamping gue lagi. Makasih bang." Fira tersenyum tulus, sangat tulus.

"Fir, gue akan tetap jadi abang lo kan?"

Pertanyaan aneh, kenapa Dimas mengatakan itu? Sudah jelas selamanya Dimas akan menjadi abangnya, kecuali kalau Dimas membalas perasaannya.

"Ya iya lah, kenapa nanya gitu?" Fira mengerutkan keningnya pertanda bingung.

"Kalau suatu saat ada hal yang atau kenyataan yang buat lo sakit hati karena gue, apa lo akan jauhin gue kayak gue jauhin lo dulu?"

Kenapa pertanyaan ini sangat menyakitkan untuknya? Apa yang terjadi?

"Kenapa bang? Bang Dimas nyembunyiin sesuatu dari Fira?"

"Sebenarnya, gue yang...."

Fira terbangun! Mimpi aneh itu kembali terulang. Mimpi yang selalu seolah-olah ada sesuatu yang ingin disampaikan pada Fira. Tapi entah itu apa Fira tidak tahu. Setiap kali ingin disampaikan pasti dia selalu terbangun. Apa sebenarnya maksud dari mimpi itu?

Fira melangkah menuju balkon kamarnya, tempat yang selalu saja mampu menenangkan nya. Dia duduk di kursi yang sudah tersedia, kemudian menikmati semilir angin. Oh iya, jangan dilupakan kalau ini sudah jam 3 pagi. Biasanya kalau Fira ke balkon pada malam atau pagi dini hari, Dimas pasti akan memarahi nya.

"Fira, masuk" Dimas sedari tadi membujuk Fira yang tidak ingin masuk ke dalam.

"Fira, ini sudah malam. Gak baik lo kena angin malam gini. Nanti lo sakit Fir"

"Abang dulu deh yang masuk. Gue masih.."

"Mau nenangin diri" Dimas memotong ucapan Fira.

"Apa dengan cerita ke gue lo gak merasa tenang? Apa kehadiran gue udah gak ada artinya lagi buat lo? Kalau iya, berarti gue gagal Fir. Masih satu hari dia pergi dan gue udah gagal jagain lo" Dimas menatap lurus ke arah depan.

"Eh gak gitu bang" Fira jadi khawatir dengan Dimas yang tiba-tiba berbicara seperti itu.

"Jadi gimana?" Dimas menatap datar Fira.

"Yaudah ayo, ayo kita masuk" Fira pasrah kalau Dimas sudah seperti ini.

"Tapi janji dulu" Dimas menghentikan Fira yang hendak bangkit berdiri.

"Janji apa?" Fira mengeryit heran.

"Janji kalau gak ke balkon atau nikmati angin malam lagi. Kan ada gue yang selalu bisa nenangin lo"

"Iya iya. Tapi janji itu hanya berlaku saat abang bisa mendengar semua yang Fira rasakan. Kalau abang gak bisa dengerin Fira lagi, maka Fira gak bisa janji untuk gak nikmati angin malam lagi" entah apa yang di pikirkan Fira waktu itu sampai dia bisa berkata seperti itu, yang pasti dia tidak menyesal karena hal itu terjadi saat ini.

"Iya iya bawel, abang pasti selalu bisa kok dengerin Fira. Udah ayo masuk. Nanti sakit lagi"

"Fira gak ingkar janji kan bang? Fira datang ke balkon ini saat abang gak mau dengerin Fira lagi. Fira kangen bang Dimas. Fira juga kangen dia." Tanpa sadar, beberapa tetes air mata turun dari pelupuk mata Fira, meluncur dengan mulus di pipinya.

***
Entah ada angin apa, Dimas datang pagi sekali hari ini. Dia menuju kursi nya. Dan dapat perintah dari mana dia kembali mengecek laci nya. Tidak ada apa-apa. Bagus lah. Setidak nya dia tidak perlu kembali berfikir siapa yang memberikannya.

Dimas berjalan keluar kelas menuju rooftop sekolah. Tapi baru beberapa langkah melangkah di koridor dia berpapasan dengan Fira.

Fira yang melihat Dimas buru-buru menyembunyikan bungkusannya ke belakang tubuhnya.

"Hi bang Dim" sapa Fira ceria. Tapi yang disapa malah tidak mengeluarkan ekspresi apapun, tentu saja itu membuat Fira sedih. Dan yang lebih parahnya lagi Dimas melewati nya begitu saja!

Fira tidak perduli lagi, dia kembali pada tujuan utamanya. Memasuki kelas yang masih tidak ada orang dan meletakkan bungkusan yang tadi di bawa di laci meja, kemudian tersenyum.

"Semoga lo suka dan mau nerima bang" setelah melakukan beberapa kegiatan itu dia buru-buru keluar kelas dan langsung menuju kelasnya. Menunggu teman-temannya datang, eh ralat temannya-hanya Nadin datang sambil membaca novel, bukankah itu menyenangkan?

***
Setelah bel masuk berbunyi, Dimas turun dan memasuki kelasnya. Diiringin dengan tatapan dan teriakan memuja dari para kaum hawa.

Dimas mendengarkan guru yang mengajar. Mencoba untuk memahami pelajaran meskipun rasa kantuk menghampirinya.

Setelah sudah habis les dan guru itu sudah keluar dari ruangan kelas. Si kembar Rio dan Roy menghampiri meja Dimas, mengajak dia untuk ke kantin. Karena memang mereka sedang freeclass.

"Skuy kantin Dim" ajak Roy

"Males. Lo pada aja"

"Oh iya. Dimas kan sekarang sudah ada catering pribadinya. Mana mau dia ke kantin kalau ada yang gratis"

Ucapan Rio membuat heran Dimas "maksud lo?"

"Emang gak ada lagi yang anterin lo snack kayak kemarin"

Perkataan Roy refleks membuat Dimas merogoh laci nya. Dan ya! Dia menemukan makanan itu. Siapa sebenarnya yang memberikannya?

"Perasaan tadi belum ada" Dimas bergumam, tapi masih bisa di dengar si kembar.

"Emang lo liatnya kapan?" Tanya Roy mencoba serius.

"Jam set7"

"Buset, cepet amat lo datang jam segitu" celetuk Rio

"Tadi anak kelas udah pada datang belum pas lo cek?" Tanya Roy yang tidak menggubris pernyataan konyol Rio

"Belum"

"Berarti anak kelas ini yang ngasih tuh snack" ucapan Rio membuat keduanya mengryit bingung.

"Gini ya, tadi Dimas ngecek jam set7 dan itu snack belum ada. Dan juga anak kelas belum ada yang datang kecuali dia. Yah besar kemungkinan anak kelas ini yang kasih. Dan satu-satunya orang yang selalu datang lebih awal plus yang suka sama Dimas ya si cupu" ucap Rio panjang lebar.

"Eh cupu, sini lo" Rio memanggil Mila, perempuan yang penampilannya sangat jauh dari kata gaul dan selalu bergelut dengan buku. Yang dipanggil pun datang dengan kepala sedikit menunduk.

"Apaan sih lo manggil dia?" Ketus Roy sambil berbisik. Bukannya apa, Roy berfikir kalau kesannya Rio seperti menuduh Mila.

"Kenapa Rio?" Tanya Mila yang tidak menatap mereka.

"Lo kan yang ngasih ginian ke laci meja Dimas"

"....."

TBC :)
Ditunggu next nya ya😉

Please Comeback To Me [End/Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang