Bram tahu bahwa Agni sedang menunggunya, karena Bram tahu semua wanita seperti itu. Bram menepikan mobilnya tepat di depan halte. Bram lalu membuka kaca mobil, ia memandang Agni yang telah menunggunya.
"Masuklah" ucap Bram.
Agni tadi tidak percaya bahwa Bram menghubunginya secara tiba-tiba. Bram menanyakan keberadaanya, dan menyuruhnya menunggu. Ia tadi sulit untuk mencerna ucapan Bram, dan ia tidak sempat untuk memperotes, karena sambungan telfon itu sudah terputus begitu saja. Bram sepertinya bukan jenis laki-laki yang senang berbasa-basi. Laki-laki itu begitu sepontan.
Agni membuka hendel pintu mobil, dan lalu duduk di depan kemudi bersama Bram. Agni memasang sabuk pengaman. Bram menutup kaca jendela kembali. Sedetik kemudian mobil lalu menjauhi area halte.
Agni melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 20.12 menit. Agni lalu melirik Bram, yang masih fokus dengan setirnya. Laki-laki itu terlihat dingin, auranya sangat berbeda semenjak pertama kali berkenalan.
"Kamu sudah makan?" Tanya Bram seketika, memecahkan kesunyian.
"Belum" ucap Agni jujur, semenjak pulang dari kampus ia memang belum menyentuh nasi.
"Kenapa belum?".
"Ya, memang enggak sempat, karena dari kampus, saya langsung ke tempat kerja. Saya juga selalu makan buatan ibu saya, dari pada makan di luar".
Bram mengerutkan dahi, ia menghentikan mobilnya, karena lampu merah menyala. Bram menoleh kearah Agni. "Begitu setiap hari?". Bram tidak percaya bahwa Agni bisa menahan lapar selama itu.
"Iya, bagi saya masakan buatan ibu paling enak sedunia".
Bram tahu, bahwa keluarga Adam memang memiliki ikatan kekeluargaan yang kuat. Hingga apapun selalu mengutamakan keluarga terlebih dahulu di banding dengan apapun di dunia ini. Terlihat mereka selalu bersama, dan saling menjaga satu sama lain. Berbanding terbalik dengan dirinya, ayah dan ibunya selalu sibuk dengan urusan masing-masing untuk menghasilkan uang berlimpah. Bergelimang harta, ia mampu membeli apapun. Semua dapat ia miliki dengan uangannya. Uang adalah segalanya bagi Bram.
"Bagaimana kita makan di luar saja, kebetulan saya belum makan" ucap Bram seketika, ia tidak ingin menanyakan lebih lanjut prihal keluarga Adam.
"Ya".
"Kamu mau makan dimana?" Tanya Bram.
Agni tersenyum, dari kemarin ia ingin sekali makan sate kambing yang berada di pinggir jalan.
"Saya ingin makan sate kambing" ucap Agni seketika.
"Sate kambing?".
"Iya sate kambing. Sate kambingnya super lezat, saya biasa ngantri membelinya. Letaknya tidak jauh dari lampu merah disana" ucap Agni, menunjuk salah satu gerobak di dekat sana.
Semenit kemudian lampu hijau menyala, Bram melanjutkan perjalanannya.
"Di pinggir jalan?" Tanya Bram bingung.
"Iya, di pinggir jalan. Disana ramai orang yang mengantri. Kamu pasti ketagihan memakannya" ucap Agni.
Bram sebenarnya ingin perotes untuk makan disana. Masalahnya ia tidak pernah sekalipun makan di pinggir jalan seperti itu. Ia tidak bisa membayangkan makan di pinggir jalan, penuh debu dan asap. Lihatlah disana saja ramai sekali, tempatnya sama sekali tidak higienis. Bram tidak yakin ia bisa makan di tempat seperti itu.
"Apakah tidak ada tempat lain, selain makan disitu? Misalnya restoran mungkin, saya yakin masih banyak sate-sate yang lebih enak dari tempat itu".
Agni lalu menoleh kearah Bram, ia menatap secara jelas wajah tampan itu terlihat tidak suka. "Kamu tidak pernah makan di tepi jalan?".
"Tidak, dan tidak akan pernah makan di tempat seperti itu".
"Ya, orang kaya seperti kamu memang tidak pernah makan disana. Kamu belum mencobanya, bagaimana serunya makan di tempat terbuka, dari pada restoran mewah yang sering kamu kunjungi itu" timpal Agni.
"saya akan melakukan itu hanya untuk kamu" Bram menekankan nada suaranya.
Bram tidak berani mencela ucapan Agni, bisa jadi Agni tidak ingin bertemu dengannya lagi, jika ia membantah ucapan itu. Bram tahu bahwa makanan di tepi jalan itu sangatlah kotor, karena debu dan polusi udara. Bram tidak suka yang berbau kotor seperti itu. Bram lalu menghentikan mobilnya di tepi jalan, ia mengikuti mau Agni.
Berkeinginan keras untuk membalas rasa marah dan benci terhadap Adam, ia rela melakukan apa saja, agar Agni jatuh di tangannya. Bram tidak merasa tenang jika rasa sakitnya belum terealisasikan. Bram berusaha menggagalkan berbagai cara untuk membuat Adam merasakan sakit seperti dirinya.
Bram melirik Agni, wanita itu membuka hendel pintu dan Bram mengikutinya dari belakang. Agni tersenyum menatap Bram, laki-laki itu mengikuti apa yang ia inginkan. Bram memang tidak cocok makan di pinggir jalan seperti ini, lihatlah laki-laki tampan seperti Bram, lebih cocok berada di restoran mewah, yang biasa ia lihat di hotel berbintang.
Agni lalu memesan dua piring sate, dan lalu duduk di ujung paling belakang, karena disitulah tempat kosong tersisa. Bram mengikutinya dan duduk di kursi plastik itu. Agni ingin tertawa melihat Bram, terlihat jelas bahwa laki-laki itu tidak suka berada disini.
Beberapa menit kemudian, sate kambing sudah tersaji di piring. Aroma sate kambing yang gurih tercium di hidungnya. Sate itu terlihat sangat menggugah selera makannya. Agni melirik Bram, Bram hanya diam menatap sate itu.
"Makanlah, rasa sate kambing ini sangat enak. Saya yakin sate disini tidak kalah enak dari pada sate yang berada di hotel berbintang yang sering kamu kunjungi" ucap Agni, ia lalu memakan daging kambing.
Bram memandang Agni, wanita itu memakan sate dengan lahap. Bram menaikkan lengan jaket kulitnya, agar ia bisa memakan sate itu dengan leluasa. Bram bersumpah tidak akan makan di tempat ini lagi.
**********
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM SANG CEO (TAMAT)
Romance"Saya pikir kemeja ini cocok untuk anda" ucap Agni, Agni memperlihatkan kemeja itu untuk Bram. Alis Bram terangkat, ia kembali memperhatikan Agni dan lalu mengambil kemeja dari tangan Agni. Bram sengaja menyentuh tangan Agni. Bram merasakan sentuhan...