BAB 34

3.1K 154 0
                                    

Keputusan Agni sudah bulat untuk meninggalkan Bram. Percuma saja, ia disini, tapi Bram tidak membalas cintanya. Bram hanya menginginkannya untuk membalas dendam kepada Adam, tapi semakin jauh ia mengenal Bram, laki-laki itu terlihat bukan sekedar untuk membalas dendam. Bram seakan menginginkan dirinya. Agni tahu bahwa Bram, mencintainya hanya Bram tidak bisa mengakuinya. Bram selalu menatap iris matanya, memeluknya, dan menjaganya. Itu sudah membuktikan bahwa Bram mencintainya, tapi ego Bram terlalu tinggi untuk mengakuinya. Ia hanya ingin tahu, seberapa lama Bram bisa bertahan dalam posisi itu.

Jujur Agni begitu nyaman didekat Bram. Ingin sekali hidup bersama Bram, Bram sama sekali tidak berprilaku kasar kepadanya justru sebaliknya, Bram menjaganya dan membuatnya nyaman. Tapi sungguh ia tidak bisa berlama-lama dengan Bram. Keluarganya sudah menunggu dirumahnya. Agni harus mengorbankan salah satu antara Bram, dan keluarga. Tentu saja ia memilih keluarga, Agni tahu ia sudah begitu banyak menyusahkan keluarganya, betapa khawatirnya, ibu, bapak, dan Adam.

Agni sangat berdosa kepada keluarganya. Bram hanya laki-laki yang baru dikenalnya beberapa bulan dan Bram juga laki-laki yang ingin menghancurkan hidup Adam. Agni sungguh bodoh telah mencintai Bram begitu dalam. Sudah jelas Bram bukan laki-laki baik untuk dirinya, dan ia membenarkan ucapan Adam. Sepertinya ia harus merelakan perasaan cintanya, agar hidupnya kembali normal.

Agni harus meninggalkan Bram. Agar ia bisa menata hidupnya kembali. Agni melirik cincin pemberian Bram, yang masih melingkar sempurna di jari manisnya. Agni pikir Bram akan membalas cintanya, tapi sejauh ini, dirinya hanya cinta bertepuk sebelah tangan. Agni melepas cincin permata pemberian Bram. Cincin permata itu begitu cantik, dan sangat pantas di jari manisnya.

Kehilangan Bram memang sangat menyakitkan, tapi ini bukan akhir segalanya. Mungkin inilah saatnya ia harus meninggalkan Bram. Agni akan mencoba melupakan Bram sejenak, walaupun ia tahu itu sangat mustahil ia lakukan.

Agni melangkahkan kakinya mendekati Bram disana, laki-laki itu baru saja selesai olah raga. Wajah itu sangat tampan, ya laki-laki itulah yang membuatnya jatuh cinta.

Bram menyadari bahwa Agni memperhatikannya. Bram membalas tatapan Agni, memandang iris mata bening itu. Wajah cantik itu sudah beberapa hari menemaninya. Sulit rasanya untuk melepaskan Agni. Sungguh ia sudah terbiasa bersama wanita cantik itu. Melakukan hal sederhana, hanya sekedar melihatnya meminum obat, memeluknya dan menonton bersama. Walau tidak banyak ia ucapkan, kepada wanita itu. Hanya dengan tatapan dan mendengar detak jantungnya membuatnya nyaman, mereka seolah berbicara dengan tatapan.

Agni kini sudah dihadapannya, Bram mengecup puncak kepala Agni. Wanita ini sudah kembali sehat, bahkan perban di kepalanya sudah dilepas. Ia bersyukur bahwa Agni sudah sembuh, ia bisa melihat senyum itu lagi.

"Bram".

"Hemm" gumam Bram, ia mengelus rambut lurus Agni.

"Saya harus pulang" ucap Agni.

Sungguh itu merupakan ucapan yang paling ia benci saat ini. Wanita ini ingin pulang, dan hati melarang untuk Agni pergi darinya.

"Saya antar kalau begitu, tunggulah" ucap Bram.

Agni meraih tangan Bram, mencegah laki-laki itu masuk ke dalam kamarnya.

"Tidak perlu Bram" ucap Agni.

Bram membalas tatapan Agni, ada makna tersirat dari wajah cantik itu.

"Kenapa?".

"Saya ingin pulang sendiri Bram, saya sudah menghubungi mas Adam tadi pagi. Mas Adam sudah menjemput saya di cafe bawah" ucap Agni seketika.

Bram hanya diam, sungguh ia ingin melarang Agni pergi darinya. Ia tidak rela Agni menjauh darinya. Bram mengepalkan tangannya, manahan sakit hatinya, dulu ia begitu emosi mendengar nama Adam, tapi ia lebih emosi mendengar Agni ingin pergi darinya. Ada perasaan tidak terima Agni melakukan itu kepadanya. Bram menahan, agar emosinya tidak naik, ia sudah berjanji pada dirinya, agar tidak ingin menyakiti Agni lagi.

"Terima kasih telah merawat dan menjaga saya. Walau hanya beberapa hari, kebersamaan kamu adalah hal yang paling berharga".

"Iya" ucap Bram, suaranya bergetar menahan amarah.

Agni meraih jemari Bram, dikecupnya punggung tangan Bram, "Saya punya keluarga, dan saya hampir lupa bahwa saya memiliki kekasih Alan. Itu semua karena kamu, kamu mempunyai pengaruh besar dalam hidup saya" ucap Agni, ia menahan isak tangisnya.

"Bram saya sudah memilih, saya harus melepaskan kamu. Saya memilih keluarga saya dari pada kamu" ucap Agni lagi, Agni menepis air matanya dengan jemarinya.

Ada hati tidak menerima Agni berkata seperti itu. Hati seakan perih mendengar, Agni memilih keluarga dari pada dirinya. Itu menandakan bahwa Agni sudah memutuskan hubungan dengannya. Bram mengepalkan tangannya, ia memandang Agni. Hatinya seperti teriris dan sangat sakit. Lebih sakit dari pada melihat Melisa menikah dengan Adam.

Wanita itu menangis, sungguh ia sama sekali tidak suka melihat wanita itu menangis seperti ini, ini adalah kelemahannya.

Agni menaruh cincin ditelapak tangan Bram. Bram menatap cincin permata pemberiannya, ia tidak menyangka bahwa Agni melepas dan mengembalikan cincin pemberiannya.

"Saya harus pergi dari kamu Bram" ucap Agni sekali lagi.

Bram hanya diam, ia sulit percaya apa yang Agni lakukan kepadanya. Bram mengepalkan tangannya menahan emosi.

"Apakah kamu tidak mencintai saya" ucap Bram. Bram meraih tangan Agni, mencegah Agni pergi darinya.

"Saya sudah lelah Bram, saya sudah lelah untuk mencintai kamu" ucap Agni.

"Jika kamu mencintai saya, kamu tidak akan pergi meninggalkan saya" ucap Bram.

"Saya tidak bisa bersama kamu lagi Bram. Saya sungguh sudah lelah, tolong lepaskan saya".

"Agni" gumam Bram.

"Bram, ini sudah keputusan saya. Sebaiknya kita berpisah saja".

Agni lalu melangkah menjauhi Bram. Agni menepis air mata yang jatuh dengan jemarinya. Agni sungguh sudah lelah dengan sikap Bram seperti ini.

Bram melangkah mengejar Agni, hingga di depan pintu utama.

"Agni, jangan pergi dari saya" ucap Bram, ia mencegah Agni pergi.

"Bram, ini keputusan saya".

Bram menarik nafas, ia menatap Agni dengan intens.

"jika saya mencintai kamu, apakah kamu kembali bersama saya" ucap Bram seketika.

"Ya".

Agni meneruskan langkahnya meninggalkan Bram begitu saja.

Bram menatap punggung Agni dari kejauhan, hingga punggung itu menghilang dari pandangannya. Kini ada perasaan tidak menentu di hatinya.

***********

DENDAM SANG CEO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang