BAB 32

3.4K 143 1
                                    

Agni membuka matanya secara perlahan. Ia tidak tahu berapa lama ia tertidur di ranjang ini. Agni memfokuskan penglihatannya ia tahu betul siapa pemilik kamar ini. Ia pernah kesini sebelumnya. Tempat tidur ini begitu nyaman, dan tercium harum mint yang menyegarkan.

Rasa sakit ditubuhnya sudah berkurang. Agni menyandarkan punggungnya disisi tempat tidur, ia memandang Bram disana. Laki-laki itu memperhatikannya dengan intens. Agni menatap iris mata Bram, dan Bram membalasnya tatapanya. Tatapan itu membuat jantungnya kembali berdebar, seperti menusuk ke dalam hatinya.

Bram melangkah mendekati Agni. Sedari tadi ia menunggu wanita itu bangun dari tidur panjangnya. Sudah enam jam lamanya Agni tertidur pulas disini bersamanya. Bram lalu duduk di sisi tempat tidur, ia memandang wajah cantik itu, tidak sepucat tadi pagi, ketika ia membawanya.

Bram menyentuh permukaan wajah Agni, wajah cantik ini lah yang ia inginkan. Jujur ia tidak bisa meninggalkan Agni, ia tidak bisa menjauh dari Agni. Ia tidak bisa berhenti untuk menatap Agni. Ia tidak ingin membuat wanita ini terluka lagi.

"Bagaimana keadaan kamu" tanya Bram.

Agni merasakan tangan Bram di permukaan wajahnya, Agni lalu meraih tangan hangat itu, "sudah lebih baik" ucap Agni.

"Syukurlah, saya sungguh mengkhawatirkan kamu, saya dari tadi menunggu kamu terbangun, saya putuskan duduk disana" ucap Bram menunjuk sofa yang tidak jauh darinya.

"Apakah kepala kamu masih pusing?" Tanya Bram.

"Tidak".

"Tadi dokter mangatakan bahwa, setelah makan kamu minum obat lagi, mengurangi rasa sakit di kepala kamu".

"Iya".

Agni kembali menatap Bram, ia menggenggam jemari Bram di sela-sela jemarinya.

"Terima kasih telah menjaga saya" ucap Agni.

"Sudah seharusnya saya menjaga kamu".

Agni mengelus wajah tampan Bram, laki-laki tampan inilah yang selalu ada dalam mimpinya. Ia tahu Bram merasakan apa yang ia rasakan.

"Bram, saya ingin menanyakan sesuatu kepada kamu" ucap Agni.

"Iya, tanyakanlah".

Agni menarik nafas, ia ingin mengetahui secara langsung dari mulut laki-laki ini. Ia ingin memastikan apa yang ia rasakan, "Apakah kamu mencintai saya?" Tanya Agni.

Inilah pertanyaan yang sulit Bram jawab. Jujur, cinta adalah hal tersulit untuk ia ungkapkan. Pertama dan terakhir kalinya, ia menyatakan cinta hanya kepada Melisa. Tidak pernah terlintas dipikirannya untuk menyatakan cinta kepada wanita manapun, termasuk Agni. Kecuali ia benar-benar memastikan bahwa ia mencintai wanita itu. Bram menatap iris mata Agni, ia lalu menarik nafas.

"Saya tidak tahu, apakah ini cinta atau tidak. Saya hanya tidak bisa meninggalkan kamu dan saya tidak menjauh dari kamu Agni" ucap Bram.

Bram mengecup punggung tangan Agni, "saya ingin melihat kamu setiap saat, saya ingin kamu disini bersama saya. Waktu saya seakan tidak berhenti mengingat kamu Agni" ucap Bram.

"Saya tidak suka melihat kamu menangis, dan saya tidak ingin kamu terluka seperti ini lagi".

"oh Tuhan, kamu gadis kecil yang selalu mengganggu pikiran saya. Saya tidak tahu untuk berkata untuk mengungkapkan isi hati saya, kepada kamu" ucap Bram.

Agni mendengar secara jelas apa yang Bram ucapkan. Agni tahu Bram tidak bisa mengungkapkan kata-kata cinta, kepada wanita. Bram bukan jenis laki-laki playboy dan gombal. Bram sama sekali tidak bisa mengungkapkan itu. Agni menyentuh rahang Bram dengan jemari-jemarinya. Ia tahu Bram mengungkapkan itu dengan hati dan perasaanya.

"Awalnya saya mendekati kamu, hanya ingin membalas dendam kepada saudara kamu. Semua memang seperti itu rencana saya. Rencana saya berjalan dengan lancar. Bodohnya, Setelah itu saya tidak bisa berhenti untuk melupakan kamu. Suatu saat saya pernah melihat kamu dan Alan, entahlah ada rasa tidak suka melihat kalian bersama. Saya kembali mengejar kamu, dan mendekati kamu kembali. Saya ingin kamu bersama saya disini, kita hidup bersama, melihat wajah cantik kamu setiap hari. Kedengarannya memang egois, ya saya memang seperti itu".

"Apakah kamu mencintai saya" tanya Agni sekali lagi, ia ingin memastikan perasaan laki-laki itu.

Bram menggelengkan kepala, "saya belum bisa menjawabnya, saya hanya tidak bisa menjauh dari kamu" ucap Bram, ia lalu mengecup puncak kepala Agni.

"Maaf, saya tidak bisa mengungkapkan itu. Yakinlah saya ingin kamu bersama saya" ucap Bram lagi.

Agni mengangguk paham, bukan jawaban inilah yang ia inginkan. Agni melepaskan jemarinya, ia kembali menatap Bram.

"Bisakah saya meminjam ponsel kamu, saya ingin menghubungi mas Adam. Saya hanya tidak ingin mas Adam dan keluarga saya mengkhawatirkan saya, jika saya disini bersama kamu".

"Saya sudah memberitahu Adam, sementara waktu kamu disini bersama saya, tidak perlu kamu khawatirkan" ucap Bram dingin, ia tidak terlalu suka mendengar nama Adam disana.

"Bram, pinjam ponsel kamu, saya hanya ingin mengirim pesan singkat saja".

"Tidak bisa Agni, percaya saya. Saya sudah memberitahu Adam. Kamu aman bersama saya, saya hanya ingin dia tahu bahwa kamu disini bersama saya".

"Bram".

"Istirahatlah" ucap Bram lalu menegakkan tubuhnya.

"Bram".

"Agni".

"Saya ingin pulang Bram" ucap Agni pelan.

Bram lalu duduk kembali di sisi ranjang, ia menatap iris mata Agni. Agni mengatakan ingin pulang, ia sulit percaya, "Kamu sedang bersama saya Agni, jangan pernah mengatakan itu".

"Bram".

Bram lalu maraih tengkuk Agni, di kecupnya bibir tipis Agni. Bibir tipis inilah yang ia rindukan. Bram melepas kecupannya kembali, ia menatap iris mata Agni.

"Kamu boleh mengingikan apa saja, asal jangan pernah menginginkan pulang" ucap Bram.

Agni nelangsa dalam hati, ia memandang Bram, "saya, ingin tidur dipelukkan kamu".

"Iya, tentu saja, tanpa perlu kamu memintanya akan saya lakukan" ucap Bram lalu meninggalkan Agni begitu saja.

DENDAM SANG CEO (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang