-17-

4.3K 494 15
                                    

𝙵𝚛𝚒𝚎𝚗𝚍 𝚉𝚘𝚗𝚎

🍁

Mata Aurel terbuka perlahan dengan bau khas rumah sakit. Tatapan bingung tercetak saat dirinya berada di ruangan serba putih. Seingatnya ia terduduk di depan kasur dan selanjutnya tidak ingat apa-apa lagi.

"Bibi," panggil Aurel pelan, saat melihat wanita paruh baya itu sedang duduk di samping ranjang dengan tersenyum teduh dan mengelus surai hitam Aurel lembut.

"Ada apa, non?"

Aurel menatap tangannya yang terpasang infusan.

"Kenapa Aurel ada disini?" tanyanya heran.

Bibi berusaha untuk tidak meneteskan air matanya mengingat ucapan majikannya terhadap putrinya sendiri. "Semalam nona Aurel pingsan dan mengalami demam tinggi. Bibi takut terjadi sesuatu sama non Aurel, makanya bibi bawa ke rumah sakit," ucap bibi menjelaskan.

Aurel mengangguk lemah. "Terima kasih bibi selalu ada untuk Aurel." Terdiam sejenak. "Apa ayah tahu kalau aku sakit?" lanjutnya.

Bibi sempat terdiam sesaat, ia harus menjawab apa. "...tau non," jawabnya lirih dengan jujur.

Aurel tersenyum miris. "Terus apa kata ayah?" tanyanya lagi.

"Kata tuan..." jeda Bibi dengan menatap Aurel iba. Ia tidak kuat untuk menjawab dengan jujur.  Berbeda dengan Aurel yang sangat menunggu jawaban sang bibi. "Nanti kalau urusannya sudah selesai, tuan akan pulang," lanjutnya berbohong. Ia tidak mau menyakiti hati Aurel lagi.

Aurel menunduk dengan meremas jari tangannya. "Bibi bohong bukan?"

Bibi mengerjap, ia harus jawab apa. "Be-benar non," balasnya kembali berbohong.

Aurel tersenyum miris dan menghela napas. "Terima kasih sudah mau menjaga hati aku agar tidak sakit. Tapi, aku sudah tahu akan respon ayah seperti apa," ucapnya lirih.

Bibi menunduk. Ia tidak bisa menatap manik mata sendu Aurel. Terlalu sakit dan sesak. "Aurel nggak suka bibi berohong," lanjut Aurel. "Nggak apa-apa berkata jujur walaupun kata-katanya menyakitkan."

Bibi menatap Aurel lekat, hatinya terasa sakit melihat anak majikannya yang menderita. Sudah tiga tahun semenjak kecelakaan itu, Aurel tak pernah mendapatkan kasih sayang dari orangtuanya.

Aurel menatap jendela ruangan rumah sakit. "Apa aku mati saja ya, bi? Ayah pasti bahagia hidup tanpa aku."

"Non, bicara apa sih?  Bibi nggak suka ah!" seru bibi dengan mengelus surai hitam Aurel. "Jangan bicara kaya gitu lagi. Non Aurel harus bahagia," lanjutnya.

Aurel menghela napas. "Bahagia? Kapan? Aku capek, bi. Setiap saat selalu diabaikan, dibuang dan terluka," balasnya dengan meremas selimut rumah sakit dengan kencang.

"Aku ingin mati saja bi!" jerit Aurel dengan memukul dadanya sendiri membuat bibi panik dan berusaha menenangkan Aurel. "Aku ingin mati!" Aurel menangis, air mata mengalir dengan deras."Di sini nggak ada yang mengharapkan aku bi! Aku ingin ikut bunda!"

Bibi semakin panik saat Aurel ingin mengambil vas bunga dari nakas di sebelah ranjang rumah sakit. "Pak, cepat panggil dokter!" suruh bibi pada pak supir yang memang masih menunggu Aurel.

Pak supir mengangguk cepat dan segera berlari keluar ruangan mencari dokter. Sedangkan bibi menekan tombol darurat.

"Aurel ingin ikut bunda!" jerit Aurel lagi, kali ini ia menarik infusan di tangannya dan darah segar keluar dari tangannya.

"Ya ampun non Aurel. Sadar non! Istighfar!" seru Bibi dengan nada tinggi berusaha meredakan amarah Aurel.

Dokter pun telah masuk bersamaan dengan suster yang mulai mengunci tangan Aurel agar tidak kembali memberontak.

"Lepaskan aku. Aku mau ikut bunda!" Jerit Aurel kembali mencoba melepaskan tangannya yang di kunci oleh suster. Dokter yang melihatnya menyuntikan obat penenang untuk Aurel dan seketika tubuh Aurel mendadak lemas, setelahnya matanya tertutup, menandakan obat sudah mulai bekerja.

🍁

"Dok, bagaimana dengan keadaan nona Aurel?" tanya bibi yang sekarang sedang berada di ruangan dokter.

"Kalau boleh saya tahu, anda siapa nya pasien?" tanya dokter dengan serius.

"Saya pembantu yang bekerja di rumah nona Aurel," jawab bibi jujur.

"Apa anda bisa menghubungi orang tuanya? Ada yang harus saya bicarakan. Ini sangat penting," tanya dokter.

Bibi menautkan jari tangannya. "Maaf dokter. Tuan saya sedang pergi keluar negeri mengurus pekerjaan, sedangkan ibu kandungnya sudah lama meninggal," jawab bibi, dirinya tidak mau mengakui bahwa wanita itu adalah istri tuannya atau ibu tiri Aurel.

"Apa tidak masalah saya cerita keadaan pasien pada anda?" tanya dokter.

"Tidak masalah dokter. saya sudah menganggap nona Aurel seperti anak saya sendiri," jawab bibi.

Dokter mengangguk. "Sebelumnya saya ingin tanya, apakah pasien pernah mengalami kejadian yang membuatnya trauma atau depresi?" tanyanya yang kali ini dengan tatapan serius.

"Saya tidak tahu pasti dok tetapi, sejak kejadian tiga tahun lalu membuat non Aurel berubah sikapnya menjadi lebih dingin dan tak banyak bicara," jawab bibi menjelaskan.

"Kalau boleh tau kejadian apa?" tanya dokter lagi menggali informasi pasiennya.

"Kejadian waktu ibu kandungnya meninggal dunia di depan matanya sendiri akibat kecelakaan mobil," jawab bibi.

Bibi flashback kejadian tiga tahun yang lalu. Dimana peristiwa nyonya, ibu kandung Aurel merenggut nyawa di depan putrinya, Aurel.

"Saya hanya ingin memberitahu tahu, kalau pasien menderita depresi dan jika tidak segera di tangani akan menyebabkan kematian. Sebelumnya saya ingin bilang pasien juga terdapat masalah pada ginjalnya." Penjelasan dokter langsung membuat bibi menutup mulutnya tidak percaya. Putri majikannya mempunyai penyakit yang parah.

"Apa bisa di sembuhkan?" tanya bibi sendu.

"Saya rasa bisa jika nona Aurel di rawat intensif dan menjalani terapi mental agar penyakitnya sembuh," jawab dokter.

Bibi menunduk dengan sebulir air mata yang jatuh. Begitu menyedihkan gadis cantik itu. Hidupnya sudah menderita ditambah mengalami penyakit mental dan penyakit fisik.

🍁

Vote, share and comments
Thanks

FRIEND ZONE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang