19:: Teh manis

102 9 4
                                    

I love you like you never felt the pain, i'll wait
I promise you don't have to be afraid, i'll wait
The love you see right here stays
So lay your head on me

(Alex & Sierra- Litte do you know)

🔸🔸🔶

Happy reading!

"Motor gue di tinggal-tinggal mulu di sekolah dari kemarin, kasian." seru gadis itu di boncengan cowok yang sedari tadi tercetak senyuman yang tak luntur dari wajah tampannya.

"Seharusnya lo lebih kasian sama Najwa yang harus repot-repot ngambil motor lo di sekolah."

"Biarin aja, toh dia gue upahin kok. Jadi anak itu gak masalah."

"Ya ya ya, up to you."

Matahari mulai menampakkan sinar jingganya kala itu, burung-burung gereja yang sedang berterbangan di bentangan garis-garis jingga di cakrawala siap kembali ke sarangnya masing-masing. Tukang buah yang berjualan di trotoar jalan itu pun juga merapihkan barang dagangannya, mulutnya membentuk bulan sabit tanda ia senang akan kembali ke rumah dengan hasil jualan yang lumayan. Lampu lalu lintas menunjukkan warna merah, Aslan menekan rem pada motornya, dua orang anak turun ke jalanan dengan gitarnya, siap mencari recehan yang akan di berikan oleh para pengendara.

"Yaahh lampu merah, pasti lama. Gak tau apa ada orang kelaperan disini?" Saffa mengeluh di belakang, bibirnya mencebik sambil melihat kesal kearah lampu merah yang tak tahu apa-apa.

"Abis makan tiga mangkuk es krim aja masih laper? Dasar perut karung." cibir Aslan di depan, ia mengeluarkan uang selembaran dari kantung jaketnya dan memberikan pada seorang bocah yang baru saja menyanyikan sebuah lagu dan menodongkan topi padanya. Tanda meminta imbalan.

"Kenapa di kasih banyak-banyak sih, Lan." protes Saffa di belakang, melihat Aslan yang barusan memberikan uang pada bocah pengamen itu.

"Emang kenapa? Kasihan kan,"

"Bukan gitu, gue pernah ngasih uang ke anak kecil yang suka markir di supermarket deket rumah gue. Pas gue baru aja mau jalan dia teriak ke temennya satu lagi gini, 'Eh udah cukup nih, ayok beli rokok!'" Saffa menirukan suara anak yang sedang dibicarakannya itu, "Langsung gue pelototin tuh dia, besoknya kalo gue ke supermarket itu, dia gak pernah gue kasih uang. Lagian kecil-kecil udah ngerokok. Kasihan paru-parunya, Lan." sambungnya panjang lebar, angka di atas mereka masih menunjukan angka 60-an. Masih banyak waktu untuk mereka menunggu lampu hijau menyala.

"Bisa aja itu bukan buat dia, Saff. Buat ayahnya atau ada yang nyuruh. Gak baik berprasangka buruk sama orang. Lagian kenapa gue kasih lebih ke anak yang tadi karena gue salut sama mereka. Kecil-kecil udah mampu buat cari uang."

"Tapi kan mereka ada orang tua, Lan. Lagian kenapa orang tuanya gak ngelarang mereka sih? Tugas mereka kan cuma belajar dan bermain aja."

"Kalo taunya orang tua mereka gak ada gimana? Atau orang tuanya sakit? Kita gak boleh menghakimi hanya dari apa yang kita lihat, Saffa. Bisa jadi gak seperti apa yang kita pikirkan. Jangan salahin orang tua mereka, mereka juga gak mau hidup kaya gitu. Tapi keadaan memaksa mereka. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan rakyat kecil kaya gini." Aslan melirik sekilas keatas, lampu hijau menyala, suara klakson mobil dan motor mulai bersahutan, tak sabar melaju kembali.

"Apa yang kita lihat buruk boleh jadi sebenernya baik. Sebaliknya, apa yang kita lihat baik, sebenernya lebih buruk. Manusia sejatinya memang begitu, senang melihat yang baik-baik. Baiknya sesuatu atau seseorang, tergantung penilaian atau pemikiran seseorang pula. Contoh, ada yang menganggap lo buruk, tapi lo gak ngerasain itu. Hidup manusia sekarang terikat dengan penilaian orang lain. Sebenernya itu gak baik." lanjut Aslan, kini ia sedikit meminggirkan motornya, dan memelankan lajunya agar suaranya dapat terdengar oleh gadis yang duduk di belakang.

AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang