7

67.9K 3.9K 54
                                    


"Pantesan di telpon gak diangkat ternyata ponselnya disita toh" suara itu mengagetkan Salma, ketika ia baru saja mendorong daun pintu untuk masuk ke dalam rumah.

Salma melirik uminya, dari mana uminya tau. Wah wah,,,  sudah menyita sangat lama malahan sekarang di bilangin ke uminya. Menyesal sudah ia membiarkan p!onselnya di bawa Azam begitu lama tapi tetap di laporkan ke uminya.

"Makanya main hp terus kalo di jelasin, untung yang sita Azam, kalo bukan wisuda baru di balikin" omelan masuk tanpa permisi kedalam gendang telinga Salma, memenuhi relung telinganya.

Salma cemberut. Bukan permintaanya juga ponsel disita. Dalam hatinya ia masih menyalahkan Azam atas insiden ponsel disita dan beberapa tugas harus ia buat ulang, juga terlambat pulang karena tak ada alat untuk menghubungi keluarganya

"Nih, untung umi minta Azam anterin hp kamu" imbuh uminya. Berbaik hati namun masih dengan mengomeli kesalahan Salma.

"Iya mi iyaa" jawab Salma, bernada.

Uminya tersenyum penuh arti dan duduk di samping Salma "kenapa kamu ga nikah sama Azam aja" hasutan terdengar jelas dari ucapan umi Adawiyah barusan.

Salma diam, ia tak mau menanggapi pertanyaan uminya yang lebih ke pernyataan. Ia diam alih-alih pernyataan itu menjadi perintah. Salma tak suka jika sudah berbicara tentang pernikahan, pasti selanjutnya membahas Yudhistira. Lagi dan lagi. Ia sudah bosan membicarakan hal yang sama.

"Eh jangan pergiiii" Salma terduduk kembali dengan tarikan tangan uminya, ia hendak pergi dan menghindari uminya.

"Umiii,,, Salma mau belajar, besok mau ada presentasi" terang Salma, mengambil alasan yang bisa membuat uminya luluh.

"Tunggu sebentar, tunggu pokoknya ya" pinta umi Salma, ia menemani Salma duduk di sofa ruang tamu.

Salma menghela nafas sekeras mungkin agar uminya mendengar, setidaknya agar uminya luluh. Namun cara itu tak berhasil. Gadis cantik itu tetap di minta duduk di ruang tamu hingga suara Salam menjadi akhir penantianya.

Lelaki itu.

Lagi.

Azam duduk di depanya, setelah berbasa basi ria dengan uminya, tanganya meletakkan benda pipih yang sudah lama ia tunggu, andai uminya tidak tau ia yakin hingga sekarang ponselnya tak akan kembali.

"Makasih pak" ucap Salma dengan senyum dipaksakan.

Azam mengangguk kikuk. Segelas air mendarat di atas meja, umi Salma menyuguhi Azam dengan es sirup dan beberapa camilan. Salma menaikkan kedua alisnya, tak biasanya es sirup. Uminya hanya akan membuat es sirup untuk orang yang sudah terbiasa dengan rumahnya, tapi Azam kan dosenya. Bagaiamana uminya bisa sesantai ini?

Mungkin karena Azam anak teman uminya.

"Tumben sirup mi" tanya Salma tak bisa menahan rasa ingin taunya.

Umi Salma menendang kecil kaki Salma, memberi kode agar tidak menyebarkan rahasia itu.

"Kan buat calon mantu, ya kan nak" kata umi Adawiyah, tak sungkan.

"Umi mah jangan gitu, pak Azam pulang aja gak papa makasih ya pak buat hpnya" Salma berdiri, berucap salam sebelum benar-benar meninggalkan tamunya "assalamualaikum".

Ia tau manik mata kedua orang itu tak lepas dari dirinya, pasti nanti ia akan di omeli umi Adawiyah karena merasa apa yang dilakukanya tidak sopan.

Salma melangkah cepat menyisakan uminya dan Azam di ruang tamu, ia membuka pintu kamar dan membiarkan dirinya hilang di balik pintu.

Ia menjatuhkan tubunya kasar di atas kasur, dengan tangan sibuk menggapai laci meja. Figura foto saat lamaran dua keluarga itu, terkahir kali sekitar 2 bulan lalu. Salma menyesal tapi ia juga merindukan suasan itu.

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang