Tiga hari sudah Salma terbaring di ranjang rumah sakit, tentunya dengan Azam yang tak pernah absen merawat Salma. Bahkan ketika umi Adawiyah meminta Azam untuk pulang sebentar, ia menolak. Azam lebih memilih meminta tolong orang lain untuk mengantarkan baju ke rumah sakit.Beruntung Salma cukup dirawat selama tiga hari, meskipun jalannya masih sedikit pincang, tapi bagi Salam itu lebih baik daripada ia harus mencium aroma pekatnya obat rumah sakit dan rasa makanan hambar yang membuat lidahnya seakan mati rasa.
Setelah menerima beberapa saran dari dokter dan selesai menebus obat di apotek, Azam mendorong perlahan kursi roda Salma. Membawa istrinya menyusuri lobi untuk menghampiri mobil penuh kenangan mereka.
Azam memapah Salma, membantu istrinya menaikki mobil. Azam mulai tak sabar membawa Salma pulang ke rumah, rasa rindunya begitu besar untuk kembali satu atap dengan Salma. Sebelum memasuki mobil dan bersiap mengantar Salma, Azam menghampiri mertuanya terlebih dahulu dan Ilham.
"Kami pamit dulu ya umi" ucap Azam lalu mencium tangan orang tua keduanya itu, lantas ia beralih pada Ilham
"Makasih ya Ham" ucapnya, sembari memeluk Ilham singkat kemudian menepuk punggung Ilham beberapa kali.
Setelah memastikan umi Adawiyah dan Ilham sudah keluar dari pintu keluar rumah sakit dengan selamat, Azam mengahmpiri Salma di dalam mobil. Sesaat ia memandangi istrinya, menatapnya lekat penuh kerinduan. Akhirnya, isi rumahnya akan kembali utuh hari ini.
Sebelum beralih pada gagang setir, Azam mengecup pelan kening istrinya lalu memakaikan sabuk pengaman pada Salma. Sebenarnya kecupan tadi adalah isi ulang daya selama tiga hari ini yang tak pernah di isi.
Tidak mungkin juga Azam mencium Salma di rumah sakit, Azam belum seberani itu di depan orang tua dan mertuanya.
Di perjalanan Salma melihat kesana kemari, manatap lalu lalang ramainya kota di pagi menjelang siang hari ini. Ia membuka sedikit jedela yang ada di sampingnya, membiarkan angin masuk dari sela jendela. Sudah lama ia tak menyapa sinar matahari secara langsung juga angin segar yang membuat rasa lemasnya hilang.
"Mas kita makan dulu yuk mas" ajak Salma pada Azam yang sibuk menyetir.
Azam mengangkat kedua alisnya "kamu kan belum boleh makan yang aneh-aneh dulu" tukas Azam.
"Gak papa, cuma pesen bubur ayam" Salma mengangkat kedua jarinya -jari telunjuk dan jari tengah. Menunjukkan kata janji dari kedua jarinya itu.
"Yaudah kemana?" Azam menuruti kemuan Salma kali ini. Ia juga pernah merasakan hambarnya makanan rumah sakit dan ia akui rasanya membuatnya tak ingin kembali ke rumah sakit lagi.
Salma melihat Azam antusias, mimik wajahnya berubah sangat cepat. Yang awalnya merajuk, kini ia kembali sumringah bahkan ia tak henti-hentinya tersenyum karena senang, akhirnya lidahnya bisa bertemu dengan rasa yang sesungguhnya.
"Ke restoran yang pertama kali kita belanja itu lho mas, inget?" Tanya Salma memastikan, berharap suaminya tidak lupa.
"Yang mana sih?" Tanya Azam balik. Berpura-pura tidak ingat.
"Gak tau namanya, yang pertama kali kita jamaah yang ada musholanya itu lho" jelas Salma.
Azam tersenyum "kamu diem-diem inget semua ya" pancingan Azam tadi membuat Salma menjelaskan secara rinci apa yang mereka lalui di hari itu. Di saat Azam masih meminta Salma untuk menerimanya juga saat otak dan perasaan Salma masih seutuhnya untuk Yudhistira.
"Apa sih mas, orang kamu dulu maksa banget buat deket-deket aku" sahut Salma, pura-pura malas, padahal menahan rasa malu bercampur salah tingkah.
"Kalo gak gitu, emang bakal bertahan sampe sekarang?" tanya Azam pada Salma.
Salma menopang dagunya dengan satu tangan yang bertumpu pada jendela mobil, tampak berfikir sejenak "gak tau" jawab Salma singkat, menutupi gengsinya. Padahal dalam hatinya ia membenarkan pertanyaan Azam barusan.
"Kalo jodoh juga tetep bakal bertahan" imbuh Salma kemudian.
"Ya udah, kita jadi makan disana?" tanya Azam, menunujuk pada salah satu mall yang ada di deretan mall lainya.
Salma mengangguk, kemudian memejamkan mata sebentar, memikirkan bagaimana cara ia memberitahu Azam tentang apa yang di katakan dokter kepadanya.
Ia tak bisa terlalu lama memendam ini sendiri, ia tak mau menyimpan rahasia dari Azam lagi. Dan Azam harus tau semua yang dikatakan dokter padanya.
***
Azam mengangkat tanganya, memberikan pesanan yang sudah di tulis Azam di kertas menu pada pelayan yang sedari tadi merekomendasikan makanan yang menjadi andalan restoran mereka.
Salma kira Azam akan main-main tentang pesananya yang hanya bubur ayam. Nyatanya Azam benar-benar memberikan Salma bubur Ayam. Salma menyesal berkata begitu tadi.
"Sekarang keadaan Yudhis gimana?" Tanya Azam, tiba-tiba. Salma yang mendapat pertanyaan seperti itu, kini sibuk menelisik guratan wajah Azam, kenapa ia bisa mempertanyakan pertanyaan yang begitu tiba-tiba itu.
Menelisik wajah Azam, apakah ada kecemburuan disana.
"Kamu lagi gak salah kan mas?" tanya Salma memastikan.
Azam mengangguk "denger-denger dia berobat sampe keluar negeri ya?".
Salma mendadak lesu "iya mas, namanya juga usaha kan".
Azam mengangguk beberapa kali, usaha untuk cobaan memang harus di lakukan dengan cara apapun, bagaimanapun itu jika sudah do'a dan usaha jalan terakhirnya adalah tawakal.
"Aku mau bicara mas" ucap Salma memasang wajah yang seserius mungkin. Ia menyerahkan sebuah amplop dengan label rumah sakit.
"Ini apa?" Tanya Azam pada salma yang memasang wajah serius, menanyakan isi amplop itu dengan ekspresi wajahnya.
Salma masih setia mendorong amplop itu dengan wajah sendu.
"Buka aja" Salma mndorong amplop untuk lebih mendekat pada Azam agar Azam lekas membukanya.
Sebelum Azam membuka amplop pelayan datang memberikan makanan lengkap dengan minuman, membuat Azam yang ingin segera membuka amplop merasa khawatir dan kini bertambah terselip rasa ragu.
"Makasih mbak" ucap Salma senang. Meski hanya bubur ayam setidaknya indra pengecapnya tak sepahit sebelumnya.
"Buka mas" ucap Salma setelah pelayan pergi dari hadapanya. Menggesa-gese Azam agar membukanya.
Azam memegangi amplop itu, perlahan-lahan mengintip isi amplop, kemudian membulatkan mata mendapati isinya yang mulai sedikit terbaca.
Itu surat keterangan hamil. Salma hamil dan menginjak pada dua minggu. Begitu isi surat dokter yang sudah Azam baca seluruhnya.
Azam menatap Salma tak percaya "ini beneran?"
"Iya mas, kenapa gak percaya?"
Azam bulshing, mengingat momen yang tak akan ia ceritakan pada siapapun yang akhirnya membawanya pada kabar bahagianya ini.
"Makasih ya sayang" ucap Azam memegangi tangan Salam terus-terusan. Tak mau melepasnya bahkan saat makan sekalipun.
Azam bersyukur memiliki Salma, begitu juga Salma. Meski dulu ia sempat menolak Azam mati-matian, dengan berbagai drama karena masih berharap mendapatkan kepastian dari Yudhistira.
Dan sempat dengan terpaksa menerima Azam dalam hidupnya.
Kini akhirnya ia bisa melihat Azam sebagai pasanganya, pasangan yang sesungguhnya yang bisa membinanya, yang kadang membuatnya khawatir, marah juga merajuk. Yang bisa membimbingnya dan melengkapinya untuk menjadi orang tua anaknya nanti.
"Terimakasih Ya Allah" batin Salma, tak henti-hentinya ia tersenyum dengan melihat wajah Azam yang tak bisa menyembunyikan kebahagianya.
THE END

KAMU SEDANG MEMBACA
Khitbahmu Calon Imamku
ChickLit(COMPLETED) Salma Gadis keturunan Jawa yang di tinggal oleh tunanganya di H-3 bulan menikah menjadi perbincangan banyak orang. Bahkan hingga H- satu minggu tak ada tanda-tanda Yudhistira calon suaminya datang, setidaknya untuk memutus khitbahnya. H...