21

61K 3.3K 9
                                    


MATAHARI mulai memasukkan sinarnya melalui celah jendela yang tersibak sedikit, lelaki itu mengeratkan selimut yang entah dari mana. Ia bertanya pada dirinya sendiri, sejak kapan ia memakai selimut?

Azam melihat selimutnya sejenak, lalu membiarkanya dan membalikkan badan. Azam begitu terkejut melihat Salma tanpa mengenakkan hijab sedang tertidur di sampingnya. Kelopak mata Salma tampak begitu tentram. Sesekali terdengar deru nafas Salma yang beradu dengan lelapnya.

Azam berkali-kali memperhatikan wanita itu. Wanitanya. Jika bukan karena acara keluarga ini, mungkin Salma tak akan tidur disebelahnya sekarang.

"Pagi Sal" ucap Azam pelan, lalu ia membuka selimutnya dan memakaikanya pada Salma.

Ia sadar, suhu di sini sangat dingin, sangat berbeda dengan suhu di tempat tinggalnya yang tak menentu. Bahkan lebih banyak panasnya.

Guratan senyum menghiasi wajah Salma beberapa saat setelah memastikan lelaki itu pergi dari hadapanya. Ia mengeratkan selimutnya.

Perasaan apa ini?

Tanya Salma pada dirinya sendiri, lalu membawa senyum dan perasaan itu kedalam tidurnya. Lagi.


***

"Sal bangun yuk" ajak Azam.

Azam menyentuh pucuk kepala Salma pelan, berusaha membangunkan wanitanya yang sedari pagi belum bangun. Wajahnya memperlihatkan bahwa ia sangat lelah.

"Jam berapa mas?" Salma bergumam pelan.

"Jam 8, bangun mandi terus kita pergi, umi udah siap-siap" pinta Azam halus.

Salma lekas bangun dan memperhatikan sekitar, ia kira ia di kamarnya. Ternyata ia masih di villa.

"Emang mau kemana mas?" tanya Salma setengah sadar. Sesekali ia mengusap wajahnya karena malu dengan wajah kusutnya yang bisa di lihat Azam.

"Ke Borobudur mungkin, aku tunggu di bawah ya"

Wanita itu mengangguk, lalu membersihkan dirinya dan mengambil pakaian yang masih tersimpan rapi didalam koper. Ia sengaja mengambil pakaian warna cream, menyamakan dengan pakaian Azam.

Entah kenapa beberapa hari ini ia merasa hatinya bisa terbuka dengan perlakuan Azam, hati memang tidak ada yang tau. Dulu ia menolak Azam secara kasar, sekarang ia bisa menerima keberadaan Azam meski belum sepenuhnya tapi Salma mengaku ia bisa luluh dengan sikap Azam yang selalu memperhatikanya.

"Salma" panggil Azam sekali lagi, memastikan istrinya sudah selesai bersiap-siap.

"Iya mas"

Jawab Salma, lalu ia mengambil tas yang tergantung di belakang pintu. Kemudian ia kembali lagi mematut dirinya di cermin ukuran big, setelah merasa sempurna Salma membuka pintu kamar, ia mendapati Azam tengah tersenyum manis padanya, bahkan senyum itu saja bisa membuat Salma luluh. Dasar Salma, lemah.

"Berangkat sekarang?" tanya Salma.

"Iya, umi udah nunggu di bawah" Azam berdehem kecil "kenapa kamu keliatan beda hari ini?" ujar Azam malu-malu.

"Beda?" Salma melipat tanganya didepan dada dan berhenti, ia mendongakkan kepala didepan Azam. Menatap manik matanya sebentar lalu menunduk, ia belum terbiasa dengan itu.

"Iya, lebih cantik" sahutnya serius. Hidangan pembuka di pagi hari, yaitu gombalan Azam.

Salma mencebikkan bibir "bakat terpendam kamu mah godain cewe ya mas"

"Ya Allah masih pagi a' " Mahesa keluar dari pintu samping dengan terbatuk-batuk palsu, hanya untuk menggoda pengantin yang terbilang masih baru itu.

Salma yang mendapati Mahesa sudah menggodanya adalah bukan pertanda baik, ia lekas meninggalkan Azam dengan Mahesa lalu menghampiri umi Hindun. Siapa lagi yang bisa ia hampiri jika bukan umi Hindun, disini tidak ada yang hampir seumuran denganya. Jadi mengekor umi Hindun mungkin lebih baik.

***

Candi borobudur adalah salah satu aset Negara yang paling banyak diminati oleh wisatawan mancanegara, maka sekarang keluarga Salma dan Azam juga disitu. Ikut mencicipi indahnya Borobudur.

Meski berdomisili Indonesia, Salma sama sekali belum pernah menginjakkan kakinya disini, apalagi Azam yang mangadu di negara tetangga menjadikan Azam lebih bersyukur bisa melihat gambarnya saja.

"Jadi mau jalan kesana? Setinggi itu?" tanya Salma.

"Iya, kamu capek?" Azam balik bertanya.

Salma menggeleng, entah mengapa sejak pagi tadi hatinya tidak tenang. Mungkin karena efek tidur pagi dan bangun lebih siang dari biasanya. Namun jika demikian, rasa panik tiba-tiba ini biasanya akan berhenti, nyatanya hingga siang paniknya semakin menjadi.

Salma memegangi dadanya karena nafasnya yang tertahan karena rasa panik. Ia memegangi tangan Azam sebentar, kemudian mencoba menetralkan nafasnya. Beruntung keluarganya yang lain sudah berjalan lebih dulu jadi tak ada yang melihat kejadian ini.

"Kamu kenapa Sal? Kita istirahat dulu ya" Azam mengambil tempat duduk di pinggiran taman jalan menuju ke candinya.

Kepala Salma tertelungkup pada lututnya, ia melihat kesampingnya dan sekarang ia sendirian tanpa Azam.

"Sal, ini" Azam dengan wajah panik memberikan sebotol air mineral "aku udah bilang ke umi, nanti kita nyusul" imbuhnya. Lalu ia menepuk pundak Salma pelan menenangkan.

Dering ponsel membangunkan Salma dari duduknya, ia melihat layar ponsel lalu beralih pada Azam. Azam mengangguk, meminta Salma untuk mengangkatnya.

"Waalaikumsalam, Maryam" sebut Salma pada adiknya yang kini tampak panik disebrang sana, membuat Salma semakin panik.

"Kenapa nangis? dimarahin umi?" tanya Salma. Azam terus memperhatikan arah percakapan mereka, Salma yang sedang tak enak badan saja bisa tetap selembut ini pada adiknya, ia tak salah pilih.

"Apa Maryam, kamu gak bercanda kan dek?"

Bulir air mata Salma terus menetes "Jangan bercanda dek, itu bukan candaan" Salma semakin sesenggukkan, lalu ia melihat ke Azam lagi. Kali ini ia sudah tak mampu bicara.

Azam mengambil alih ponselnya, hingga suara tangis Maryam bisa didengar oleh Azam. Ia meminta Maryam untuk lebih tenang, sekarang Azam tau kemana arah pembicaraan mereka.

"Ya udah Maryam tenang, Mas sama mbak kesana sekarang ya, Maryam yang tenang"

"Assalamualaikum" salam Azam sebelum benar-benar menutup panggilan teleponya.

Azam memeluk Salma sebentar "kita kemobil sekarang ya, nanti biar umi nyusul"

Salma berusaha berdiri tapi tak mampu, hatinya hancur otaknya tak bisa di ajak bekerjasama sekarang.  Apalagi syarafnya, bahkan kakinya untuk berjalan rasanya sulit.

"Pelan-pelan aku tuntun kamu ya" dengan sabar Azam membimbing Salma hingga ke mobil. Sesekali Azam menatap Salma nanar, ternyata wanitanya yang keras kepala memiliki sisi lemah yang baru pertama kali Azam lihat.

Didalam mobil Salma masih terus menangis dan memperhatikan jalanan dengan tatapan kosong. Azam sampai tidak tega melihat Salma yang tampak sangat sedih.

"Sabar ya Sal" ucap Azam, mengelus pucuk kepala Salma pelan, berusaha menenangkan Salma semampunya.

Azam mengambil beberapa lembar tisu kemudian di berikan pada Salma, ketika lampu lalu lintas masih merah.

Lalu ia mengusap tangan Salma lembut, berusaha memberi kekuatan di tengah kesedihan dan musibah yang ia terima.

"Aku udah berusaha cepet kok" imbuh Azam meyakinkan.

Salma hanya diam dan terus menatap jalanan dengan pandangan kosong. Salma tau Allah memberi ujian kepada hambanya karena ia mampu, dalam hati ia terus berucap istighfar dan  mencoba menerima apa yang sudah di berikan Allah padanya hari ini.

Ia hanya berharap semoga Maryam, umi dan ia bisa kuat menerima semua ini. Baik sekarang maupun kedepanya.

***
TBC

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang