"Benarkah?" tanya Salma.
"Sungguh?"
"Tapi,,,, bagaimana?"
Salma berjalan kesana kemari mencari kebenaran dari Azam. Sebenarnya ia sedikit senang karena Azam yang sudah mau berbicara denganya makanya ia bisa sesemangat ini.
Tapi antara semangat dan tidak, begitu mendengar Azam mengajaknya pada pertemuan keluarga, rasa semangatnya mendadak menurun. Meski dengan embel-embel umi Hindun, tetap saja ia bimbang.
Bukan tak mau bertemu keluarga Azam, tapi jika disana ia harus satu kamar dengan Azam ia yakin itu tidak semenarik yang dibayangkan.
"Iya, nanti malam kita berangkat" tegas Azam "siap tidak siap" tambahnya. Menambah kekhawatiran Salma.
"Tapi nanti,,,"
Salma tidak tau harus memberi alasan apalagi. Sudahlah, mengingat Azam kemarin mendiaminya sudah cukup. Ia takut. Takut terulang lagi.
Nyatanya bukan Azam yang tak bisa bertahan mendiami Salma, tapi Salma yang tak kuat di diam kan oleh Azam.
"Hari ini kita pergi ke swalayan buat beli beberapa hadiah, keluarga saya punya kebiasaan bawa makanan jadi mesti buat makanan banyak"
"Makanan ya?" monolog Salma. Lantas matanya melihat ke atap rumah, berfikir apa yang bisa ia masak. Jika di tanya bisa masak tentu bisa tapi jika sejenis kue, desert dan lainya. Seperti tidak. Itu terlalu rumit baginya.
Azam tersenyum kecil melihat kepolosan Salma begitu mendengar kata memasak. Jelas sekali istrinya itu minim bakat memasak.
"Iya, kamu ganti baju dulu terus kita berangkat" Azam berdiri dan mengambil kunci mobil untuk dipanasi "masalah kuliah besok, saya bakal izinin kamu"
Ganti Salma yang tersenyum "Mas" panggil Salma sebelum Azam benar-benar keluar rumah.
"Iya?"
"Maaf ya buat kemarin, besok-besok aku janji bakal izin dan makasih udah maafin aku" Salma menundukkan kepalanya. Sungkan. Ia tak enak selalu mengecewakan Azam.
"Iya, udah kewajiban aku buat ngajarin kamu sebagai imam dan kamu sebagai makmum dalam rumah tangga"
Kepala Salma terangkat dan tersenyum, ucapan Azam tidak ada yang aneh tapi rasanya ada beribu kupu-kupu yang menggelitik di perutnya bahkan rasanya pipinya mulai memanas. Ia yakin, Azam bisa melihat rona merah di pipinya.
Sebelum Azam makin lama melihat pipi merahnya itu, Salma langsung memutar tubuhnya dan memasuki kamar. Mengganti pakaian kemudian mencharge ponsel, Salma tipe orang yang malas membawa ponsel jika sudah dengan orang yang penting.
Setelah mengambil sling bag di almarinya, Salma segera menyusul Azam yang sudah mengeluarkan mobil dari garasi.
"Langsung ke swalayan mas?" tanya Salma saat mobil mulai bergerak.
"Iya, mau kemana dulu, kamu perlu apa bilang aja"
Mengingat pernikahan mereka yang hampir berjalan 4 bulan Salma berfikir tak sekalipun ia memberi kado untuk mertuanya.
"Kita ke mall dulu ya, mau beli kado buat Umi"
"Umi adawiyah ulang tahun?" tanya Azam pada Salma yang hampir kelepasan tertawa begitu mendengar Azam memanggil uminya dengan sebutan umi.
"Enggak" jawab Salma masih dengan tawa "buat umi Hindun"
"Kenapa ketawa?"
Azam mulai menaruh curiga padanya.
"Aneh aja mas denger kamu manggil umi aku pake kata umi"
Melihat celotehan dan tawa Salma, Azam merasa sudah 30% misinya berhasil.
"Mau gimana lagi, umi kamu juga umi saya kan" jeda sejenak "buat apa bawain umi kado?"
"Pengen aja" jawab Salma. Padahal ia merasa umi Hindun selama ini sangat baik padanya, sering sekali umi Azam itu menjenguknya dan membawakan buah-buahan atau makanan rumahan khas Jawa.
"Nanti kita mampir ya" ucap Azam sembari mengelus kecil kepala Salma.
Blushing.
Pipi Salma memerah. Entah sejak kapan radiasi tangan dan ucapan Azam berpengaruh pada tubuh Salma. Tapi Salma cukup menyukai itu, hanya ritme jantungnya yang harus di jaga agar tak mengeluarkan suara melebihi batas.
***
Setelah memarkir mobil, Azam dan Salma memasuki mall yang sekalian menjual bahan membuat kue. Mereka menyusuri lobi dan mencari butik yang menjual pakaian sesuai selera Salma.
Ia sendiri tidak tau, pakaian yang sedang naik daun itu seperti apa. Tapi dengan melihat satu kelebatan, ia yakin pada sebuah gamis dengan payet di bagian perut hingga dada. Warna abu muda dan gradasi abu tua. Sedikit warna putih di bagian lengan rekahnya, menjadikan gamis itu lebih mirip gaun.
Salma memegang gamis itu beberapa kali lalu melihat harganya. Mata Salma membulat, mengingat tabunganya tak sebanyak itu.
"Kenapa?" tawa Azam hampir pecah. Salma yang membulatkan mata, lalu menunjukkan kertas yang menempel pada baju. Kertas itu menunjukkan harga yang cukup tinggi memang.
"Kamu mau?" tawar Azam.
Salma menetralkan dirinya sebentar. Kemudian berdehem berusaha terlihat normal. Ia menggelengkan kepalanya, menegaskan bahwa masih ada gamis lain yang lebih baik.
"Enggak usah, kita beli yang lebih murah pasti banyak" tangan Salma menarik lengan Azam yang ternyata begitu kokoh.
"Gak jadi ya mbak" ucap Salma pada pelayan butik. Lalu ia menarik Azam ke butik lain yang lebih sesuai dengan kantongnya.
Mereka berhenti pada butik lain. Kali ini pilihanya pada gamis hijau tosca dengan bahan jatuh. Tidak semenarik tadi, tapi ia yakin umi Hindun pasti suka.
"Ini ya mas" Salma memegang gamis itu dan menunjukkanya pada Azam.
Azam melihat gamis itu sejenak kemudian mengangguk, mengiyakan pilihan istrinya.
"Iya, umi suka model simple gitu kok dari pada tadi"
"Masa mas? kebetulan dong"
Salma lekas memanggil pelayan dan membayarnya di meja kasir, senyumnya hampir tak luruh. Azam ikut senang melihat usahanya menghibur Salma tentang gamis tadi tak sia-sia.
Setelah itu mereka berjalan ke bahan kue. Ini kedua kalinya mereka membeli perlengakapan dapur semenjak awal mereka menikah. Jika diingat lagi, ternyata mereka tak pernah memiliki waktu khusus untuk mereka sendiri.
"Sini biar saya bawain"
Azam mengambil alih paper bag yang di bawa Salma.
Lalu Salma menjijit sedikit "makasih" ucapnya pada Azam.
Senyum Azam mengembang. Lantas ia mengambil ponsel di saku celananya dan membuka aplikasi notes, ia sudah mencatat semua bahan yang akan mereka butuhkan nantinya.
Salma membacakan bahan-bahnya sedangkan Azam mendorong troli dan mengambil bahan yang sulit di jangkau Salma. Meski Salma terbilang memiliki tubuh yang tinggi tapi tetap saja Azam lebih tinggi darinya.
"Adanya ini gak papa?" ucap Salma dengan mengangkat seres warna cokelat.
Suaminya mengangguk, lalu ia memasukkan seres itu kedalam troli. Entah bagaimana Azam bisa mengangguk, padahal lelaki itu juga tak tau nanti bisa jadi atau tidak jika dengan bahan yang berbeda.
Yang pasti selama ada alternatif yang masih bisa digunakan ia yakin saja. Bismillah.
"Makan dulu?" tawar Azam pada Salma yang terlihat berpeluh di ujung dahinya.
"Boleh, sekalian nyesuain resep kue sama bahanya nanti pas makan"
"Okee" jawab Azam.
Dua lembar ratusan ribu di serahkan pada kasir kemudian mereka mencari tempat makan yang menyediakan mushola sekalian.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Khitbahmu Calon Imamku
Chick-Lit(COMPLETED) Salma Gadis keturunan Jawa yang di tinggal oleh tunanganya di H-3 bulan menikah menjadi perbincangan banyak orang. Bahkan hingga H- satu minggu tak ada tanda-tanda Yudhistira calon suaminya datang, setidaknya untuk memutus khitbahnya. H...