38

64.6K 2.9K 5
                                    

SEPERTI biasa, jam tiga pagi, rutinitas sepasang itu bangun dari tidurnya untuk melaksanakan sholat malam. Salma mencoba membuka matanya yang terasa berat, ia menutup matanya sesaat untuk menyesuaikan matanya dengan terangnya cahaya lampu.

Saat hendak berdiri ia tersentak mendapati Azam duduk di kursi dengan menutupi kedua matanya menggunakkan tanganya. Wajah lelahnya begitu kentara. Membuat Salma merasa enggan membangunkanya.

"Mas" panggil Salma pelan, ia meletakkan handuk yang ada di kepalanya, kedalam baskom.

"Mas, sholat yuk" ajak Salma. Membangunkan Azam, perlahan.

Azam bergerak pelan, ia melihat ke arah jam. Kemudian berdiri, menyingkirkan kursi, memberi ruang untuk Salma. Ia membantu Salma berjalan ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu.

Suasana hening karena semalam ada sedikit suasana dingin yang membuat mereka saling terdiam, hingga selesai melaksanakan ibadah sholat subuh, Salma memilih kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan mulai berfikir sendiri tentang Azam yang tertidur dikursi. Tentu saja ia tak tidur, ia hanya menunggu adzan subuh tiba.

Lalu ia duduk lagi, ragu. Memikirkan harus memasak untuk Azam atau tidak. Kembali merebahkan tubuhnya dan duduk lagi, begitu terus hingga tiga kali.

Suara adzan membuatnya benar-benar terduduk kali ini.

"Aku berangkat ke masjid ya,, " pamit Azam, memberikan tanganya pada Salma. Salma mencium punggung tangan Azam setelah menjabatnya.

Diam-diam Azam merasakab suhu tubuh Salma yang mulai menurun "Assalamualaikum" ucap Azam, setelah memastikan Salma sudah benar-benar lebih baik.

"Waalaikumsalam" jawab Salma.

Lalu ia menunaikkan ibadah sholat subuhnya.

Setelah selesai sholat, akhirnya Salma memutuskan untuk memasak untuk Azam.

InsyaAllah, kakinya siap untuk diajak kerjasama.

Salma menuju ke dapur memotong bahan makanan dan mulai menghidupkan kompor, hari memang masih pagi sekali, terbukti matahari baru menampakkan setengah tubuh dan sinarnya. Tapi normal bagi perempuan yang bersuami untuk bergerak di jam segini.

Salma memotong sayuran dengan duduk, pagi ini berniat membuat sayur tumis, kesukaan Azam. Azam yang selesai berjamaah dari masjid, membuka pintu dengan mengucapkan salam.

"Assalamualaikum" salam Azam.

"Waalaikumsalam" jawab Salma dengan menolehkan kepala dan menjeda sejenak gerakan memotongnya. Ia lalu kembali memotong sayur setelah Azam mendekat ke arahnya.

"Loh, kok masak?" Azam terkejut mendapati suara Salma dari arah dapur.

"Iya mas" singkat Salma, ia meletakkan pisaunya, mencium tangan Azam sebentar lalu melanjutkan dengan mengambil air untuk direbus.

"Eh gak usah" Azam memegangi kedua pundak Salma, memintanya duduk dan mengambil alih sayur yang di pegang Salma. Memasukanya ke dalam panci.

Ia menunggu sayur matang dengan duduk di hadapan Salma, memegang tangan istrinya dan memijitnya pelan.

"Udah turun panasnya?" tanya Azam akhirnya. Azam menyentuh dahi Salma memastikan untuk kedua kalinya bahwa Salma sudah tidak panas.

"Emang panas mas?" tanya Salma pada Azam. Ia memegangi kepalanya sesaat, memastikan keadaanya. Dan tidak panas.

"Eh tuh mas" Salma menunjuk panci yang mulai berbusa dengan air yang naik ke atas karena api yang terlalu besar. Salma memandangi punggung suaminya, bersyukur juga tidak.

"Gak jadi ditumis?" tanya Azam pada Salma.

"Astaghfirullah, iya. Udah terlanjur gitu bikin sup aja sekalian"

Mereka tertawa bersama menertawakan kekonyolan mereka karena lupa akan di kemanakan sayur yang di rebus tadi. Kemudian Azam memasukkan beberapa bumbu yang sudah di potong Salma tadi.

Kemudian ia duduk lagi menunggu makanan matang, ia melihat ke arah Salma sebentar dan kembali menertawakan kecerbohan masing-masing.

***

Sejak jam setengah 7 tadi rumah kembali sepi, hanya suara televisi dan pak Agus di luar rumah sibuk membenahi tatanan rumput pagar dengan berbagai bentuk.

Salma menonton TV dengan pandangan berpindah-pindah dari TV ke ponsel begitu seterusnya. Kemudian ia memegang ponselnya, menghubungi Faiyah, dengan maksut meminta penjelasan tentang rencana acara nanti.

Ia merasa bersalah tidak bisa hadir di acara ini tapi mau bagaimana lagi, keadaan tidak memungkinkan ia untuk datang di acara Syifa. Meskipun ia pemilik cafe, tempat acara itu berlangsung.

Salma kembali menonton TV, lalu membuka surat kabar yang sepertinya tadi pagi sempat di baca oleh Azam dan kali ini ia membacanya.

Sendirian di rumah membuatnya ingin tidur. Namun, ia menunda keinginan itu. Tidur di pagi hari bukanlah hal yang baik. Salma memegang dahinya,  merasakan suhu tubuhnya kembali meninggi.

Dengan kaki tertatih ia masuk ke dalam kamar tamu, kamarnya dulu karena itu kamar terdekatnya. Tak ada yang bisa di gunakan untuk bertumpu saat ini selain barang-barang yang ada di sekitarnya.

Salma meminum obat apotek biasa, lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Keringat dingin terasa memenuhi tubunya. Jika dulu ini terjadi, ia akan biasa saja.

Namun, sejak kepergian abinya, setiap sakit kecil yang ada pada keluarganya membuatnya sedikit trauma. Takut di tinggalkan untuk kedua kalinya.

Atau bayangan-bayangan buruk lainya selalu membuatnya takut. Salma lekas mengambil ponsel yang sedari tadi ia bawa, menghubungi nomor Azam. Beberapa kali.

Namun, seperti biasa, Azam terlalu sibuk dengan pekerjaanya hingga sulit untuk mengangkat panggilan teleponya.

Kali ini Salma menghubungi nomor berbeda, itu nomor uminya. Setelah lama tidak pernah menghubungi uminya dengan ponselnya sendiri. Akhirnya hari ini ia menelpon uminya.

Biasanya jika ingin bertemu uminya, Salma akan langsung datang ke rumah uminya. Baginya orang tua adalah segalanya. Jadi tak ada alasan untuk hanya bertukar suara dari telepon jika untuk bertemu membutuhkan waktu singkat.

"Assalamualaikum, umi" salam Salma. Lama ia tak berbincang jarak jauh dengan uminya, membuat jarak dengan uminya amat terasa.

"Waalaikumsalam, Salma kenapa?"

Mendengar nada bicara Salma yang berbeda, membuat umi Salma merasakan ada yang tak benar dari putrinya.

"Gak papa umi" jawab Salma lirih. Tiba-tiba ia menangis, tanpa tau apa yang sedang di tangisinya.

"Beneran gak papa?" tanya umi Salma, sekali lagi. Memastikan.

"Iya umi, cuma pengen denger suara umi aja kok"

Desahan nafas berat terdengar dari ujung telpon, sejak pernikahan Salma dan Azam, umi Adawiyah memang tak pernah berkunjung kerumah keduanya. Alasanya, memberi mereka tempat untuk menyesuaikan diri. Karena dulu Salma tak pernah ingin dipersunting Azam.

"Umi kesana ya" bujuk umi Salma, sekaligus meminta izin. Tak biasanya Salma seperti ini.

"Gak usah mi"

"Pokoknya umi kesana sekarang, Assalamualaikum" umi Adawiyah menutup panggilan telepon cepat dengan salam.

Tanpa menunggu jawaban salam Salma, sambungan telpon dari sebrang sudah mati lebih dulu. Salma melihat ponselnya sejenak, kemudian memilih tidur karena kepalanya terasa pusing. Namun ternyata niatnya tidur pagi yang di inginkanya tadi,  diijabah Allah dengan cepat kali ini.

Salma berbaring sendirian dikamar ini.

Dengan ponsel terjatuh dilantai.

***
TBC

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang