27

56.5K 3K 16
                                    


"Makasih Faiyah"

Salma berucap dengan sesenggukkan. Entah kenapa setelah tau keadaan Yudhis ia menjadi sangat prihatin dengan keadaan Yudhis. Ia menangis dan berhenti lalu menangis lagi dan baru bisa berhenti sekarang. Itupun terpaksa karena sudah akan sampai rumah.

"Assalamualaikum" salam Salma pada rumahnya.

"Waalaikumsalam" jawaban yang sangat ia harapkan dari kemarin. Namun saat ini ia tidak ingin mendengar suara itu.

"Darimana?" tanya Azam, lembut.

Salma berjalan cepat memasuki kamar meninggalkan Azam yang tergantung dengan pertanyaanya.

"Salma aku nanya, kamu dari mana?" tanya Azam lagi, ia tau ia melupakan Salma. Tapi ia tak berniat demikian sebenarnya.

"Kamu mas yang darimana" tukas Salma.

Azam menghela nafas menahan emosi "Agnes sakit, aku harus jagain dia"

"Iya, tapi sampe telpon aja gak di angkat?" tanya Salma. Heran dan juga gemas.

"Kenapa kamu nangis?" tanya Azam melihat sisa air mata di khimarnya.

"Jangan alihin pembicaraan mas, sekhawatir itu kamu sama dia sampe kamu gak jawab telpon aku, atau kamu sengaja ya" Salma meledak, namun masih dengan suara pelan. Ia tak mau membuat uminya tambah fikiran karena keluarga mereka yang juga baru saja berduka cita.

"Hp ku di mobil batunya lowbet, kamu bisa tanya Agnes kalo kamu gak percaya.

"Gak perlu"

"Kamu pergi darimana?" tanya Azam lagi.

Salma enggan menjawab, dengan keadaan seperti ini jika ia jujur Azam bisa memarahinya karena kelancanganya. Ia hanya diam tanpa berniat menjawab.

"Kamu tau, ini yang gak saya suka dari kamu, gak mau jujur" Azam mulai menggunakkan kata saya di ucapanya barusan. Artinya ia benar-benar marah.

"Dari hp kamu saya bisa baca, kamu pergi dengan Mulan kan"

"Salma kalau dulu kamu gak jujur gak papa,  tapi kali ini saya mau kamu jujur"

Azam menarik nafas panjang "saya tau juga dari hp kamu, saya cuma mau kamu yang bilang, jujur, dan dari mulut kamu sendiri"

Salma yang tertunduk sedari tadi, akhirnya melihat ke arah Azam, diwajah itu Salma bisa menangkap betapa seriusnya dan kecewanya Azam sekarang. Ia tampak sungguh-sungguh dengan apa yang di ucapkanya baru saja.

"Kamu harus tau tempat kamu Sal, kamu sudah bersuami dan itu saya, bukan Yudhis"

"Kamu anggap saya suami kan?" tanya Azam meminta kejelasan Salma. Mengetahui sejak awal Salma tak menerima pernikahan mereka.

Sudah sejak lama ia berfikir semua yang di lakukanya sia-sia. Namun semuanya sudah berjalan hingga sekarang, ia tetap meminta kesempatan pada Salma berharap semuanya berubah menjadi lebih baik. Dan Azam harap mereka bisa membina rumah tangga seperti orang tua mereka.

Namun hari ini kecewanya terasa jauh melebihi batasnya.

Ia sangat kecewa dengan ketidak jujuran Salma hari ini. Hingga ia tak mampu berucap lagi.

"Andai aku jujur kamu bisa anter aku mas? kamu bakal ngijinin aku?" tanya Salma.

"Aku telpon, wa juga kamu gak bales, mbok juga udah aku telpon dan kamu tau jawabanya? katanya kamu gak ada, terus aku harus gimana mas?"

Salma juga lelah jika harus berjalan dengan jalan yang tak pernah lurus ini. Otaknya terasa penuh, semua masalah secara mendadak datang bertubi-tubi. Menguji kesabaran Salma. Semuanya tumpang tindih tanpa tau perasaan Salma yang sangat rapuh.

Azam menarik nafas, menahan amarahnya sesaat, lalu ia berdiri dan mengucap salam"aku pulang, Assalamualaikum"

Salma mendongak menatap Azam yang pergi begitu saja.

Tangisnya pecah lagi, rasanya hari ini air matanya akan terkuras setelah sekian lama ia tak pernah menangis.

Azam mendengarnya sauara tangis Salma, a ingin berbalik dan memeluk Salma sekarang juga. Namun ia harus membersihkan emosi dan kecewanya lebih dulu sebelum kembali pada Salma.


***

Esok,,,

Sudah sejak 6 hari lalu Azam pergi dari hadapan Salma. Sejak saat itu pula tak ada layar ponsel menyala atau menuliskan nama Azam juga tak ada suara mobil khas milik Azam yang sampai sekarang masih bisa ia hafal jelas.

Salma memasukkan bukunya ke dalam tas dan powerbank, dengan langkah berat ia turun ke bawah, menyeret tasnya yang terasa sangat berat. Padahal sebenarnya itu tidak seberat kelihatanya.

"Kakak kenapa si?" tanya Maryam, ia mulai tak nyaman melihat Salma bersikap seperti orang tak memiliki semangat.

Salma mendongakkan kepala dari fokusnya terhadap makanan yang ada di piring, sejak tadi ia hanya mengaduk makananya tanpa berniat memakanya sedikitpun, Salma melihat Maryam sejenak. Kemudian menunduk lagi, mengacuhkan.

"Azam kenapa gak pernah kesini nak?"

Kali ini berbeda, ia mengangkat kepalanya cepat.

"Gak papa mi, besok aku bakal kesana kok, kayanya dia sibuk sama kampusnya"

Ia berdehem, menetralkan rasa khawatirnya "kita berangkat ya mi" ucap Salma, ia ingin bergegas mengalihkan topik pembicaraan yang sangat ia hindari beberapa hari ini.

Salma menarik tangan uminya untuk mencium punggung tangan umi Adawiyah lalu di ikuti Maryam yang sendirinya belum selesai makan. Ia masuk ke dalam mobil dan terdiam sesaat.

Dulu abinya yang duduk di kursi kemudi, sekarang ia harus menggantikkan papinya.

"Kak" Maryam menepuk pundak Salma karena tak segera berangkat.

Salma tersentak "apa sih dek" gemas karena kaget sendiri.

"Kakak kenapa sih, gak biasanya lho kakak ngelamun gini"

"Gak papa" jawab Salma sekenanya, tak mau ambil pusing pada Maryam yang mulai menyadari perubahanya.

Salma memutar kunci mobil dan menjalankan mobilnya, sesekali ia mengingat Azam. Merenungkan kesalahanya sendiri, separuh dirinya yang lain menyalahkan Azam karena waktu itu ia tak mengangkat telponya berkali-kali. Separuh dirinya yang lainya menyalahkan dirinya sendiri karena ia yang pergi tanpa menunggu balasan Azam.

Tanganya tiba-tiba menekan klakson cukup lama, padahal jalanan sedang lenggang. Salma geram sendiri karena harus di diamkan Azam selama ini.

"Kak, ngapain sih" tegur Maryam karena malu.

Ia hanya diam dan terus melajukan mobilnya hingga sampai pada parkiran kampus, sengaja ia menurunkan Maryam disana membuat Maryam merengut. Rasanya hari ini ia ingin membuat semua orang marah padanya. Entah mengapa.

"Kakak, udah dibilangin berhenti juga, malah di turunin di parkiran" Maryam terus memprotes kakaknya.

Namun Salma memilih meninggalkan Maryam sendirian di parkiran sendiri, membiarkan adiknya berjalan keluar, harusnya ia bisa mengurus dirinya sendiri begitu fikir Salma.

"Kakak, keterlaluan" pekik Maryam. Ia tak memikirkan orang lain lagi, urat malunya berasa sudah putus menahan rasa kesalnya pada Salma.

Maryam membuka layar ponsel dan mulai menghubungi orang yang harusnya kini bisa membantunya. Orang itu harapan satu-satunya Maryam sekarang.

"Assalamualaikum mas Azam"

***
TBC

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang