39

65.6K 3.1K 5
                                    


Tidak sabaran.

Itu kata yang tepat untuk menggambarkan umi Adawiyah kali ini, ia menarik tasnya kasar. Lalu memberikan kunci mobil kepada Ilham, saudara Salma dan Maryam. Umi Adawiyah mengunci pintu cepat, dan meletakkanya di bawah karpet, berjaga-jaga, Maryam pulang lebih cepat.

"Ayo nak"

Umi Adawiyah masuk ke dalam mobil setelah Ilham membuka kuncinya, jemarinya terus di adu karena tidak sabar sampai di rumah Salma. Tidak biasanya Salma menelpon, membuat umi Adawiyah ingin lekas sampai di sana. Dan memastikan anaknya baik-baik saja.

Beruntung hari ini jalanan sedang memihak umi Adawiyah, jadi Umi Adawiyah bisa sampai di rumah Salma lebih cepat. Matanya melihat ke pagar, tidak di kunci, umi Adawiyah turun lebih dulu dengan hanya mengucap salam kepada pak Agus.

Urusan mobil biar Ilham dan pak Agus yang mengurusi sendiri.

"Assalamualaikum" salam umi Adawiyah. Membuka pintu rumah yang juga tidak dikunci.

Didalam rumah tampak begitu sepi, seperti tak berpenghuni. Harusnya Salma ada disini bukan, jika ia memang baik-baik saja.

Atau setidaknya membalas ucapan salam umi Adawiyah barusan, yang suaranya juga bisa dibilang tidak pelan.

"Assalamualaikum, Salma" panggil umi Adawiyah.

Masih tak ada jawaban. Umi Adawiyah masuk ke dalam kamar pertama, kosong. Kamar kedua, kamar tamu. Umi Adawiyah menemukan Salma terbaring dengan selimut di tubuhya dengan keringat dingin masih memenuhi tubuhnya.

"Salmaa" panggil umi Adawiyah, membelai pipi anaknya penuh kasih.

"Umi" rintih Salma.

Setelah bangun dari pingsanya, tubuhnya terasa dingin sekali. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya ia berusaha memakai selimut untuk tubunya. Bahkan ia tak mampu menjangkau ponselnya yang jatuh.

Mata Salma terasa berat untuk di buka, ia mengerjap berkali-kali, memastikan benar uminya yang sedang di hadapanya.

"Kamu sakit nak? kita ke rumah sakit ya" rasa khawatir terlihat jelas di wajah umi Adawiyah. Ia berlari keluar, meminta Ilham memapah Salma masuk kedalam mobil.

Sebelum menutup pintu mobil Umi Adawiyah berpamitan pada Pak Agus dengan tergesa, takut kehilangan untuk kedua kalinya.

***

Di ruangan yang berwarna putih dengan pekatnya bau obat, semua orang berkumpul disini. Menemani Salma dengan infus yang mengalir di aliran darahnya.

Rasa sakit di tubunya berangsung membaik, membuatnya lebih mudah untuk membuka mata.

Ia melihat kesana kemari, mencari orang yang membawanya kemari, meski ia tak mendapati satupun orang di ruangan ini. Hingga pintu ruang kamar inapnya mulai bergeser dan menimbulkan suara, wanita paruh baya dengan hijab basah karena tangis air mata segera menghampiri Salma. Memegangi tanganya erat.

"Kamu sadar nak?"

Salma melihat sekitar sekali lagi, mempertanyakan pada diri sendiri. Sejak kapan ia pingsan?. Lalu ia hanya mengangguk kecil, menjawab pertanyaan uminya.

"Kamu istirahat ya"

Umi Salma berdiri lagi, memegangi ponselnya erat dan menempelkanya di telinga. Tampak raut wajah marah dan khawatir menjadi satu.

"Assalamualaikum" salam uminya, dengan nada hampir marah.

"Salma sakit" umi Salma berucap singkat. Tanpa salam ia menutup panggilanya.

"Siapa umi?" tanya Salma. Ia tau, pasti itu Azam. Ia tak mau membuat Azam khawatir, barang sekecil apapun. Dan ia rasa sakitnya hanya karena kelelahan. Harusnya sebentar lagi ia sudah membaik.

"Suami kamu" tegas umi Adawiyah.

Salma memegang tangan uminya, menenangkan, kemudian berucap "mas Azam itu banyak tanggung jawabnya umi "

"Tapi kalo gak sanggup gak sampai ngebiarin kamu kan"

"Aku yang minta dia buat mentingin perusahaan umi kok" Salma mengeles.

"Tapi,, "

Umi Adawiyah ikut merasa bersalah karena memberi tanggungan beban perusahaan pada Azam. Padahal Azam belum ahli di bidang itu. Umi Adawiyah menghela nafas berat, lalu menepuk pucuk kepala Salma pelan. Meminta putrinya untuk istirahat.

"Kamu istirahat ya, biar umi yang bicara sama Azam"

"Tapi mas Azam ga salah mi, dia cuma ngejalanin perintah umi" Salma masih membela Azam. Menatap uminya dengan tatapan nanar.

Umi Adawiyah menatap Salma sendu, kembali merasa bersalah karena membuat anaknya diposisi seperti ini.

***

Rumah sakit yang sama dengan satu bulan lalu, pasti meninggalkan luka yang lebih dalam kepada pelihat dari pada penggunanya. Azam berlari menuju bagian informasi, mencari kamar tempat Salma di rawat.

Kemudian ia berlari menaikki tangga, tanpa memperdulikan lift yang kosong. Di lobi ia mendapati Ilham duduk memainkan ponselnya, Azam melihat Ilham sejenak lalu mesuk ke dalam ruangan.

"Salma" panggil Azam. Sarkas.

"Mas"

Azam melihat umi Adawiyah sejenak, lantas berdiri di samping Salma. Mengecup dahi Salma pelan.

"Maaf ya" sesal Azam. Lagi dan lagi.

"Gak papa mas, kata dokter aku juga cuma kelelahan kok" Salma memegang lengan Azam. Menenangkan.

Azam mengusap air matanya yang tak sengaja berlinang, menyesali kelalaianya sendiri. Sedang Salma menatapnya tak percaya.

"Kenapa mas?" tanya Salma.

Umi Adawiyah yang bersandar pada sandaran sofa, terduduk tegap ikut mempertanyakan tangisan Azam.

"Maafin kelalaian ku"

"Ya Allah mas gak papa"

Tetap saja Azam merasa bersalah.

Melihat tangisan Azam membuat umi Adawiyah hampir tertawa, lelaki itu begitu menyayaseengi Salma, bahkan melupakan tempat saat menangis.

"Maaf ya" ucap Azam lagi. Kali ini ia duduk di samping Salma.

"Azam, sini nak" umi Adawiyah memanggil Azam, dengan menepuk sofa kosong di sampingnya.

Azam berdiri, berpindah duduk disamping umi Adawiyah.

"Kalau kamu gak bisa handel keduanya, kamu boleh kok lepasin perusahaan, umi gak maksa"

Lelaki itu menatap mertuanya, antara iya dan tidak.

"Tapi umi" jawab Azam sungkan.

"Gak papa" umi Adawiyah tersenyum, meyakinkan Azam untuk melepaskan jika tidak bisa.

"Terimakasih umi" ucap Azam akhirnya. Ia merasa lega lepas dari perusahaan yang menjeratnya. Membuat ia jauh dari Salma.

Lebih baik menjadi dosen tidak tetap, namun bisa membina rumah tangga dengan baik. Dari pada menjadi manajer perusahaan keluarga Salma, namun harus melalaikan kewajiban menjadi suami yang baik bagi Salma.

Azam menatap Salma sebentar kemudian tersenyum. Begitu juga Salma, ia ikut tersenyum. Bersyukur.

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang