17

58K 3.5K 60
                                    


SETELAH kejadian kemarin. Azam. Suami Salma itu merasa harus menghindari Salma. Bukan apa, tapi ia harap Salma bisa sedikit menghormatinya. Ia hanya meminta Salma mengikuti apa yang bisa ia lakukan untuk mendidik Salma. Hanya itu, tidak yang lain. Karena ini juga kewajibanya, selain menjadi imam ia juga menggantikan tugas abi Ali-abi Salma dalam menjaga Salma.

Pagi ini ia sengaja menghindar dari Salma, Azam mau Salma intropeksi diri dengan kesalahan Salma kemarin. Setelah membenahi tas dan laptopnya ia segera berangkat ke kampus. Tentunya kali ini tanpa menunggu istri tersayangnya.

Azam melihat sejenak ke pintu kamar Salma, memandangi sesaat kemudian menghela nafas panjang guna menormalkan detak jantung dan sedikit dikuasai rasa emosi dan kecewanya.

Setelah itu, ia berjalan keluar dan memasuki mobil. Mendengar suara bantingan mobil pintu, Salma lekas mengintip keluar melihat apakah Azam sudah benar-benar pergi.

Melihat mobil mulai keluar gerbang, Salma baru bisa menelan salivanya. Tapi ia tak habis fikir dengan dirinya sendiri, untuk apa ia mesti sembunyi dari Azam. Padahal seharusnya ia tak perlu takut dengan Azam. Jika memang ia tak salah.

Nyatanya, ia lebih merasa bersalah dan takut dengan kemarahan Azam.

Salma menutup tirai dan membenarkan letak hijabnya sebentar dengan menegakkan tubuhnya. Ia berdehem kecil kemudian berbalik ke kamarnya bersiap-siap ke kampus.

Ia juga ingin melihat, berapa lama Azam akan kuat mendiamkanya seperti ini.


***

Setelah mata kuliah selesai rasanya ada yang kurang dari biasanya. Salma rasa Azam kali ini benar-benar marah padanya. Biasanya tiap bertemu, Azam langsung datang menyapanya jika tidak sempat ia akan mengirim pesan nantinya.

Namun, saat di lobi kampus Azam hanya lewat begitu saja, bahkan sepertinya Azam lebih menghindar dari biasanya. Salma mengucap istighfar beberapa kali mengurangi rasa bersalahnya pada Azam yang rasanya sudah hampir memenuhi dirinya sendiri, kemudian ia memasang headshet di telinganya untuk menenangkan hatinya dengan mendengarkan murotal.

"Kenapa lu?" Faiyah usil menepuk pundak Salma.

Salma melepas sebelah headshetnya dan menoleh ke Faiyah dengan mimik wajah marah karena keusilan Faiyah.

"Kenapa Salmaaa?" tanya Faiyah sekali lagi dengan membenarkan ucapanya tadi begitu melihat wajah marah Salma.

Karena kebiasaan Salma ketika marah kecil adalah diam, jadi sebelum Salma makin marah Faiyah memilih sadar diri.

"Gak papa"

"Cewek ya, kalo di tanya jawabnya aku gak papa muluu" jawab Faiyah.

"Aku tu cewek jadi peka kalo kamu bilang gak papa" imbuh Faiyah.

Salma menghela nafas panjang. Ia memeluk Faiyah sebentar karena capek hati. Ternyata di diamkan Azam membawa dampak badmood berkepanjangan. Lebih berpengaruh dari apa yang Salma duga.

"Bentar, lepasin dulu" Faiyah melepas pelukan Salma karena banyaknya orang lewat di lobi dengan melihat ke arah mereka berdua "kita ke cafe depan ya, nanti kamu cerita, jangan lupa izin dulu ke Azam"

"Faiyahhh" rengek Salma, dan memeluk Faiyah lagi.

Faiyah melepasnya lagi, parno takut di bilang aneh-aneh dengan orang lain yang melihat kedekatan mereka.

"Kita ke cafe depan dulu ya Sal"

Salma mengangguk dan berjalan bersama ke cafe depan kampus. Beruntung hari ini cafe sepi jadi Salma bisa bercerita sepanjang mungkin tanpa memikirkan pandangan orang lain.

Setelah mengetik pesan izin pada Azam, Salma mulai menceritakkan semuanya pada Faiyah. Termasuk pertemuanya dengan Mulan, sahabat sekaligus adik Yudistira.

"Astaghfirullah Salma,  kamu kenapa sih"

"Aku gak tau kalo mas Azam bakal marah, toh aku juga udah nikah sama dia gak mungkin juga aku bakal bertemu atau berpaling ke Yudistira"

Penjelasan Salma memang masuk akal, tapi untuk di cerna itu tidak masuk akal.

"Salma, kamu itu istri Azam dan sudah sewajarnya Azam cemburu tau kamu mengorek tentang Yudistira, apalagi dulu kalian mau menikah, itu ancaman buat Azam"

"Azam sekarang surga kamu, baiknya kamu minta maaf ke dia dan baik-baikin dia deh dari pada kenapa-kenapa, ridho Azam sekarang juga ridho Allah" imbuh Faiyah. Bijak.

Salma menunduk, antara bingung dan tak tau harus menjawab apa. Manik matanya terus menatap layar ponsel yang menampilkan 3 pesan chat nya ke Azam yang sama sekali tak dibalas. Meskipun di baca.

"Kamu minta maaf ya, habis itu pasti lebih tenang" pinta Faiyah lagi, menepuk punggung tangan Salma, menenangkan sahabatnya itu untuk kesekian kalinya.

"Suami tuh gak cuma sebagai suami, tapi kepala rumah tangga, adik, kakak, ayah bahkan Allah aja nempatin surga istri di kaki suami, jadi kalo kamu badmood karena di diemin suami, itu udah sewajarnya" Faiyah bernafas sesaat "artinya Azam mulai berpengaruh, itu artinya kamu juga mulai bisa menerima Azam"

Ia mengangkat kepalanya, kemudian meminum kopi latte yang ia pesan tadi dan sesekali menanyakan apa yang di ucapkan Faiyah padanya tadi pada dirinya sendiri.

Apa iya, Azam mulai berpengaruh terhadap hidupnya?

Atau Salma mulai bisa membuka hatinya untuk Azam, tapi Azam bukan Yudistira, bagaimana bisa secepat ini?

***

Dentingan notifikasi pesan memenuhi layar ponsel Azam. Hanya satu yang menjadi fokusnya saat ini, nama istrinya yang sudah disematkan agar pesan Salma tidak tenggelam ataupun tertumpuk pesan yang lain.

Tiga pesan sejak pagi tadi, mengingatkan flashdisk Azam, pakaiannya dan yang satunya izin bahwa Salma akan pergi dengan Faiyah. Ia sengaja hanya membaca pesan itu namun Azam merasa dirinya sedikit keanak-anakkan membiarkan Salma seperti ini.

Baginya mendiamkan Salma ada sedikit sisi positif, nyatanya Salma yang sangat jarang mengirim pesan bisa mengirim pesan tiga kali sehari. Seperti makan.

Azam tersenyum kecil.

Kemudian notifikasi lain memasuki ponselnya.

Itu uminya, sebuah pesan yang membuat Azam terbelalak. Harus bagaimana nantinya jika ia mengikuti permintaan uminya. Itu hanya pesan pertemuan keluarga, tapi pertemuan keluarga mereka biasanya menginap dan itu pasti tidak baik-baik saja bagi Salma.

Azam lekas mengemasi barangnya dan pulang kerumah mengingat hari ini jam mengajarnya sudah selesai. Ia harus segera memberi tau Salma.

Beruntung jalanan sepi karena hari sudah cukup malam, ba'da isya tadi setelah mampir di masjid pinggir jalan Azam langsung pulang kerumah.

Dilihatnya kamar Salma sudah tertutup. Ekspetasinya terlalu tinggi. Ia kira Salma akan menunggunya seperti di tv. Nyatanya Salma tetap tidur lebih awal.

Saat beralih ke kamarnya, sebuah memo kecil menempel di pintunya.

.Maafin Salma :").

Tulisnya.

Azam mengambil kertas itu dan tersenyum kecil. Ternyata memonya tiap pagi cukup menginspirasi Salma untuk meminta maaf dengan cara yang beda. Memo yang membuat Azam mengakhiri harinya dengan mood yang sangat baik.

***
TBC

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang