26

57.2K 2.9K 31
                                    

"Jangan terus salahkan diri sendiri, siapapun itu jika kamu benar kamu berhak membela dirimu. Dirimu adalah kehidupanmu, jika bukan kamu siapalagi? "


***

Yudhistira POV

"Ayolah umi"

Pinta Yudhis. Sudah dua hari ini badanku semakin melemah, apalagi dengan diagnosa dokter yang baru saja aku dengar tadi. Rasanya aku tak mungkin berdiri di pelaminan dengan orang sebaik dan selayak itu.

"Umi,,,, Yudhis mohon"

Pintaku sekali lagi, kali ini lebih memaksa.

Akhirnya umi ku luluh juga, Umi memberiku izin membeli rumah yang ada di gang yang tak jauh dari tempat tinggalku. Sebenarnya aku juga tak tau alasan pastiku harus merasa tak pantas untuknya. Namun, karena penyakitku menjadikanku memiliki alasan yang tepat untuk tak bisa bersanding denganya di pelaminan.

Aku sakit. Dan dia bisa mendapatkan yang sehat untuk hidup bersamanya, begitu fikirku.

Aku menata semua barangku dan memasukkanya kedalam koper, termasuk jajaran album yang sudah ku kemas apik sebelum aku meminta dokter lain melaborat sakitku. Bukan hal sulit mendiagnosa penyakitku sendiri namun rasanya aneh jika aku harus menjadi dokter dan juga,,,

Pasien.

Akhirnya setelah memantapkan atas apa yang akan ku perbuat, aku menutup koper dan menekankan sandi. Menariknya dan memasukkanya ke dalam mobil. Lamat-lamat ku perhatikan rumah berjuta kenangan itu.

Tentang dia dan keluargaku. Tentang masa yang indah dan kenangan yang tak akan bisa ku buat lagi dirumah baru nantinya.

"Siap den?"

Tanya sopir sekaligus satpamku yang selalu memanggil aden tanpa lekang oleh waktu. Aku tersenyum sebentar, menyaksikan keluargaku yang menangisi keputusanku. Aku tau itu berat untuk mereka, begitu juga untukku tapi mau bagaimana lagi, aku tak memiliki solusi selain ini.

"Umi kan masih bisa liat aku nanti, umi bisa mampir kan,,"

Aku menenangkan umiku dan berpindah pada adik dan juga abiku. Mereka melambai padaku setelah aku mengucap salam. Tampak gurat kesedihan yang sangat nyata disana, aku harus tersenyum agar mereka bisa tenang melihat kepindahanku.

Ku pandangi wallpaper yang ada di layar ponsel, wanita berkhimar merah marun. Warna kesukaanya. Terpaksa kali ini aku harus menyakitinya, aku tak mau membuatnya harus merawat orang sakit sepertiku.

Maaf.

Batinku.

Aku tak tau kepada siapa harusnya ku meminta maaf, ke sang pencipta yang mungkin akan kecewa padaku karena mengingkari janjiku sendiri atau pada Salma yang sudah tersakiti karena keputusanku.

***

"Gimana kabarmu Sal?"

Tanya Yudhistira, ia berusaha tampak tenang, padahal ia tak mampu melihat wajah Salma yang sejak tadi tampak gelisah dan juga sedih.

"Alhamdulillah" jedanya sebentar, mengambil nafas untuk mengurangi rasa kecewanya "kamu?" tanya Salma balik pada Yudhistira.

Mereka disini, duduk di taman berdua. Jangan sangka lain, Faiyah sedang mengambil minum untuk menemani mereka. Mereka juga tak mungkin berduaan di tempat sepi, fitnah masih bisa menghampiri sewaktu-waktu.

"Maaf Sal" ucap Azam tiba-tiba, tanpa menjawab pertanyaan Salma tentang keadaanya. Tanpa dijawab secara jelaspun harusnya Salma tau bahwa ia tak baik-baik saja.

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang