8

67K 3.8K 62
                                    


"Terus kamu bilang iya?" tanya Faiyah, ia mendengarkan dengan seksama semua cerita yang baru saja Salma ceritakan.

Salma menggeleng, kantung matanya terlihat jelas karena tangisanya semalaman, maka dari itu hari ini memakai kacamata bundar berframe hitam klasik, agar fokus orang berpindah pada kacamata.

"Enggak mungkinlah Yah, masa aku harus maksain diri buat suka sama orang yang gak aku suka"

Faiyah memasang wajah aneh begitu mendengar kata bijak dari temanya "kamu ya,,," Faiyah mulai ikut gemas di buatnya "aku kalo jadi kamu ya mau aja" ucapnya. Ucapan orang yang tak merasakan jadi Salma.

"Meskipun setelah di tinggal waktu di khitbah?" tanya Salma menunjukkan rasa takutnya untuk mengulang hal yang sama lagi.

"Gak tau ya kalo itu hehehe" Faiyah cengengesan "paling juga khitbah kamu bakal di putusin orang tua Yudistira, apalagi udah dua bulan gak balik"

"Gak" sahut Salma cepat. Ia tak mau.

"Tungguin aja, apalagi sama orang tua kamu yang ngotot jodohin kamu"

Salma kembali menangis, sejak diminta untuk menyetujui perjodohan Salma menjadi sentimen, sedikit sedikit menangis dan mudah tersentuh dengan hal kecil.

"Gak Sal,,, bercanda jangan nangis dong" pinta Faiyah, khawatir dengan sahabatnya yang tiba-tiba menangis.

"Aku capek" ucap Salma di sela tangisnya.

Faiyah mengangguk paham berusaha memahami situasi Salma, lalu ia mengambil tisu dari dalam tasnya dan menyodorkanya pada Salma. Gadis itu masih terus mengalirkan air matanya, sesekali ia bercerita tentang masalahnya lalu kembali menangis. Faiyah hanya bisa memberi sedikit masukan agar temanya tak semakin menjadi. Juga menenangkanya dengan memberi dorongan moral, seperti ini.

***

Rumahku surgaku.

Rumahku tempat ternyaman.

Rumahku istanaku.

Begitu katanya.

Namun semua sirna, ketika Salma menginjakkan kaki di rumahnya sendiri rasanya ada bebatuan yang menghujamnya dengan keras. Perasaan takut dengan rumahnya sendiri karena di paksa dengan perjodohan.

Salma menarik nafasnya sepanjang mungkin, berusaha menutupi ketidaknyamanan itu.

"Assalamualaikum" salam Salma, menampakkan seutas senyum yang di paksakan untuk menguatkan dirinya sendiri.

"Waalaikumsalamwarrahmatullahiwabarakatuh" jawab umi Adawiyah dari dapur.

Lalu uminya beranjak dan menepuk pundak Salma pelan, ada kata ikatan batin antara ibu dan anak begitu terikat. Ini buktinya. Beberapa hari ini umi Adawiyah merasa hatinya tak enak, ada yang mengganjal sejak abi Ali meminta Salma untuk menerima perjodohan itu. Umi Adawiyah yakin, Salma begitu tertekan dengan keadaan ini.

"Makan dulu nak" umi Adawiyah mengelus pucuk kepala Salma.

"Masak apa mi?"

"Kangkung sama kering, mau? Umi ambilin"

Salma mengangguk kemudian merebahkan tubunya di atas sofa ruang tv. Tak jauh dari tempatnya berdiri, abinya datang dengan segenggam koran.

Tubuh Salma lekas tegap, ia memang sangat takut dengan abinya. Rasanya suasana yang hampir hangat tadi berubah kembali dingin.

"Udah pulang?" tanya abi Ali.

"Iya bi, abi gak ngantor?" tanya Salma. Berharap abinya berangkat kerja agar dapat mengurangi jarak.

Khitbahmu Calon ImamkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang