38# Pembalik halaman

222 40 43
                                    

.

.

.

.

.

Sekali lagi takdir seperti mengumpat hidupnya. Menertawakan usahanya. Dan mengabaikan rintihannya.

Koma. Setengah mati. Lupa ingatan.

Tiga hal yang pernah datang dengan komplit di hidupnya. Tidak salah jika ia merasa sedang di hukum oleh sang pemilik takdir. Merangkak serasa lumpuh untuk mencapai keadilan dan kedamaian. Sebenarnya apa yang salah padanya, kenapa hidupnya sangat berat. Bahkan bernapas pasca koma pun terasa sesak.

Haruskah ia menangis memohon kepada Jaehyun untuk menghentikan semua ini? Konyolnya pikiran itu adalah pikiran paling bodoh yang pernah terlintas di otaknya.

Seingatnya ia sudah melakukan itu dulu sekali. Namun, justru berujung penyekapan. Layaknya menghilang dari peradaban. Hidupnya sungguh menyedihkan kala itu. Dipaksa berpisah dengan orang yang dicintainya, melihat ibundanya yang tiap hari menangis. Belum lagi senyum psikopat yang terus menyapanya.

Mampu mengingat semuanya membuat Hanna kembali merasakan pengalaman buruk itu. Yang sukses menciptakan trauma perih. Bayangkan saja bagaimana perasaanmu jika dilecehkan oleh saudara sendiri.

Menjijikan.

Yah, itulah yang ia rasakan. Pernah sekali Jaehyun datang padanya dalam keadaan mabuk saat masa ia dikurung oleh Jaehyun. Dengan kasar Jaehyun mencium Hanna. Memaksanya untuk membalas pelukan dan ciumannya. Bahkan tamparan pun ia rasakan kala itu, sebab penolakan yang ia lakukan. Sungguh hal itu sangat memalukan dan menjijikan untuk diingat.

Meski tak sekandung, namun belasan tahun hidup bersama, dengan kasih sayang layaknya saudara, membuatnya sedikitpun tak pernah menganggap Jaehyun saudara tak serahim. Namun, lain Hanna lain pula Jaehyun.

Apa yang ia rasakan jelas berbeda dengan yang Jaehyun rasakan. Ia tak tahu sejak kapan dirinya menjadi obsesi di hidup Jaehyun. Itulah sebabnya, rasa takut terus menggelayut dihatinya meski tak sebanyak rasa dendamnya. Namun, ada kalanya ia ingin menangis. Seperti yang ia lakukan sekarang.

Tante Ahra yang kini memeluknya terus berusaha membuatnya tenang. Ia ingin sekali menceritakan kisah hidupnya ini kepada pelatih yang sudah seperti keluarga baginya itu. Namun, terlalu riskan jika banyak kepala yang mengetahui semuanya. Akhirnya ia urungkan niatnya itu.

Ia hanya bisa terus berharap bahwa lain waktu takdir bisa bersahabat dengannya.

Dan mungkin, Inilah waktu itu.

Sebuah nomor tak dikenal tiba-tiba menelponnya. Sebab penasaran kini memenuhi otaknya, ia pun langsung menerima panggilan itu tanpa pikir panjang lagi.

"Hallo," ucapnya. Namun tak menerima balas. Tak ada juga suara apapun. Hanya hening. "Hallo. nuguseyo?" ucapnya lagi.

Tanyanya pun tak dijawab. Sekali lagi ia bertanya 'ini siapa?' namun masih sunyi yang menyapa. Akhirnya ia menarik kesimpulan bahwa penelepon hanya orang iseng yang salah sambung dan berniat menutupnya.

Namun, tepat sebelum telepon terputus, si penelepon bersuara.

"Kang Hanna-ssi?"

MEMORY || KTH [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang