#04 perpustakaan

21K 2.3K 82
                                    

Bel istirahat berdering.

Semua orang di dalam kelas langsung mendadak ricuh. Ayana sampai tutup kuping karena takut gendang telinganya berubah jadi ketipung saat mendengar teriakan Wina yang amat sangat tak berperikemanusiaan.

Wina meringis, "Kantin yuk, Na!"

"Ogah!"

Wina mengerucutkan bibir. "Kok ogah, sih? Biasanya 'kan lo yang paling semangat kalo diajak ke kantin."

"Itu 'kan biasanya. Sekarang ogah," ujar Ayana. Telak. Tak bisa diganggu gugat. Ini adalah salah satu pertahanan Ayana dari insiden memalukan semalam. Ia tak mau kalau di jalan menuju kantin tiba-tiba bertemu Bagas. Nanti kalau bertemu, Wina pasti nyapa, deh. Percaya sama Ayana. Walau ia harus menahan lapar dan dahaga, biarin, deh. Asal jangan bertemu Bagas pokoknya! Ayana malu.

"Emang lo nggak laper?"

Aish, si Bambang pakek nanya lagi. Ya laper, lah!

"Enggak. Roti yang tadi pagi masih ada."

"Makan roti doang mana kenyang? Sisa tadi pagi, lagi. Mending ke kantin. Standnya Mbak Pin lagi ada menu baru, lho! Lo yakin nggak mau nyobain?" tawar Wina sambil menaik-naikkan alis.

Ayana menelan saliva sambil membayangkan bagaimana nikmat dan lezatnya masakan Mbak Pin yang tiada tara. Ayana sampai mengusap dada. Emang dasar setan si Wina. Ayana mengangkat tangan, "Allahulaailaahaillahuwalhayyulqoyyum-"

"Heh!" Wina menepuk pelan jidat Ayana. "Lo pikir gue setan, segala dibacain ayat kursi?"

"Makanya nggak usah gangguin gue. Ke kantin sama pacar lo 'kan bisa."

Wina mendengus. "Kalo Bima bisa nemenin gue ke kantin ngapain juga gue ngajak lo?"

Sobat macam apa ini Ya Tuhan.

"Yaudah kalo nggak mau. Gue bisa ke kantin sendiri." Wina mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Tapi, karena gue agak kesel, jadi gue doain semoga lo ketemu Bagas! Aamiin!"
Ayana menunduk, melepas sepatunya. Tapi, Wina sudah lari terbirit-birit sambil cekikikan sebelum sepatu pantopel yang lumayan keras itu menciptakan sebuah benjol di kepalanya.

Ayana geleng-geleng kepala. Sambil menunduk, ia memakai sepatunya lagi. Lalu mengambil ponsel di tas dan mulai memasang earphone di telinga.

"Na, minta tolong bantuin gue bawa buku-buku ini ke perpus, dong."

Ayana mendongak heran sambil menunjuk dirinya sendiri. "Gue, Ed?"

Ednan mendengus. "Ya iyalah. Lo 'kan wakil ketua kelas. Dan wakil yang baik adalah yang senantiasa dengan senang hati membantu pekerjaan ketuanya."

"Silakan, Bu Wakil." Ayana terkesiap saat Ednan memindahkan sebagian buku di tangannya ke tangan Ayana. "Mari ikut saya ke perpus."

Ayana menghela napas. Setahu Ayana, Bagas itu suka sekali pergi ke perpus. Entah itu ngerjain tugas, iseng-iseng baca buku kalau lagi ada jam kosong, atau sekadar nongkrong buat ngadem dan cari wifi. Petugas perpus saja sampai kenal sama dia. Jadi, ia agak khawatir. Dalam hati ia berdoa. Semoga ia tak bertemu Bagas di sana.

*

"Tolong taruh semua bukunya di rak, ya. Karena bukunya udah kita pakai tadi, jadi harus dikembaliin. Jangan berantakan. Harus rapi dan sesuai sama nomor buku. Gue ada di rak sebelah, kalo lo butuh bantuan." Ayana mengangguk kemudian melakukan instruksi seperti yang dibilang Ednan.

"Habis naruh buku langsung balik ke kelas." Ayana merapalkan kalimat itu terus menerus. Agar pekerjaannya cepat selesai dan ia bisa cepat kembali ke kelas. Walau dia agak ragu kalau buku yang ia taruh di rak itu sesuai dengan nomornya.

"Lo salah naruh."

Gerakan tangan Ayana terhenti. Seseorang mencekal pergelangan tangannya. Kalau ini Ednan, Ayana bisa bernapas lega. Tapi, sayangnya bukan. Dan Ayana jarang sekali salah dalam mengenali suara seseorang. Bahkan seseorang itu baru pertama kali ditemuinya. Seperti sekarang. Ayana tidak akan salah dalam mengenali suara Bagas.

Bagas agak menunduk. Menyeimbangkan wajahnya agar bisa melihat wajah Ayana. Cowok itu tersenyum. Ia lantas mengambil buku di tangan Ayana lalu memasukkannya ke dalam rak dengan nomor buku yang sesuai. "Kalo buku fiksi kayak novel gini ditaruh di rak paling atas. Bisa lo lihat nomor raknya harus sesuai sama nomor yang ada di sampul belakang buku. Tapi, kalau buku filsafat ditaruh di rak yang tengah. Rak yang paling bawah buat karya ilmiah, dan kalo buku-buku spiritual kayak yang ada di tangan lo itu, tempatnya di rak paling pojok."

Bagas tersenyum lalu menatap Ayana lagi. Melihat Ayana yang hanya diam tanpa merespon membuat Bagas menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sorry, gue banyak omong, ya? Gaya gue udah kayak penjaga perpus aja. Haha."

Ayana masih bergeming. Tak mengatakan apapun atau melakukan gerakan apapun untuk merespon ajakan bicara Bagas. Harusnya ia lari, kan? Karena ada Bagas di hadapannya. Namun, yang ia lakukan hanya diam dan menatapnya. Selalu seperti ini. Kalau sudah dihadapkan dengan Bagas. Nyalinya mendadak ciut.

Sementara Bagas, ia bingung harus bagaimana lagi mengajak bicara cewek di hadapannya ini. Gue segitu anehnya, ya? Sampai dia ngelihatin guenya begitu banget.

"Hmm, kalo lo butuh bantuan lo bisa pangil gue, kok... Ayana?" Bagas mengernyit, membaca name tag di kemeja cewek itu. "Nama lo Ayana?"

Ayana mengerjap. ketika mengikuti arah pandang Bagas, Ayana langsung menyilangkan tangan di depan dada.

Bagas terkesiap melihat reflek Ayana. "Eh, sorry. Gue nggak maksud apa-apa, kok. Gue cuma baca name tag lo doang," ujar Bagas menjelaskan. Ia hanya tak mau kalau ada salah paham. Lantas ia tersenyum kembali dengan gestur yang lebih sopan.

"Jadi, nama lo Ayana?" ulang Bagas lagi.

Mampus. Mampus. Batin Ayana menjerit. Bagas udah tahu nama gue!

"Kemarin gue dapat chat, dari orang yang namanya Ayana juga." Bagas terkekeh, "Bisa kebetulan gini, ya?"

Mati. Ayana mati.

"Gue ke kelas dulu, ya." Tanpa babibu, Ayana memindahkan semua buku di tangannya ke tangan Bagas. Bagas yang menerimanya pun jadi kebingungan.

"Lho, tapi ini bukunya—"

Ayana lari terbirit-birit menuju kelas. Tidak. Harusnya tidak begini. Rencananya tadi 'kan selesai naruh buku langsung ke kelas. Tapi kok malah jadi runyam gini?!

Sesampainya di kelas, Ayana langsung duduk. Ia menyembunyikan kepalanya di balik buku sambil menjedotkan pelan dahinya ke atas meja.

"Lo kenapa, Na? Kesurupan jin tomang lagi?" celetuk Wina tiba-tiba yang sukses membuat kepala Ayana makin berasap lagi.

"Iya gue kesurupan! Gue butuh tumbal! Lo mau gue makan?!"

[]

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang