#09 mau jadi temanku, ya?

15K 2K 48
                                    

Bagas menghela napas panjang. Dipandanginya selembar uang dua puluh ribuan di tangan, kemudian memasukkannya ke dalam dompet kulitnya yang mahal. Ia menatap Dio yang lagi asik cekikikan sama Nina di jungkat-jungkit taman dengan tampang sabar. Selesai membeli es krim di minimarket, mereka langsung pindah ke taman karena Dio mau main dulu, katanya.

Hh, Bagas serasa dirampok. Bocah tengik itu tidak hanya meminta dibelikan obat merah dan es krim saja. Usai memasuki minimarket dan melihat aneka cemilan dari yang asin sampai yang manis, langsung merengek minta dibelikan. Dio bahkan tak hanya meminta satu es krim, melainkan empat. Satu untuk dirinya, Hanina, Ayana dan Bagas juga masuk dalam daftar. Dio bilang, "Makan es krim satu, makan es krim semua, Bang. Harus adil."

Bagas agak terkejut disela-sela kegiatannya mencomot es krim. Ayana tiba-tiba sudah berdiri di depannya sambil menyodorkan uang. "Ini, gue ganti es krim sama cemilan yang diambil sama Nina tadi."

Bagas mengernyit. "Eh, kok gitu?"

Ayana tersenyum kikuk, "Abisnya gue nggak enak. Nina ngambil cemilan banyak banget. Dia itu kalo udah berurusan sama makanan suka nggak masuk akal. Doyan makan, makanya gembul gitu pipinya."

Bagas menarik sudut bibir. Kalimat Ayana terdengar lucu baginya. "Udah, nggak usah. Anggap aja permintaan maaf karena udah bikin adek lo berdarah."

"Berdarah apaan? Luka kecil kayak gitu nggak bakal bikin adek gue kehabisan darah, kok. Dari kecil dia udah biasa jatuh. Makanya tadi nggak nangis, cuma ngaduh-ngaduh doang," ujar Ayana menggebu-nggebu. Bagas tersenyum lagi, karena merasa Ayana benar-benar lucu.

"Nggak usah, Ayana. Beneran, deh."

"Beneran?"

"Iya, bener."

"Nggak berubah pikiran?"

"Nggak."

"Kalo berubah pikiran kasih tahu gue, ya?"

Bagas terkekeh, "Nggak akan."

Akhirnya Ayana mau mengalah. Ia menarik kembali tangannya, kemudian pindah mengambil tempat duduk di bangku panjang-tepat di samping kanan Bagas. Bibirnya tak henti-hentinya mencomot es krim. Sesekali mengusap ujung bibir dengan ibu jari, membersihkan sisa-sisa es krim yang menempel. Entah kenapa Bagas jadi memerhatikan. Untung Ayana tak sadar. Ia lebih tertarik memusatkan atensi pada sebongkah es krim cone yang lezat daripada memerhatikan sekitar. "Adek lo manis banget, ya?" kata Ayana tiba-tiba.

Bagas menyahut bingung, "Eh?"

Ayana menoleh ke Bagas sebentar, lalu menunjuk sesuatu dengan dagunya. Bagas mengikuti arah pandang Ayana dan dia melihat Dio yang terlihat sedang mengibas tempat duduk di sebuah ayunan sebelum Hanina mendudukinya. Bagas mendengus pelan, "Gue bahkan baru tahu dia semanis itu. Padahal kalo di rumah, dia anaknya cuek dan nggak banyak ngomong."

Alis sebelah kanan Ayana terangkat spontan, "Oh, ya?" dan Bagas langsung mengangguk.

"Omong-omong, Dio bukan adik gue."

"Hng?"

"Dia anaknya tante gue. Adik sepupu."

Ayana mengangguk mengerti. Oh, pantesan. Setahu Ayana, Bagas cuma punya satu saudara. Ya Bima itu.

"Gue boleh nanya sesuatu?"

"Barusan lo udah nanya."

Bagas terkekeh. "Kenapa gue ngerasa kalo setiap kita ketemu, lo selalu menghindari gue? Gue ada salah sama lo, Ayana?"

Mampus.

Ayana mendadak sulit bernapas.

"Ah, masa? Cuma perasaan lo aja kali. Haha. Gue lagi nggak menghindari siapa-siapa, kok." Ayana menggaruk tengkuk.

"Nggak usah ngeles." Bagas sepenuhnya menoleh menatap Ayana. Yang diajak bicara malah tambah kikuk. Bagas bisa merasakan perubahan gestur tubuh Ayana. "Lo emang menghindari gue, kan?"

"Nggak, kok," cicit Ayana.

"Gue ada salah sama lo, ya?"

Ayana langsung menggeleng. "Nggak juga, kok."

"Kalo gue ada salah, gue minta maaf."

"Dibilang nggak ada, juga!"

Bagas terkejut. Ayana juga sama terkejutnya. Ia keceplosan nyolot. Kebiasaan Ayana kalau sedang dalam mode memertahankan argumen. Tanpa sadar ia menepuk bibir.

Bagas terkekeh kecil. "Syukur deh, kalo emang gue nggak ada salah."

Ah, Ayana benci melihatnya. Ayana benci kalau disuruh mengakui jika ia menyukai senyuman Bagas yang kepalang manis itu. Berusaha mati-matian menahan ekspresi, agar tak larut dalam euforia yang berpotensi mempermalukan dirinya sendiri.

"Ayana?"

"Hm?"

"Lo keberatan nggak, kalo kita berteman?"

"Hah?"

Ayana tak salah dengar, kan?

"Mulai sekarang kita temenan, ya?" Bagas tersenyum lebar, "Jangan kabur lagi kalo ketemu gue."

Jantung Ayana berdebar kencang. Ia bahkan tak bisa menahan untuk ikut tersenyum juga.

"Lo tahu nama gue, kan?"

"Hng?" Dalam beberapa detik, Ayana agak bingung. Tapi sejurus kemudian ia mengerti. Ayana terkekeh kecil. "Lo pacarnya Yura, kan? Dan Yura sekelas sama gue. Nggak ada anak di kelas kita yang nggak tahu siapa pacar Yura."

Sumpah demi apapun, Ayana malas membicarakan Yura. Tapi, ini cuma buat alasan doang. Tidak mungkin 'kan kalau Ayana tiba-tiba jujur mengatakan, "Ya tahu, lah. Lo 'kan cowok yang gue suka. Apapun tentang lo gue pasti tahu."

Bisa mati di tempat, nanti.

Mendengar jawaban Ayana, Bagas terkekeh lagi. Hingga mendadak, ponsel Ayana berdering. Ada telepin dari Bunda. Dan seperti dugaan, Bunda ngomel-ngomel karena waktu sudah hampir petang dan kedua anak perempuannya tak pulang-pulang.

Perasaan baru ngobrol beberapa kalimat doang. Udah mau maghrib aja, batin Ayana.

"Bagas, gue pulang, ya?"

Bagas mengangguk, "Hati-hati naik motornya."

Ayana mengangkat tangan ke udara, melengkungkan telunjuk dan ibu jari membuat gestur tangan 'ok' sebelum benar-benar pergi.

Bagas tak henti-hentinya menatap punggung Ayana sampai menghilang dari pandangan. Dio melambaikan tangan. Mereka berdua tersenyum.

"Cantik ya, Bang?"

Bagas menghapus jejak senyum di bibirnya. Sejenak berpikir lalu tersenyum kembali. Ia mengangguk menyetujui, "Iya cantik."

Tanpa sadar, Bagas jadi membayangkan Ayana. Membayangkan bagaimana lucunya tingkah cewek itu. Bagaimana anehnya dia. Sampai bagaimana manisnya senyum yang tercetak di bibir merah mudanya.

"Apalagi pakai bando kayak gitu. Makin cantik."

Bagas mengernyit. Sejak kapan Ayana pakai bando? Perasaan dari tadi ia bertemu dengan Ayana di sekolah, ia tak memakai aksesori apapun di kepalanya.

Saat Bagas menoleh, ia mendapati wajah Dio yang berseri. Membiarkan senyum manisnya terpatri. Dengan tatapan penuh kagum. Sembari tak henti-henti memandang obat merah di tangan.

[]

Cie Dio senyum-senyum sendiri

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang