"Aku pulang!"
Yura melangkah memasuki rumahnya dengan senyum lebar. Seakan tak peduli jika matanya akan menyipit atau bahkan hilang jika ia semakin melebarkan tarikan di bibir itu. Mendadak Yura memekik melihat seorang perempuan dengan rambut digelung itu turun dari anak-anak tangga menghampirinya.
"Kok Mbak Rani? Bi Aya mana?" tanya Yura ingin tahu. Sebab tadi pagi ia masih melihat wanita yang sudah lama bekerja di rumahnya itu menemaninya sarapan. Namun, siang ini sudah tak terlihat batang hidungnya.
"Ibu lagi istirahat di kamar, Non. Mendadak nggak enak badan. Jadi saya gantiin pekerjaan Ibu yang belum selesai sementara waktu."
Yura mencebik mendengar sahutan perempuan yang dipanggilnya Mbak Rani itu. Agak sedih mendengar Bi Aya sakit. "Mbak Rani nggak usah sok formal, deh. Dan lagi jangan panggil aku Non. Kayak aku noni-noni Belanda aja. 'Kan udah aku bilang panggil Yura."
Mbak Rani tertawa disela-sela dengusan Yura. "Iya deh, iya."
"Mbak Rani nggak kuliah?"
"Hari ini cuma ada kelas pagi. Jadi, sore sampai malam nanti aku free." Yura mengangguk, sampai Mbak Rani melanjutkan, "Kamu mau dimasakin apa?"
"Eh, tadi aku udah pesen sama Bi Aya, mau pai susu. Dibikinin nggak, ya?" tanya Yura ragu sekaligus agak kecewa. Pasalnya hari ini special. Yura ingin sekali merayakan hari ini dengan pai susu favoritnya. Tapi, mengingat Bi Aya tak enak badan, sepertinya ia hilang harapan.
"Eih, jangan sedih begitu. Sudah aku buatkan, kok. Pai susunya masih dipanggang." Yura langsung mendongak semangat. "Jangan khawatir rasa pai susunya bakal aneh karena aku yang masak. Aku mengikuti resep Ibu, kok. Ibu juga sempat menemaniku masak tadi. Walau cuma sebentar, sih," imbuh Mbak Rani
"Yaelah, masakan Mbak Rani kapan nggak enaknya, sih? Pasti enak lah!" Yura mengibaskan tangan acuh membuat Mbak Rani tersenyum geli.
"Tumben kamu semangat banget. Pacarmu ngajak kencan ya, nanti malam?" goda Mbak Rani sambil senyum-senyum. Pipi Yura mendadak merah, "Apa sih, enggak. Mama sama Papa nanti pulang, tahu! Jadi aku seneng banget banget bangeet pokoknya! Mereka udah hampir sebulan di Jepang. Rasa kangenku udah tumpah ruah, nih."
Mbak Rani tertawa, "Lebay kamu."
Anak majikan ibunya ini memang ceria sekali sejak kecil. Apalagi kalau ada hal-hal yang membuat dirinya senang. Rani sudah menganggap Yura seperti adiknya sendiri, begitupun sebaliknya. Jadi, rasanya kalau melihat Yura mendadak sedih dan kecewa hatinya jadi sakit.
Yura meluapkan kebahagiannya mengingat hari ini adalah hari kepulangan ibu dan ayahnya usai mengurus beberapa urusan perusahaan keluarga mereka di Jepang. Padahal katanya, sudah ada orang kepercayaan keluarga yang memegang kendali atas perusahaan tersebut. "Kalau tahu Mama sama Papa bolak-balik ke Jepang, kenapa aku nggak pindah ke Jepang aja sekalian sih, Mbak?" kata Yura tempo hari ketika mama dan papanya mendadak dapat telepon dan langsung buru-buru ke bandara-untungnya sempat mencium kening putri sematawayangnya sebelum pergi. Rani tahu karena Yura sering curhat panjang lebar mengenai pekerjaan orang tuanya itu kalau sedang senggang. Rani juga tahu, kalau sejak kecil Yura sering ditinggal entah itu ke luar kota, maupun ke luar negeri dengan alasan yang sama-yaitu urusan pekerjaan. Klise memang. Yura bergelimangan harta tapi kesepian. Kalau Yura bosan di rumah karena tidak ada Rani, ia sering dititipkan ke rumah teman orang tuanya. Yura sering diajak menginap. Karena teman orang tuanya punya anak yang seumuran dengan Yura, gadis itu jadi tak kesepian. Ia jadi punya teman. Hingga Yura dan keluarga itu menjadi sangat kenal dekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
JugendliteraturPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved