Kelopak mata Ayana masih terpejam rapat. Jantungnya berdebar kencang. Kalau memang ini bukan mimpi, Ayana berharap pada Tuhan agar ia tak tinggal nama sekarang.
Ia masih ingin bernapas. Masih ingin membuat Ayah dan Bunda bangga padanya, masih ingin melihat dirinya menjadi komikus hebat di masa depan, masih ingin melihat Nina tumbuh dan berkembang menjadi gadis cantik seperti dirinya, masih ingin dengar ocehan Wina sampai Ayana sakit telinga, dan masih banyak hal yang ingin Ayana lakukan.
Kalaupun ia harus merasakan sakit saat terbangun, atau akan mendengar vonis dokter yang mengatakan jika ia mengalami amnesia atau bahkan lumpuh total, tidak apa-apa. Ayana akan terima.
Amal ibadah dan pahala Ayana masih belum bisa dikatakan cukup. Ia masih sering berdosa ke Wina karena selalu mengumpati mulut Wina yang super duper berisik. Ayana belum siap rohnya ditarik. Belum siap juga bertemu malaikat.
"Ayana?"
Aduh, itu siapa yang panggil? Malaikat, ya? Takut buka mata. Nggak mau. Bunda, Kakak takut.
"Ayana, buka mata. Ini gue Bagas."
Hah?
Apa Ayana sudah benar-benar mati sekarang? Dan suara yang tengah dia dengar ini, adalah suara Bagas yang sedang menemuinya untuk terakhir kali di ranjang rumah sakit sebelum Ayana dibaringkan ke tempat yang lain?
"Ayana buka mata! Jangan bikin gue takut!"
Ayana merasa sedikit kehangatan menjalar di tubuhnya, tepatnya di telapak tangan. Kelopak mata Ayana terbuka perlahan beriringan dengan usapan lembut ibu jari seseorang di punggung tangan.
Usai kelopak matanya terbuka sempurna, manik mata itu disuguhkan pemandangan seraut wajah khawatir dan ketakutan seseorang. Jantungnya masih berdebar kencang. Dan semakin berdebar kencang ketika seseorang itu menarik tubuhnya. Merengkuh tubuhnya dalam dekapan hingga Ayana bisa mendengar debaran seseorang itu dari telinga yang menempel di dadanya.
*
Lagi.
Meja, kursi, minimarket.
Ingatannya terlempar pada kejadian beberapa jam yang lalu. Botol minuman itu kembali terulur di depan wajah Ayana dengan pelaku yang sama seperti saat sepulang sekolah tadi.
Ayana merasa de javu.
"Minum dulu."
Bagas memindahkan air mineral itu ke tangan Ayana karena cewek itu tak kunjung menanggapi. Sejenak Ayana memandangi air mineral itu dengan pandangan kosong, sebelum meminumnya sedikit. Sampai keheningan melingkupi keduanya.
Sibuk dengan pikiran masing-masing. Ayana masih larut dengan keterkejutannya yang masih belum reda sebab Bagas tiba-tiba memeluknya. Ayana bahkan masih berdebar sekarang. Walau tak sekencang tadi. Di sisi lain, Bagas juga tak menyangka dengan dirinya sendiri. Ia begitu refleks. Melihat wajah Ayana yang pucat pasi dengan kelopak mata terpejam erat ketakutan membuat sisi kecowokannya dengan cepat bereaksi. Entahlah, Bagas juga tidak yakin. Apa ia benar-benar memeluk Ayana karena sekadar naluri atau ada hal lain yang tak ia sadari.
"Lo nggak papa?"
Ayana mengangguk cepat. Menghela napas sebentar lalu mengembuskannya perlahan sebelum menjawab, "Gue baik-baik aja, kok."
Tetap saja. Perasaan Bagas masih tidak bisa dikatakan tenang sekalipun kata 'baik-baik aja' terlontar dari bibir Ayana sendiri.
"Lo—kenapa lari-larian kayak tadi?" Pertanyaan yang sedari tadi bercokol di pikiran Bagas itu akhirnya keluar juga. Ia melihat perubahan ekspresi Ayana yang semula datar menjadi cemberut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Teen FictionPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved