"Ayana?"
Cewek itu mendongak. Dilihatnya sosok cowok di hadapannya ini sambil tersenyum.
"Udah dateng?"
Ayana mengangguk.
"Sendiri?" Ednan melirik sekitar, "Wina nggak lo ajak?"
"Lo bercanda?" tanya Ayana skeptis. "Mana berani si Wina diajak nonton film horor."
"Ya, lo kan bisa ajak Yura, Fadia, Kania."
Ayana mengigit samar bibir bawahnya. "Kenapa nggak lo aja yang ngajak? Gue 'kan nggak akrab sama mereka."
Ednan terkekeh. Jemarinya sibuk memainkan ponsel. Sesekali menaruh benda pipih itu di dekat telinga. Ayana yang berdiri di sebelahnya hanya mengamati sembari menikmati thai tea yang tadi sempat ia beli.
"Gue udah di bioskop, nih! Lo di mana?!"
Ayana mendecak mendengar Ednan berteriak.
"Kok gitu sih, lo! Kan janjiannya ama gue dulu tadi!" Ednan lantas menutup sambungan telepon sambil mengumpat pelan.
"Kenapa?"
"Dhanis nggak jadi dateng. Dia diajak makan-makan sama temennya." Ednan mendengus. "Gue telepon Sultan bentar."
Lagi-lagi, Ednan sibuk dengan ponselnya. Thai tea milik Ayana sudah hampir habis. Ia melirik arloji dengan tampang cemas. "Gimana?"
Ednan menggeleng. "Nggak bisa juga."
Bibir Ayana melengkung kecewa.
"Gue telepon yang lain dulu, bentar."
Sekarang sudah menunjukkan pukul 19.15 dan durasi film setidaknya memakan waktu 2 jam. Sementara Ayana tidak boleh pulang diatas jam sepuluh malam. Kalau menunggu yang lain datang, pasti akan memakan waktu lebih lama lagi. "Kita langsung nonton aja, yuk?" ajaknya pada Ednan.
"Eh?" Ednan menjauhkan ponselnya dari telinga. "Nggak papa nih, nontonnya berdua doang?"
"Iya, nggak papa. Daripada nanti gue pulangnya kemaleman."
"Iya juga, sih." Saat melirik arloji, Ednan mendesah. "Yaudah, kita beli tiket."
Ayana mengangkat sudut bibirnya antusias. Ia tak pernah tidak antusias kalau urusan nonton film horor. Apalagi, saat ini dia sedang dalam mode memperbaiki moodnya yang agak buruk akhir-akhir ini.
"Gila, ya! Nonton film horor sama lo ternyata seru juga!" ujar Ednan bersemangat. Ayana terkekeh, lalu memasukkan beberapa butir pop corn ke mulutnya. Usai menghabiskan waktu kurang lebih dua jam di dalam bioskop, Ayana dan Ednan berniat membeli cemilan buat mengganjal perut.
"Gue pernah nonton sama Yura, dan dia ceriwis banget, gila. Setannya mau nongol dia komen, ada jumpscare dia komen, lah gue heran dia ini penonton apa komentator, sih?" Ednan tertawa. "Kalo nonton sama Dhanis, kuping gue yang pengang. Dia bisa teriak sebanyak hampir sepuluh kali sejak film-nya diputar."
Ayana mendengar Ednan bercerita selagi mereka keluar dari bioskop. Saat melirik arloji, matanya membulat kaget.
"Ed?"
Yang dipanggil menoleh. "Ya?"
"Gue..., boleh minta tolong, nggak?"
"Kenapa?"
"Anterin gue pulang, ya?" Ayana mengusap tengkuk. "Gue takut naik ojol malem-malem."
Ednan mengangguk sambil tersenyum. "Ya udah, ayo."
*
"Gue baru tau lo tinggal di daerah sini."
"Hah?!" Ayana tak sengaja membenturkan helm di kepalanya dengan helm di kepala Ednan saat hendak mendekatkan telinganya agar suara Ednan bisa terdengar.
Pasalnya, mereka lagi naik motor. Tahu sendiri kalau mengobrol sambil naik motor itu bukan hal bagus.
"Gue baru tau kalo lo tinggal di daerah sini!" ulang Ednan, kali ini dengan suara yang agak dikeraskan.
"Ohh..."
"Sepupu gue juga ada yang tinggal di sini."
"Apa?!" Ayana mengernyit. "Sepupu lo tinggal di sini juga?!"
"Iya!"
"RT berapa?!"
"Nggak tau. Pokoknya rumahnya deket minimarket."
"Deket minimarket?!"
"Iya!"
"Rumah gue juga deket minimarket, sih. Sekitar 10 rumah dari rumah gue."
"Itu mah jauh!"
"Kalo naik motor deket!"
Sesampainya di depan rumah, Ayana menepuk bahu Ednan agar cowok itu menghentikan motor. Ayana turun dan melepas helm sambil mengucapkan terima kasih pada cowok itu.
"Itu siapa?"
Mendengar pertanyaan Ednan, Ayana menaikkan satu alis. Diikutinya tatapan cowok itu pada satu titik hingga ia melihat seseorang berdiri tak jauh darinya. Seketika ia terperanjat. "Bagas?"
"Bagas?" ulang Ednan sembari mengernyit. Kenapa dia ada di sini?
"Gue pulang dulu ya, Na?"
"Oh?" Ayana melirik Ednan. "Iya, sekali lagi makasih. Hati-hati."
Setelah kembali memasang helm di kepala, Ednan memacu motornya.
"Hati-hati?"
Ayana menoleh pada Bagas yang kini tengah berjalan ke arahnya. Ia benar-benar tidak tahu kenapa Bagas sampai datang ke rumahnya.
"Lo inget pas gue bilang kalau gue nggak pernah cemburu sama siapapun yang deket sama Yura?"
Yura lagi, Yura lagi. Bagas datang jauh-jauh ke rumah Ayana cuma mau ngomongin tentang Yura?
Ayana menghela napas. Kenapa Bagas tidak pernah bosan sih, membahas Yura di depan Ayana? Padahal Ayana sudah bosan banget dengarnya.
"Gue nggak pernah cemburu sama siapapun yang deket sama Yura. Tapi, kenapa gue nggak suka lihat lo deket sama cowok lain, ya?"
Ayana tertegun. Bagas menatapnya lekat tanpa sorot bergurau sama sekali. Cewek itu bahkan sampai mematung di tempat. Otaknya berpikir keras, memikirkan berbagai alasan yang mungkin untuk menjawab pertanyaan yang kini muncul di kepalanya.
Kenapa Bagas ngomong kayak gitu?
"Lo mau ke mana?" tanya Ayana ketika cowok itu berbalik badan. Tanpa sadar, ia memegang ujung lengan kaos cowok itu untuk menghentikan langkahnya. Ketika Bagas memutar tubuhnya menghadap Ayana,
"Gue suka sama lo."
kejutan itu kembali menyambut rungunya. Ayana yang terkejut sontak melepas tangannya dari ujung kaos Bagas. Namun dengan secepat kilat juga, Bagas menangkap pergelangan tangan itu dengan telapak tangannya. Rasa hangat seketika mengalir di permukaan kulit Ayana. Sejemang, ingatan mereka terlempar pada suatu masa di kafe, saat Bagas memulai perbincangan dengan topik yang sama.
Bagas mengambil napas lalu mengembuskannya perlahan. "Orang yang gue suka itu..., adalah lo."
[]
menurut kalian Ayana nanti bakal jawab apa?
a. Oh, ya?! aku juga! kenapa kita nggak jadian aja?
b. Oh, ya?! Oalah...
c. Hm
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Fiksi RemajaPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved