#21 hal konyol

10.6K 1.2K 18
                                    

"Ayah pulang?!"

Ayana berbinar. Usai melihat motor Ayah berada di samping rumah, tanpa memerdulikan kondisi motornya yang terparkir asal Ayana melewati Bunda yang lagi geleng-geleng dan berhambur mencium tangan Ayah lalu memeluk.

"Cuci tangan cuci kaki dulu, Kak. Main peluk aja kamu. Belum mandi juga. Asem, tahu!"

Ayana cemberut di sela Ayah mengusap puncak kepalanya. "Ayah kenapa sering lembur akhir-akhir ini?"

"Karena emang kerjaan di pabrik lagi banyak." Ayah berteriak memangil Bunda disela-sela menjawab pertanyaan Ayana. "Bun, tolong ambilkan balsem buat Ayah!"

Ayah terlihat menyentuh bahu kanannya. Sesekali memijit dengan telapak tangannya sendiri. "Gimana sekolah Kakak?"

"Baik-baik aja, Yah. Nggak ada masalah. Kakak 'kan murid yang baik."

Ayah mendengus geli. "Udah punya pacar?"

"Kakak sekolah buat cari ilmu, Yah. Bukan cari pacar." Ayana mendekat, menyentuh bahu Ayah dan memijitnya perlahan.

"Ya 'kan sambil menyelam minum air," sahut Ayah, sembari menerima balsem dari tangan Bunda lalu memindah tangankan ke Ayana. "Olesin ke bahu Ayah."

Ayana menghela napas. Melihat wajah Ayah yang nampak kelelahan begini, ia jadi khawatir. "Jangan terlalu bersemangat banget kerjanya, Yah. Kalo Ayah capek, ambil cuti aja gimana? Kakak takut Ayah sakit."

"Hey, kamu ini ngomong apa?" Ayah berbalik badan. Menaruh kedua telapak tangannya yang hangat ke bahu anak sulungnya sambil menatapnya. "Ayah harus semangat bekerja biar bisa bahagiakan kamu, Nina, dan Bunda. Kalo Ayah males-malesan nanti kalian mau makan apa? Balsem?" kata Ayah sambil terkekeh.

"Ayah mau semua anak Ayah punya pendidikan yang layak. Biar bisa lebih hebat dari Ayah dan Bunda. Bukannya jadi buruh pabrik seperti Ayah."

Ayana menggeleng pelan. "Aku udah bahagia, kok. Ayah dan Bunda itu lebih dari hebat. Ayana menggenggam telaoak tangan ayahnya, "Aku bakal cari beasiswa biar Ayah nggak kerja terlalu keras."

Ayah tersenyum. Rasa hangat menjalar di kepala Ayana saat Ayah mengusapnya. "Iya, Ayah percaya sama Kakak."

*

"Olimpiade Matematika Tingkat Nasional," ujar Ayana. Membaca judul poster di tangannya.

Alasan Bu April memanggilnya tadi ya sebab menyerahkan ini. Ayana beruntung, karena ia sangat membutuhkannya. Ayana jago Matematika sudah lama. Sejak kecil, ia paling suka menghitung. Setelah itu membaca, lalu menulis, dan yang terakhir ia suka menggambar. Kira-kira begitulah siklus munculnya bakat minat Ayana.

Ia menyukai banyak hal. Memiliki banyak bakat seperti menyanyi, melukis, bermain musik dan sebagainya. Tapi, hal itu tak terekspos sebab memang Ayana tak suka dikenal banyak orang. Tak suka jadi sorotan. Ia hanya ingin menjadi Ayana yang biasa-biasa saja. Toh, ia juga tak begitu serius menyalurkan bakat. Misal bermain musik. Waktu SMP ia pernah mengikuti ekskul musik dan memegang alat musik gitar sembari bernyanyi. Namun saat dipilih untuk tampil di sebuah acara, Ayana pasti menolak. Gila saja. Ayana bisa mati berdiri. Ia itu demam panggung. Kalau sudah kumat, badannya nanti panas dingin dan melemas. Kalau Ayana pingsan di atas panggung kan bikin malu juga.

Dan soal melukis dan menggambar, Ayana hobi menggambar sejak SD. Bapak dan Ibu gurunya selalu memuji gambar Ayana. Ia pernah menjuarai lomba menggambar dan membawa lumayan banyak piala waktu SD. Beranjak SMP, Ayana tak sering menggambar lagi sebab ia ikut ekskul musik. Lagi pula, tak ada ekskul menggambar waktu itu. Hingga sampai sekarang, sejak kelas 1 SMA, dia mulai mengenal komik lewat sebuah platform online dan ia tertarik. Zaman dulu memang sudah ada komik cetak. Tapi, entahlah Ayana tak begitu tertarik.

Hingga ia mulai mengembangkan bakat menggambarnya kembali, sejak ia tergila-gila dengan yang namanya Kang Daniel karena Wina—teman pertamanya di SMA sekaligus sohib dan chairmate-nya yang alay itu selalu mendoktrin Ayana dengan korea-korea.

Kang Daniel itu imut. Manis sekali. Ayana sampai terbayang-bayang wajahnya setiap menit, detik hingga akhirnya ia menumpahkan ke sebuah gambar. Alhasil, drawing book yang dibeli dengan uang sakunya isinya gambar wajah Kang Daniel semua. Sinting. Tingkat kebucinan Ayana memang sudah mengakar.

Sampai akhirnya ia bertemu Bagas. Lelaki yang tak seberapa tampan atau malah jauh dari kata tampan kalau dibandingkan Kang Daniel yang mulai mencuri perhatian. Dan drawing book bergambar Kang Daniel Ayana yang selalu ia bawa kemana-mana sudah tergantikan dengan yang baru. Dan hampir setengah isi buku tersebut adalah gambar wajah Bagas, ekspresi Bagas, postur tubuh Bagas, dan lain-lain. Sisanya, masih banyak lembaran kosong dan juga beberapa coretan abstrak.

Tangannya terulur pada sebuah drawing book. Yang selalu Ayana bawa kemana-mana dalam tasnya. Namun, semakin lama sepertinya tidak aman kalau Ayana terus-terusan membawa buku itu. Kalau ketahuan orang bisa gawat. Sudah cukup Wina saja yang memergokinya. Jangan Yura. Apalagi Bagas.

Disela-sela lamunannya, Ayana melebarkan mata. Terkejut. Mulai panik. "Draf komik gue mana? Kok nggak ada?!"

Dia ingat jelas tadi jika menumpuk drawing book di bawah draf komiknya. Tapi untuk memasukkannya ke dalam tas.... Ayana tak ingat.

Jantungnya berdegup kencang. Ia mulai takut sekarang. Gawat. Benda itu tidak boleh sampai dibaca oleh seseorang. Kalau sampai terbaca atau sengaja dibaca.... Ayana bisa habis.

*

"Jamais Vu?"

Yura membuka cover notes itu lalu menutupnya kembali. "Kalau emang ini punya Ayana, kira-kira isinya apa, ya?"

Yura mengerutkan dahi, berpikir. "Apa dia nulis semacam curhatan? Diary?" Ia tertawa. "Konyol."

Yura melempar benda itu di atas kasur. Lalu memandangnya lagi. "Tapi, Ayana kan pendiam gitu anaknya. Bisa aja dia beneran nulis diary, kan?"

Bibirnya tersenyum asimetris, "Gue penasaran apa yang dia tulis." lalu memungut benda itu lagi. Membuka bagian cover itu lagi, dan tersenyum. "Gue baca dikit aja nggak papa kali, ya?"

Saat membuka halaman selanjutnya, kening Yura berkerut. Ia tak menemukan tulisan seperti buku diary pada umumnya. Namun yang ia temukan malah.... sebuah gambar.

Ah, tidak. Bukan sebuah, tapi ada bannyak setelah Yura pergi ke halaman selanjutnya.


Tanpa sadar, ia mencengram pinggiran buku itu kuat-kuat, dengan bibir kanan terangkat setengah. "Hal konyol apa ini maksudnya?"

[]

Hello, Bagas! ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang