"Dhan, lo ada film, nggak? Kalo ada bagi ke gue satu, dong! Buat tugas review Bahasa Indonesia. Males download gue."
Dhanis yang lagi senderan sambil main ponsel tiba-tiba menegakkan badan. "Film gue mah banyak. Horor tapi. Mau lo?"
Wina berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Yaudah boleh." Ia langsung memasang kabel data di ponselnya agar tersambung dengan laptop Dhanis.
"Ruang penyimpanan lo penuh, nih."
Wina mencebikkan bibir, "Masa, sih?" dan setelah dilihat, ruang penyimpanannya memang penuh. Melihat Ayana yang lagi duduk di pojokan sambil melamun, Wina tersenyum.
"Ayana...," panggil Wina dengan nada bicara yang sengaja diayun. "Pinjem hape lo, dong. Buat mindah film. Boleh, ya?"
Ayana menoleh sebentar, usai mengunggah sebuah potret lama dirinya yang berada di lapangan upacara sambil mengenakan topi abu-abu dengan wajah yang disensor dengan emoticon bunga ke WhatsApp storynya. "Nggak boleh."
Wina tak kehilangan akal. Ia menyenggol pelan bahu Ayana sambil menatap sobatnya itu dengan puppy eyes. "Ayana baik, deh. Nanti kita nonton bareng, gimana? Lo 'kan suka film horor. Lagian ini 'kan buat tugas kelompok kita juga."
Ayana menghela napas sementara Wina kegirangan sambil lompat-lompat karena Ayana berkenan meminjamkan ponsel.
"Filmnya lumayan serem, lho. Karena lo penakut, gue saranin jangan nonton sendirian. Setannya jelek banget." Dhanis berpetuah. Wina mendadak ngeri sendiri.
"Na, udah, nih." Wina mencolek bahu Ayana sambil memulangkan ponsel.
Ayana mengangguk, "Yaudah, yuk!"
"Yuk apa?"
"Nonton lah!"
Bola mata Wina melebar. "Sekarang?"
"Nggak. Nunggu zaman di mana orang-orang pada jalan pakai tangan dan makan pakai kaki." Bola mata Ayana berputar kesal.
"Lo aja yang nonton sendiri, ya?" sahut Wina sambil nyengir.
"Kok gitu?!"
"Kata Dhanis tadi filmnya serem. Setannya jelek banget. Gue ngeri, deh. Lo aja yang nonton, ya? Nanti gue yang review, deh."
"Gimana caranya gue yang nonton terus lo yang review?!"
Wina mendengus. "Ya kayak gitu pokoknya. Lo yang nonton, terus lo ceritain sama gue jalan ceritanya kayak gimana, terus gue yang nulis reviewnya, deh."
"Nggak mau! Pokoknya lo harus ikut nonton juga! Titik."
"Tapi-" Sebelum memberikan penolakan yang aneh-aneh lagi, Ayana dengan secepat kilat menarik tangan Wina dan menguncinya agar tidak kabur.
Ayana mau balas dendam. Gara-gara Wina bilang kalau nomor WhatsApp Bagas tidak aktif, Ayana jadi punya niat buat ngechat Bagas. Tidak bisa dibiarkan Ferguso! Wina harus merasakan penderitaan seperti yang Ayana sedang alami sekarang. Hahahahaha!
"Itu setannya jelek banget lho, Na."
"Nggak papa. Gue udah biasa lihat yang jelek-jelek."
"Tapi, Na...."
Ayana menggulir layar ponselnya. Mencari di mana letak film horor itu berada. Hingga ketika sudah menemukan, ia menoleh ke arah Wina sebentar sambil tersenyum menyeramkan.
Wina sudah menutup matanya dengan kedua telapak tangan bahkan sebelum filmnya di mulai. Sementara Ayana penasaran. Semenyeramkan apa, sih, memang? Sejauh Ayana menggemari dunia perhororan, ia belum pernah menemukan film horor yang benar-benar horor menurutnya.
Sepuluh detik pertama, menunjukkan lukisan-lukisan dinding yang berada di sebuah rumah tua.
Sepuluh detik kedua, memasuki sebuah lorong yang sepi dan gelap.
Sepuluh detik ketiga, menunjukkan sebuah pintu. Berderit. Dan terbuka sendiri dengan perlahan. Hingga kemudian-
"Aaaaaa!" Ayana berteriak.
"Aaaaaa!" Wina juga ikut berteriak.
Semua orang yang ada di dalam kelas langsung memerhatikan mereka. Karena Ayana berteriak sampai ponselnya terlempar. Sementara Wina sudah jantungan. Dari tadi cewek itu istighfar dalam hati sambil mengusap dadanya pelan. "Kenapa, Na?! Ada apa?! Setannya bener-bener jelek, ya?! Lo 'kan nggak pernah teriak-teriak kalo lagi nonton film horor. Kalo lo sekarang teriak-teriak berarti setannya jelek banget, dong? Emang mukanya gimana? lebih jelek mana sama Ednan?"
Merasa namanya disebut, Ednan melempar bolpoin kesal. Dibalas cengegesan dari Wina yang menyebalkan.
"B-bukan."
Ayana menggeleng kikuk. Sementara Wina mengernyit heran. "Ya terus apa, dong?"
"Ada yang komen WhatsApp story gue."
Wina melongo. "Hah?"
Bibir Ayana serasa dikunci. Ia bahkan sudah memasang tampang seperti mau dihukum mati dengan wajah yang pucat pasi. Penasaran, Wina memungut ponsel Ayana yang sempat terlempar hingga sepersekian detik kemudian ia menganga lebar.
Mati.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Подростковая литератураPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved