Jantungnya seakan diremat-remat. Berdetak lebih cepat daripada biasanya. Telapak tangan Ayana terkepal kuat di bawah meja. Kesal. Mau menampar pipi merona cewek blasteran jepang itu. Kalau bisa sekalian mau acak-acak mukanya sampai jadi mirip rusa. Hellooo, emang siapa dia bisa ngusir-ngusir gue? Dia yang punya kafe? Yang punya tanah? Yang punya pasokan udara di muka bumi ini?! Enggak, kan?!
Dan apa tadi katanya? Ayana mengganggu? Tolong kalo punya kaca itu dipakek buat ngaca. Dia nggak sadar apa, kalo mukanya yang sok cantik itu mengganggu banget? Kulit putihnya apalagi, bikin mata gue silau. Sampai mau sakit mata aja rasanya!
"Sebelum lo bilang kayak gitu, gue juga mau pergi."
Yura mengendikkan bahu, "Ya, bagus."
Bibir Ayana mencedut kesal. "Sorry kalo dengan adanya gue di sini bikin lo terganggu. Gue cuma menghargai Bagas yang udah ngundang gue ke sini. Selebihnya, gue juga nggak suka lama-lama ada sini."
Apalagi ada lo!
Ingin sekali Ayana menambahi.
"Oh, ya. Satu lagi." Ayana menghentikan langkah mendengar Yura menginterupsi. Ia menoleh. "Jauhi Bagas. Jangan deket-deket sama dia lagi."
"Kenapa harus?" tanya Ayana.
"Gue cuma mau lo sadar diri aja. Lo bukan siapa-siapanya, kan? Cuma orang asing. Dan udah seharusnya orang asing bersikap selayaknya orang asing, kan?"
Bibir Ayana terbuka separo. Woah, mulut Yura ini minta ditampar banget, ya? Ayana membuang napas kesal, "Harusnya lo tanya sama Bagas. Kalo emang dia menganggap gue orang asing, kenapa gue yang ada di sini. Bukannya lo."
Ayana pergi. Berjalan menuju motornya. Saat menatap bunga mawar di tangannya, ia tersenyum kernyih. "Jadi ini bagian pahitnya?"
Ayana membuang bunga itu ke sembarang arah kemudian memasang helm di kepala.
*
Bagas sampai di BitterSweet lalu mematikan mesin motornya. Sejemang ia kembali mengingat perkataan Yudha.
"Kenapa mata gue berkata lain, katanya?" Bagas menggeleng sembari mendengus geli. "Emangnya mata gue bisa ngomong, apa? Aneh."
Usai melepas helm di kepala, Bagas merogoh saku jaket. Mengeluarkan ponsel lalu mengetik sederet pesan.
To: Ayana
Gue udah nyampe. Meja no 7 kan?Tanpa menunggu balasan, Bagas beranjak memasuki kafe. Tapi, ia berhenti sejenak. Sesuatu menarik perhatiannya. Melihat setangkai bunga mawar di bawah kakinya, Bagas memungutnya. "Masih bagus kenapa dibuang?"
Bagas mengendikkan bahu. Tanpa pikir panjang langsung berjalan memasuki area kafe dan entah kenapa ia berpikir untuk membawa bunganya ikut serta. Toh, tidak dibuang ke tong sampah. Saat melirik ke arah pintu masuk kafe, ia melihat Jonathan yang lagi meringis lebar dikelilingi cewek-cewek.
"Halo, Bro!" sapa Jonathan riang ketika bersitatap dengan Bagas.
Bagas terkekeh. Jonathan melebarkan tangan dan Bagas menyambut pelukan. Punggungnya terasa ditepuk-tepuk. "Dateng juga bocah ingusan kebanggaan gue ini."
Bagas mendecak, "Mau sampai kapan sih, ngatain gue ingusan? Gue udah gede."
"Gede badan doang aja, belagu." Jonathan menepuk bahu Bagas, "Katanya udah gedhe, kok jalan sendiri? Pacarnya nggak dibawa?"
Bagas memang tidak bawa pacar, sebab Yura menolak ajakannya, kan? Tapi, di dalam ada Ayana. Bagas mengajaknya kemari dengan tujuan untuk supaya Bagas ada teman, biar tidak terlihat ngenes-ngenes banget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Bagas! ✔
Fiksi RemajaPetaka itu dimulai ketika Ayana iseng mengirim pesan ke kontak WhatsApp cowok yang ia taksir. -Oct, 2019 by auliadv All Rights Reserved